ArsipDPR RI Keliru Menyoroti Persoalan di Papua Soal SDP

DPR RI Keliru Menyoroti Persoalan di Papua Soal SDP

Jumat 2015-10-02 03:19:24

Desakan Komisi I DPR RI dalam rapat kerja dengan Badan Intelijen Negara (BIN) pada Senin, 28 September 2015 kemarin untuk menerapkan pendekatan keamanan dalam mengatasi persoalan Papua adalah sesuatu yang amat keliru.

Oleh: Oktovianus Marko Pekei*

 

Ungkapan Ketua Komisi I DPR RI yang mengatakan bahwa yang dibutuhkan di Papua sebenarnya adalah satu kebijakan politik. Apakah Papua akan diselesaikan semata-mata dengan pendekatan kesejahteraan? Atau kita harus memulai dengan suatu formula baru.

 

Misalnya, kita memadukan pendekatan kesejahteraan dengan pendekatan keamanan. Karena toh, ketika kita menghindari pendekatan keamanan, yang dilakukan oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM) khususnya dari sayap bersenjata, ini kan juga terus mereka melakukan tindakan-tindakan kriminalitas bersenjata.

 

Karena itu, menurut Kepala BIN, akan membentuk Satgas Damai Papua (SDP) yang terdiri dari unsur BIN, unsur-unsur lain yang ada di daerah termasuk juga Kopasus.

 

Hal ini menunjukkan bahwa selain pendekatan kesejahteraan, diperlukan pula pendekatan keamanan dengan alasan OPM dari sayap bersenjata kerap melakukan tindakan kekerasan bersenjata.

 

Disini kiranya Komisi I DPR RI sebagai wakil rakyat hendaknya mesti menjelaskan indikator-indikator yang menunjukkan kemungkinan adanya tindakan-tindakan kekerasan bersenjata oleh OPM dari sayap bersenjata.

 

Apa yang menjadi tolok ukurnya, sehingga Komisi I meminta BIN menerapkan pendekatan keamanan? Hal ini dikatakan demikian karena kenyataan di Papua menunjukkan bahwa hingga saat ini tidak ada gejala yang dilakukan oleh OPM dari sayap bersenjata untuk melakukan tindakan-tindakan kekerasan bersenjata.     

 

Jikalau Komisi I DPR RI memiliki data yang falid yang menunjukkan OPM dari sayap bersenjata sedang melakukan aksi-aksi tertentu yang bermuara pada munculnya konflik kekerasan, seperti apa pendropan senjata dan amunisi, melakukan aktivitas latihan maupun gerakan gerilya dan sebagainya?

 

Apabila data itu ada, maka silahkan Komisi I DPR RI sampaikan kepada publik karena pernyataan itu seolah-olah menunjukkan bahwa adanya peningkatan aktivitas kelompok bersenjata di Papua yang kemungkinan sedang atau akan bermuara pada munculnya aksi kekerasan. Komisi I tidak bisa dengan gegabah mengatakan semua itu tanpa fakta.

 

Oleh karena itu, Komisi I hendaknya menjelaskan kemungkinan munculnya aksi-aksi kekerasan oleh kelompok bersenjata di Papua. Sekalipun ada, kiranya penting juga mengukur seberapa besar kemungkinan itu ada, sehingga publik tahu eskalasi aktivitas kelompok bersenjata yang mengganggu keamanan dan kenyaman hidup bersama di Papua.     

 

Desakan Komisi I DPR RI untuk menerapkan pendekatan keamanan ini sungguh akan sangat menimbulkan kontroversi bagi banyak kalangan di Papua yang selama ini mengikuti realitas tindakan kekerasan bersenjata yang menimbulkan korban.  Bahkan banyak pihak yang selama ini melakukan aksi-aksi protes atas kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan tentu akan mengatakan kekerasan dengan senjata justru dilakukan oleh aparat keamanan.

 

Senjata yang disebut sebagai alat negara justru digunakan untuk menembaki warga negaranya sendiri. Kita bisa simak berbagai kasus kekerasan dengan menggunakan senjata yang akhir-akhir ini terjadi di Papua.  Contoh kongkrit misalnya yang terjadi Senin, 28 September 2015 kemarin di Timika, Aparat Keamanan menembaki 2 pelajar hingga satunya mati di tempat dan satunya kritis di rumah sakit. Ini merupakan kasus terbaru dari sekian kasus kekerasan lainnya yang dilakukan oleh aparat keamanan terhadap masyarakat sipil.

 

Sementara itu, seberapa banyak kasus kekerasan yang dilakukan oleh kelompok bersenjata di Papua? Hal ini juga perlu kita identifikasi bersama agar kita bisa menilai pelaku kekerasan dengan menggunakan senjata di Papua. Lebih daripada itu ialah pemerintah hendaknya fokus pada kewenangannya untuk membangun Papua dari berbagai sisi ketertinggalan.

 

Kesadaran bahwa membangun Papua ialah kewajiban pemerintah itu harus dibangun di berbagai jenjang pemerintahan agar pemerintah pusat hingga daerah sungguh-sungguh menyadari hal ini dan berkonsentrasi penuh untuk membangun Papua.

 

Hal itu pun diungkapkan oleh Ketua Komisi I DPR RI bahwa pendekatan kesejahteraan sangat penting, namun tingkat korupsi di pemerintahan daerah juga sangat tinggi. Efektifitas pemerintahan di daerah juga angat lemah.

 

Jikalau Komisi I telah menyadari persoalan yang dianggap menghambat pembangunan, mengapa tidak mendorong persoalan ini kepada pemerintah dan aparat penegak hukum? Komisi I semestinya mendorong kedua persoalan yang berkaitan dengan pembangunan tersebut, karena justru kedua persoalan itulah yang justru menghambat pembangunan di Papua. Komisi I jangan mendorong persoalan di Papua seolah-olah dilakukan oleh kelompok sipil bersenjata di Papua.

 

Demikian pula, persoalan kekerasan dengan menggunakan senjata seolah-olah hanya dilakukan oleh kelompok sipil bersenjata, karena memang dalam realitas persoalan biasanya kelompok tertentu mudah dikambinghitamkan, padahal pelakunya tinggal tenang-tenang saja.

 

Persoalan di Papua yakni tindakan kekerasan dengan menggunakan senjata sebagaimana yang diungkapkan oleh Komisi I DPR RI mesti dilakukan kajian lebih jauh agar kita tidak lari keluar dari persoalan yang sebenarnya.

 

*Penulis adalah Ketua Dewan Adat Wilayah (DAW) Meepago, Mahasiswa Pascasarjana Perdamaian dan Resolusi Konflik di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.

Terkini

Populer Minggu Ini:

KPK Menang Kasasi MA, Bupati Mimika Divonis 2 Tahun Penjara

0
“Amar Putusan: Kabul. Terbukti Pasal 3 jo Pasal 18 UU PTPK jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 64 ayat (1) ke-1 KUHP. Pidana penjara 2 tahun dan denda Rp200 juta subsidair 2 tahun kurungan,” begitu ditulis di laman resmi Mahkamah Agung.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.