ArsipPaniai Berdarah 2014, Sebuah Pelanggaran HAM Berat?

Paniai Berdarah 2014, Sebuah Pelanggaran HAM Berat?

Rabu 2014-12-31 13:35:15

Pemerintah Indonesia, melalui TNI/Polri menembak mati 5 warga sipil dan 6 orang luka kritis, serta 12 orang mengalami luka-luka dan cedera.

*Oleh: Ramos Elias Petege

 

Pengantar

 

Peristiwa pembunuhan ini terjadi pada 8 Desember 2014, pukul 09.30 WP di Lapangan Sepak Bola Karel Gobay Enarotali, Distrik Paniai Timur, Kabupaten Paniai, Pegunungan Tengah Papua.

 

Dalam peristiwa ini, tiga orang pelajar SMA dan seorang warga sipil tewas di tempat serta seorang pelajar meninggal dunia di Rumah Sakit, Madi Paniai setelah 2 hari menjalani pengobatan atas luka tembakan di perut.

 

Peristiwa ini terjadi, dua hari sebelum Malala –seorang gadis Pakistan korban penembakan kelompok Militan Taliban– menerima hadiah Nobel Perdamaian 2014 sekaligus berpidato tentang pendidikan untuk semua di Oslo, Norwegia, Rabu (10/12/2014) lalu.

 

Dua peristiwa yang kontras terjadi di dua tempat yang berbeda; pada peristiwa di Oslo Malala berkampanye tentang hak atas pendidikan bagi semua orang, sementara di Paniai, Papua, Militer Indonesia membantai empat pelajar Papua dan seorang warga sipil.

 

Malala mendapatkan hadiah nobel atas kegigihan memperjuangkan hak atas pendidikan bagi anak-anak Pakistan yang ditentang oleh militan Taliban dan bagi dunia, sedangkan untuk pelaku penembakan (Militer Indonesia) juga memiliki peluang untuk mendapatkan hadiah serta pujian atas prestasinya sebagaimana biasa dalam tradisi di institusinya.

 

Pasca penembakan, aksi protes, kecaman, desakan dan tuntutan kepada Pemerintah Indonesia untuk penuntasan kasus tersebut datang dari berbagai pihak di Papua, Indonesia dan luar negeri, bahkan dari Dewan HAM PBB.

 

Pada saat yang sama, pemerintah Indonesia bukan berupaya untuk menuntaskan kasus, tetapi sibuk untuk membela diri dan menyembunyikan diri dari perbuatannya dengan cara menuduh kepada Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) yang terlibat dalam kasus itu. Juga berupaya memutar balikan fakta di media guna membentuk opini publik bahwa mereka bukanlah pelakunya.

 

Jika pemerintah Indonesia, mulai dari Wakil Presiden, Jusuf Kalla, Mengkopolkam, Kapolri, Mabes TNI AD, Polda Papua dan Kapolres Paniai yang berupaya membela diri dan menyatakan mereka bukan pelaku.

 

Jika mereka bukan pelaku, maka pertanyaannya adalah siapa pelaku sebenarnya, siapa yang bertanggung jawab atas kasus tersebut?

 

Untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, kita mesti mengetahui dan mendalami fakta-fakta objektif atas peristiwa tersebut. Untuk itu, mari kita membaca dan memahami peristiwa penembakan secara periodik berdasarkan waktu kejadian.

 

Fakta di Tempat Kejadian Perkara (TKP)

 

Peristiwa pertama

 

Peristiwa pertama, penyiksaan dan bukan penganiayaan karena pelaku adalah aparatur negara bukan warga sipil. Setiap perbuatan yang sengaja dilakukan oleh pejabat publik atau sepengetahuan dan atau atas provokasi pejabat publik (Aparat Negara) terhadap Yulian Yeimo (15 tahun) warga sipil oleh oknum TNI AD, Tim Khusus Yonif 753 Arga Vira Tama Nabire di Paniai.

 

Korban mengalami penyiksaan berat dan pingsan di tempat. Peristiwa ini terjadi pada pukul 02.40 WP di sebuah pondok Natal Bukit Togokotu, Kampung Ipakiye. Kampung ini terletak di bagian timur Kota Enarotali, 2 KM dari Kota Enarotali serta diperkirakan 900 Meter dari Pos Timsus Yonif 753 AVT.

 

Aksi penyiksaan itu berawal dari peneguran tiga orang pemuda terhadap seorang oknum TNI AD yang mengendarai motor pada malam hari sekitar pukul 02.00 WP dari Kota Enarotali menuju ke Kota Madi tanpa menyalakan lampu.

 

Tiga Warga yang berada di pondok Natal itu menegur pengendara motor agar menyalakan lampu motor supaya tidak membahayakan bagi dirinya maupun orang lain.

 

Kejadian teguran itu pun berlalu, rupanya teguran warga tadi tidak diterima oleh oknum aparat tersebut, sekitar 20 menit kemudian, datanglah 5 orang anggota Timsus Yonif 753 dengan menggunakan Mobil Inova Rush berwarna Merah Hitam berplat B dari Posnya ke pondok Natal dimana 3 warga itu berada.

 

Mereka memberhentikan mobil di depan pondok Natal lalu mengejar ketiga warga itu, satu orang warga atas nama Yulian Yeimo (15) ditahan dan disiksa sampai pingsan di tempat, sementara 2 orang lain berhasil melarikan diri.

 

Peristiwa Kedua

 

Peristiwa kedua, aksi pembunuhan kilat terhadap 4 warga sipil, 6 orang luka kritis dan 16 warga sipil lain yang mengalami luka-luka. Aksi ini terjadi di lapangan Sepak Bola Karel Gobay, kota Enarotali, Kabupaten Paniai depan Kantor Koramil Paniai pada 8 Desember 2014, pukul 09.30 WP.

 

Peristiwa kedua ini terjadi ketika warga memprotes dan meminta pertanggung jawaban atas tindakan penyiksaan (peristiwa pertama). Warga memprotes dengan cara memalang jalan raya di Togokotu Kampung Ipakiye (Tempat Kejadian Perkara 1) dan meminta pelaku penyiksaan serta mobil yang digunakan dihadirkan agar meminta alasan penyiksaan dan pertanggung jawaban.

 

Kapolres dan Wakil Bupati menemui warga di tempat pemalangan untuk bernegosiasi agar membuka palang. Saat bernegosiasi sedang berlangsung, Wakapolres Paniai memberitahukan (memerintahkan) kepada bawahannya melalui telepon satelit (Handphone Satelit/HT) agar siaga satu, tidak lama kemudian, 1 pleton TNI AD dari Kodim Paniai di Enarotali tiba di tempat pemalangan jalan.

 

Situasi tidak terjamin untuk melanjutkan pemalangan jalan, maka warga memutuskan untuk membuka jalan dan berjalan kaki menuju kota Enarotali untuk meminta pertanggung jawaban kepada pihak TNI dan Polisi (Koramil, Timsus dan Polres Paniai).

 

Warga dari Ipakiye dan Madi yang berjalan kaki tiba di Lapangan sepakbola Karel Gobay bergabung dengan massa rakyat dari kota Enarotali yang terlebih dulu berada di tempat tersebut.

 

Lapangan Karel Gobay itu berada di depan Kantor Koramil. Jarak antara Lapangan dengan Kantor Koramil berkisar antara 25 Meter.

 

Warga berada di lapangan sepak bola sambil menari (waita) untuk berdialog dengan pimpinan Kodim, Tim Khusus Yonif 753 AVT dan Polisi atas kasus penyiksaan yang dilakukan oleh oknum TNI AD. Saat warga masih berada di lapangan, gabungan Aparat (TNI AD dan Polisi) sudah siap siaga, lengkap dengan peralatan senjata di Kantor Koramil dan Polsek.

 

Warga menuju ke Kantor Koramil untuk meminta berdialog demi menyelesaikan kasus penyiksaan. Niat ini tidak diterima, tidak bersedia berdialog dengan warga oleh pihak aparat.

 

Warga kecewa atas sikap aparat tersebut. Sikap kekecewaan warga itu diekspresikan dengan melempari mobil Inova Rush berplat B yang berada di depan Kantor Koramil dengan batu dan Mobil yang dilempari itu diduga kuat digunakan aparat saat peristiwa penyiksaan (peristiwa 1).

 

Gabungan Aparat (TNI AD/Polisi) merespon aksi pelemparan mobil itu dengan tembakan ke sasaran warga sipil yang tak bersenjata. Aksi penembakan brutal terhadap warga itu menewaskan 4 warga sipil saat itu juga. 6 orang luka tembakan kritis dilarikan ke rumah sakit dan 16 orang lainnya mengalami-luka-luka.

 

Korban dan Pelaku

 

Peristiwa Pertama (Penyiksaan)

Pelaku: TNI AD Yonif 753/AVT Nabire di Paniai. Tim Operasi Khusus ini ditempatkan oleh Pangdam Cendrawasih Papua di daerah yang dianggap rawan.  

 Korban: Yulianus Yeimo (15) warga Kampung Ipakiye

 

Peristiwa Kedua (Pembunuhan Kilat dan Penembakan)

Pelaku: Gabungan TNI AD dan Polri (Timsus Yonif 753, anggota Koramil Paniai Timur, Kopasus, Brimob Polda Papua dan anggota Polres Paniai).

Korban: Warga sipil

 

Nama-nama Korban

 

Korban Tewas

1. Yulianus Yeimo (17), Suku Mee, pelajar SMA Negeri 1 Enagotadi, meninggal di RSUD Paniai

2. Apinus Gobai (16), Suku Mee, pelajar SMA Negeri Paniai Timur, tewas di tempat

3. Simon Degei (17), Suku Mee, pelajar SMA YPPGI Enagotadi, tewas di tempat

4. Alpius You (18), Suku Mee, siswa SMK Yamewa Enagotadi Paniai, tewas di tempat

5. Abia Gobay (17), Suku Mee, warga Kogekotu Enagotadi, tewas 400 Meter dari Kantor Polisi

 

Korban Kritis

1. Yulianus Tobai (33), Satpam RSUD Paniai

2. Selpi Dogopia (34), Ibu Rumah Tangga Enagotadi Paniai

3. Jermias Kayame (48), Kepala Kampung Awabutu, dirawat di RSUD Paniai di Madi  

4. Marice Yogi (52), Ibu Rumah Tangga di Enagotadi, dirawat di RSUD Paniai di Madi   

5. Yulianus Mote (25) Pemuda Enagotadi, dirawat di RSUD Paniai, di Madi

6. Agusta Degei (28), Ibu Rumah Tangga, dirawat di RSUD Paniai di Madi

 

Korban Luka-luka

1. Oni Yeimo (Pemuda) dirawat di RSUD Paniai di Madi

2. Yulian Mote (25), PNS, dirawat di RSUD Paniai di Madi

3. Oktovianus Gobay (Siswa SMP Kls I), dirawat di RSUD Paniai di Madi

4. Noak Gobai (Mahasiswa di STIKIP Semester V), dirawat di RSUD Paniai

5. Bernadus Magai Yogi (Siswa SD Kls IV), dirawat di RSUD Paniai di Madi

6. Akulian Degey (Siswa SMP Kls I), dirawat di RSUD Paniai di Madi

7. Andarias Dogopia (Pemuda) dirawat di RSUD Paniai di Madi

8. Abernadus Bunai (Siswa SD Kls IV), dirawat di RSUD Paniai di Madi

9. Neles Gobay (PNS), dirawat di RSUD Paniai di Madi

10. Jerry Gobay (Siswa SD Kls V), dirawat di RSUD Paniai di Madi

11. Oktovianus Gobay (Siswa SD Kls V), dirawat di RSUD Paniai di Madi

12. Yuliana Edoway (Ibu Rumah Tangga), dirawat di RSUD Paniai di Madi

 

Negara dan HAM

 

Berdasarkan fakta-fakta dalam peristiwa pertama dan peristiwa kedua yang diuraikan di atas dapat kita temukan aktor-aktor yang terlibat dalam kasus Paniai berdarah.

 

Aktor pertama adalah Negara (TNI AD/Yonif 753 dan Polri) dan aktor kedua adalah warga sipil. Di sini terjawab atas dua pertanyaan di atas tadi bahwa pelaku penyiksaan dan penembakan adalah aparatur negara dan korban adalah masyarakat sipil karena itu, merekalah yang harus bertanggung jawab atas perbuatannya.

 

Aksi aparat Negara di Paniai merupakan tindakan yang melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Aparat Negara telah melanggar dan mencabut hak asasi warga atas hidup, hak bebas dari penyiksaan, hak atas bebas dari tindakan kejam dan tidak manusia yang merendahkan martabat manusia, hak warga untuk memperoleh keadilan dan perdamaian, hak warga atas mencari dan memperoleh informasi, serta hak warga atas kebebasan menyampaikan pendapat.

 

Dari semua hak itu, hak atas hidup adalah hak yang paling utama karena tanpa hak itu, hak asasi yang lain tak berlaku.

 

Aksi Aparat Negara yang melanggar hak asasi warga sipil adalah tindakan yang melalaikan kewajiban utama dalam melindungi dan menjamin hak asasi warga negaranya.

 

Sebagaimana, setiap Negara termasuk Indonesia diwajibkan untuk melaksanakan kewajiban melaksanakannya pasca Deklarasi Umum HAM (DUHAM, 10/12/1948).

 

Semua Negara baik anggota PBB maupun non PBB sebagai pelaksana utama mengimplementasikan, mempromosikan dan memajukan HAM. Untuk Indonesia sendiri telah menjadi negara pihak yang terikat secara hukum untuk melaksanakan dan mempertanggungjawabkan kewajiban pelaksanaan HAM.

  

Status Kasus: Pelanggaran Berat HAM?

 

Dikatakan suatu kasus masuk dalam kategori pelanggaran berat HAM apabila suatu serangan yang dilakukan oleh aparat negara (individu atau kelompok orang atas persetujuan dan diketahui oleh negara) terhadap warga sipil dengan memenuhi unsur sistematis atau terencana dan meluas.

 

Sementara itu, pelanggaran berat HAM menurut Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM adalah pelanggaran HAM yang meliputi kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

 

“Kejahatan terhadap genosida adalah setiap tindakan yang dilakukan dengan maksud untuk memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, etnis dan agama. Bentuk tindakan berupa membunuh anggota kelompok…”.

 

Sedangkan, “Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan meluas atau sistemik yang diketahui bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil berupa pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, penyiksaan, pemindahan atau pengusiran penduduk secara paksa…”.

 

Lalu pertanyaan bagi kita sekarang adalah apakah dalam kasus ini telah terjadi pelanggaran HAM berat? Menurut hemat penulis, dari data-data awal yang diperoleh dapat menunjukan bahwa ada indikasi pelanggaran berat HAM dalam kasus Paniai. Indikasi pelanggaran berat HAM terlihat dengan beberapa indikator;

 

Pertama, oknum anggota TNI tanpa menyalakan lampu melintasi di Kampung Ipakiye pada tengah malam diduga kuat merupakan operasi awal dari sebuah operasi yang terencana dan sistematis.

 

Jika bukan operasi terencana, teguran yang mengingatkan taat akan berlalulintas dari Yulian Yeimo itu tidak mungkin berakhir dengan aksi penyiksaan. Kebaikan dibalas dengan tindakan kejahatan ini patut diduga ada motif terencana dibalik aksinya.

 

Kedua, Wakapolres memerintahkan kepada bawahannya untuk siaga 1 saat berada di Togokotu lokasi pemalangan jalan sebelum aksi penembakan terjadi di Lapangan Karel Gobay.

 

Untuk melegitimasi perintah ini, mereka menuduh pihak TPNPB terlibat dalam aksi warga tanpa bukti yang jelas dan itu tidak sesuai dengan fakta yang nyata saat itu.

 

Ketiga, aksi penyerangan terhadap warga sipil meluas; Serangan tersebut tidak hanya ditujukan kepada warga sipil yang berada di lapangan Karel Gobay, tetapi juga di luar dari lapangan.

 

Hal ini terlihat jelas dengan lokasi penemuan mayat Abia Gobay di Kogekotu, jarak antara Kantor Koramil dan Polsek dengan Kogekotu diperkirakan 500 Meter.

 

Dengan demikian, dapat terlihat jelas bahwa serangan yang dilakukan aparat negara terhadap warga sipil di Paniai diduga dilakukan secara terencana atau sistematis dan meluas.

 

Dua unsur terencana atau sistematis dan meluas dalam kasus ini dapat terpenuhi kriteria pelanggaran berat HAM yang diatur dalam hukum dan HAM.

 

Terutama tentang kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM pasal 9 dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM pasal 104.

 

Karena itu, tidak ada alasan bagi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Komnas HAM RI) untuk membentuk Komisi Penyelidikan Pelanggaran HAM (KPP HAM) untuk menyelidiki kasus Paniai berdarah 2014.

 

*Elias Ramos Petege adalah Aktivis HAM Papua

Terkini

Populer Minggu Ini:

Desak Pelaku Diadili, PMKRI Sorong Minta Panglima TNI Copot Pangdam Cenderawasih

0
“Beberapa waktu lalu terjadi kasus penangkapan, kekerasaan dan penyiksaan terhadap dua pelajar di kabupaten Yahukimo. Kemudian terjadi lagi hal sama yang dilakukan oleh oknum anggota TNI di kabupaten Puncak. Kekerasan dan penyiksaan terhadap OAP sangat tidak manusiawi. Orang Papua seolah-olah dijadikan seperti binatang di atas Tanah Papua,” ujarnya saat ditemui suarapapua.com di Sorong, Papua Barat Daya, Rabu (27/3/2024).

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.