ArsipPerjuangan Seorang Pegawai Negeri Papua (Bagian III)

Perjuangan Seorang Pegawai Negeri Papua (Bagian III)

Sabtu 2015-08-22 06:00:52

Momennya? Apalagi kalau bukan peringatan “kemerdekaan” Papua pada 1 Desember 2004 —untuk mengingat deklarasi kemerdekaan Nieuw Guinea pada 1 Desember 1961. Tanggal ini tampaknya jadi keramat. Entah karena sering dipakai buat protes terhadap Indonesia. Entah karena sering bikin paranoid para suanggi di Papua.

Oleh: Andreas Harsono*

 

Remaja Audryne ingat bapanya suatu malam mengatakan, “Besok Bapa mau pergi kibarkan bendera dan mau orasi sedikit di Lapangan Trikora Abepura, kam dua jaga diri, kalau Bapa dapat tangkap dari polisi tidak usah kuatir, tidak usah lihat Bapa di kantor polisi. Tinggal di rumah saja dan pergi sekolah seperti biasa. Tuhan Yesus jaga kita semua.”

 

Pada 1 Desember 2004, Filep Karma mengumpulkan mahasiswa di Lapangan Trikora, Abepura. Acara dihadiri ratusan pelajar dan mahasiswa Papua. Dari rekaman You Tube, saya lihat mereka teriak, “Merdeka!” Tak ada panggung. Hanya tanah lapang. Mahasiswa duduk di tanah. Ada dua pendeta menerima “uang persembahan” buat beli minum. Mereka menyerukan penolakan terhadap otonomi yang dinilai gagal.

 

Puncak acara adalah pidato Filep Karma. Dia pakai pakaian coklat muda, seragam pegawai negeri, jenggotnya lebar, kepala bagian depan botak dan rambut bagian belakang diikat. Saya kira ia pidato yang penting karena Karma secara terbuka bicara soal mengapa orang Papua mau merdeka dari Indonesia. Dia kuatir etnik Melanesia akan habis di tanah airnya sendiri. Mereka banyak dipinggirkan dan kalah kompetisi yang berat sebelah dengan para pendatang. Dia membahas mengapa tuntutan merdeka dijawab dengan otonomi oleh Jakarta. Dia juga bicara soal batasan nasionalisme Papua. Gaya bahasa Karma adalah gaya lisan. Dia seakan-akan bikin tanya-jawab dengan dirinya sendiri. Pidatonya penuh semangat:

 

Kemarin kita demo 1998 tuntut merdeka. Dong takut. Jadi dong bilang, “Kita kasih sedikit kah makan di situ.”

 

Yang sedikit ini, teman-teman yang jadi pejabat, dia makan lebih banyak. Ini kenyataan. Dia orang kulit hitam, rambut keriting. Tapi dia punya hati lebih Indonesia. Saya kasih contoh begini. Kita lihat negara Brazil. Waktu dorang main bola, apa semua kulit hitam atau semua kulit putih? Tidak. Kita orang, sama-sama orang Brazil. Mereka semua orang Brazil.

 

Mari kita semua berpikir bahwa kita semua orang Papua. Mau ko rambut lurus kah, ko juga berteriak Papua Merdeka. Ko mari ikut kita orang gabung.

“Oke kalau ko takut, ko bikin berita-berita besar di koran, ko kampanye keluar kah?”

 

Dunia sekarang liat, kalau kita hanya berpikir ras, kadang-kadang dorang tidak dukung. Saya bilang, “Papua jangan sampai terjadi pembunuhan.” Contoh di Afrika. Negara merdeka tapi suku satu bunuh suku satu. Suku lain bunuh suku yang lain.

 

Nah ini kita orang di Papua tidak mau. Kita ini 250 suku, khusus orang Papua 250 suku. Kitorang merdeka bukan untuk kita baku bunuh. Jadi nanti bilang, “Ah seperti sekarang, suku satu naik jadi pemimpin, terus dia punya suku semua jadi pejabat.” Itu kenyataan. Yang begini tidak boleh. Itu tidak baik.

 

Jadi ke depan yang saya bayangkan, nanti Papua itu bukan suku Biak saja, Ayamaru saja, atau siapa. Orang bangsa Papua itu ada rambut lurus, rambut keriting, tapi orang Papua. Ada orang Makassar, orang Manado, tapi orang Papua. Ada orang Jawa, tapi orang Papua.

 

Tapi nanti kalau dia sudah jadi orang Papua, dia jadi mata-mata untuk Indonesia, ko bilang, “Sobat minta maaf. Ini ko bohong. Ini negara Papua, warga negara Papua kita pecat. Ko beli tiket, ko pulang sudah!”

 

Jadi besok Papua Merdeka, kita terdiri dari beragam suku bangsa. Mungkin ada orang Amerika juga, “Saya senang di Papua dan saya ingin jadi warga negara Papua.”

 

“Mari sobat yang penting ko sungguh-sungguh. Kalau ko jadi mata-mata, memberi informasi sama orang Amerika, ko pulang ke Amerika sana.”

 

Kenapa?

 

Yang punya tambang Freeport itu siapa? Amerika!

 

Amerika tiap hari dia lihat orang Indonesia bunuh Amungme dan Kamoro di depan mata. Kenapa dia tidak berteriak HAM? Baru dia lihat Saddam Husein yang jauh-jauh, baru dia ribut disana. Amerika juga penipu besar. Dia lihat Soeharto bunuh kitorang, dia diam saja. Karena dia lihat Soeharto bikin dia punya tambang.

 

You Tube tak merekam apa yang terjadi sesudah pidato Filep Karma. Dari beberapa saksi mata diketahui polisi membubarkan acara itu. Bentrokan pecah dan kerumunan orang menyerang polisi dengan balok kayu, batu dan botol. Polisi melepaskan tembakan. Karma ditahan dan dituduh makar. Dia mengatakan sudah siap dengan hukumannya.

 

Pada 27 Oktober 2005, pengadilan negeri Abepura menghukumnya 15 tahun penjara. Rekannya, Yusak Pakage, divonis 10 tahun penjara. Mereka banding dan kalah terus sampai Mahkamah Agung di Jakarta. Hukumannya tetap 15 dan 10 tahun.

 

Maka Filep Karma memulai hari-hari yang panjang di penjara Abepura.

 

Menurut putrinya, Audryne Karma, “Selama berada di penjara Abepura, Bapa beberapa kali mengalami masalah kesehatan, mulai dari berat badan yang turun dari 60 jadi 49 kilogram akibat sanitasi dan gizi yang buruk di penjara, sakit prostat yang cukup berat, serta radang kronis usus besar.”

 

“Kami tidak punya banyak uang untuk biaya pengobatan, pemerintah pun tidak dapat menjamin biaya pengobatan, namun beberapa simpatisan individu dan organisasi internasional memberi bantuan sehingga dapat menutupi seluruh pembiayaan,” katanya.

 

Menurut hukum Indonesia maupun kesepakatan PBB tentangPrinciples for the Protection of All Persons under Any Form of Detention or Imprisonment, semua biaya pengobatan dan perawatan seorang narapidana harus ditanggung negara.

 

Karel Lina serta kedua putrinya, Audryne dan Andrefina, merasakan kepahitan. Mereka sering disindir sebagai keluarga orang OPM. Kedua remaja itu baru umur 17 dan 16 tahun ketika bapanya ditangkap. Karel Lina tak betah tinggal di rumah Jl. Macan Tutul. Ia terlalu sering didatangi suanggi. Dia capek ditanyai orang soal suaminya. Karel Lina memutuskan mengirim kedua puterinya sekolah di Bandung. Mereka beruntung bisa diterima di Universitas Padjadjaran. Rumah warna putih itu pun dikosongkan dan Karel Lina kost di dekat rumah sakit.

 

Bandung cukup dekat dari Jakarta. Saya sering bertemu mereka. Acapkali bila saya bicara dengan Audryne dan Andrefina, mereka menangis bila ingat masa-masa sulit sesudah bapanya ditangkap. Hubungan Karel Lina dengan suami juga tegang. Karel Lina tak pernah mau bertemu dengan siapa pun, termasuk saya, yang hendak bicara soal suaminya. Constantine di Biak juga pisah dari isterinya. Sampari, adik Filep yang ikut demonstrasi di Biak pada 1998, ditahan ketika dia baru saja melahirkan anaknya. Pada 2008 Sampari meninggal dunia.

 

Saya kira dengan Filep Karma masuk penjara lagi, keluarga besar Karma lebih dalam kesulitan. Constantine bilang dia dipersulit kredit bank buat bisnis pigura. Keluarga ini cukup cerai berai. Menurut Constantine, Filep minta adiknya tak terlibat politik apapun agar ada yang mengurus keluarga. Saya juga punya kesan walau tertekan, mereka tetap menunjukkan sikap sebagai orang yang punya harga diri. Nene Noriwari adalah perempuan yang kuat menjaga klan Karma. Kesukaannya, menyanyikan lagu-lagu gereja.

 

Pengganti Megawati Soekarnoputri, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, menciptakan sebuah aturan dimana menaikkan bendera Bintang Kejora dinyatakan sebagai kegiatan terlarang lewat Peraturan Pemerintah nomor 77 tahun 2007. Aturan ini, menurut ketua Majelis Rakyat Papua Agus A. Alua, melanggar UU tentang Otonomi Khusus tahun 2001. Yudhoyono diam saja.

 

Ironisnya, orang-orang Papua lantas mengetahui bahwa Lt. Kol. Hartomo, yang sudah dihukum penjara 3,5 tahun di Surabaya dan seharusnya dipecat dari militer, ternyata naik pangkat jadi kolonel. Hartomo bahkan menjadi komandan Group I Kopassus di Serang.

 

Di Papua, polisi, militer, jaksa serta hakim Indonesia terus mengkriminalkan aktivis-aktivis Papua, termasuk anak-anak muda yang bergabung dengan Komite Nasional Papua Barat. Indonesia melarang segala bentuk pengungkapan ekspresi damai di Papua. Namun beberapa tokoh KNPB mulai tak sabar. Saya curiga ada beberapa yang terpancing untuk lakukan kekerasan. (BERSAMBUNG)

 

*Penulis adalah aktivis Hak Asasi Manusia (HAM), bekerja untuk Human Rights Watch (HRW). Naskah ini sebelumnya dimuat di Majalah Rolling Stone.

Terkini

Populer Minggu Ini:

Atasi Konflik Papua, JDP Desak Pemerintah Buka Ruang Dialog

0
“JDP menyerukan kepada pemerintah agar konflik bersenjata di Tanah Papua harus dapat diakhiri dengan mengedepankan cara-cara damai yakni melalui dialog,” kata Warinussy.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.