ArsipPapua dan Bali: Refleksi di Garis Frontier

Papua dan Bali: Refleksi di Garis Frontier

Kamis 2012-10-04 10:23:00

Kisah Bali dan Papua

Kisah I Natur yang saya temui beberapa tahun lalu di sebuah desa kecil di kaki pulau Bali memberikan kesan mendalam. Ia dan keluarganya dengan gigih memperjuangkan tanahnya yang terus menerus diincar investor untuk pembangunan kompleks pariwisata megah. Sementara seluruh krama di desanya sudah melepaskan tanahnya, I Natur dan keluarga menempati tanahnya dikelilingi proyek megah pembangunan pariwisata. Tingginya bangunan menjulang infrastruktur pariwisata menenggelamkan rumah dan sanggah I Natur dan keluarga.

Saat saya menginjakkan kaki di Tanah Papua, saya beruntung mendengar kisah dari Mama Yance yang berjualan pinang di depan asrama dosen tempat saya tinggal. Mama bercerita bagaimana ia dan seorang anaknya berkebun di sebuah kampung di pinggiran kota. Selain berkebun pinang, mama dan anaknya juga menanam sayur-sayuran dan buah-buahan. Dua atau tiga kali seminggu mama berjualan hasil kebunnya ke pasar di kota atau menumpang berjualan sirih pinang di dekat kampus. Saingan mama bukan hanya para pendatang yang juga berjualan pinang, tapi para pedagang bermodal besar yang menghuni kios-kios di deretan terbawah pasar tingkat di pusat kota. Sementara Mama Yance hanya berjualan dengan menggelar karung noken (tas) di tanah dan kemudian menggelar dagangannya. Beberapa meter dari tempat Mama Yance berjualan, jaringan internasional hotel megah dan deretan supermarket dengan reklame makanan siap saji berdiri menjulang.

Negara dan modal berkolaborasi untuk mengusai jaringan-jaringan ekonomi makro yang merangsek ekonomi rakyat hingga ke titik nadir. Rekognisi dan tindakan afirmatif (pemihakan) terhadap perekonomian rakyat seakan hanya janji kosong para birokrat dan politisi. Deru investasi masuk tanpa henti menghasilkan deretan ruko, hotel, apartemen, supermarket, bahkan menyulap tanah masyarakat lokal menjadi perkebunan kelapa sawit hingga coklat. Pasar tradisional tempat mama-mama Papua berjualan minim sekali untuk terjamah anggaran dana otus atau APBD. “Pejabat dong (mereka) hanya pikir perut sendiri saja. Tong (kita) hanya bisa lihat bagaimana dong baku tipu (mereka saling tipu) sampeeeee dana habis.” keluh mama-mama di pasar yang saya dengar.

Di Bali, sebagaimana kita tahu sama tahu, energi dan semua kemampuan masyarakat dimobilisasi untuk bersilat lidah dalam wacana pelestarian budaya. Didukung sponsor negara dengan aparatus dan modalnya, wacana tentang pelestarian budaya menjadi peluang bagi para akademisi, budayawan, politisi hingga hingga tokoh masyarakat mewacana pencanggihan pelestarian budaya. Gula-gulanya adalah siasat manusia mencari akses ekonomi politik dibawah koor pelestarian budaya.

Penggalian-penggalian otentisitas (keaslian) budaya inilah yang ditangkap oleh kuasa kapital global bernama pariwisata. Didukung oleh gerakan-gerakan kelas menengah baru dalam pencarian esensialisme, kebudayaan Bali menjadi komoditas kapitalisme kultural baru (Santikarma, 2003; Suryawan, 2010; Nordholt, 2010) yang sangat menjanjikan sekaligus memprihatinkan. Menjanjikan karena akan menjadi modal luar biasa dalam mengekspor otentisitas dalam promosi pariwisata Bali. Memprihatinkan saya kira karena menutup ruang wacana kritik kebudayaan, yang melihat kebudayaan sebagai yang cair, dinamis, dan pewacanaan kebudayaan sebagai refleksi manusia Bali sendiri.

Ruang Friksi dan Siasat

Di tengah interkoneksi global yang menerjang masyarakat tempatan, menegakkan identitas diri menjadi sesuatu yang sulit sekaligus paradoks. Gerakan-gerakan sosial kemasyarakatan kini praksis terjebak dalam lingkaran interkoneksi global ini. Masyarakat yang sedang bergerak ini terus mencari konstruksinya sendiri di tengah bentangan dunia sebagai pasar global. Gerakan-gerakan sosial mewakili komunitas tempatan, adat, atau revitalisasi kebudayaan kadang tidak terlepas dari penetrasi kuasa global kapital ini. Lantunan gerakan penguatan kebudayaan Ajeg Bali (baca: pencarian otentisitas nilai budaya Bali) tidak semurni untuk nindihin Bali (membela Bali) seperti apa yang sering dimuat di media-media lokal, tapi penuh dengan tipu muslihat dan kisah-kisah interkoneksi yang aneh dengan kuasa kapital bernama pariwisata, industri media, dan romantisasi keagungan kebudayaan Bali.

Fragmen-fragmen (penggalan kisah-kisah tak beraturan) manusia di garis depan (frontier) inilah yang oleh Anna Lauwenhaupt Tsing (2005) disebut dengan friksi (friction), ruang “hampa makna” manusia di tengah interkoneksi global. Manusia-manusia bersiasat saling tikam, baku tipu memanfaatkan peluang-peluang yang dihadirkan oleh investasi dan kuasa global kapital. Negara dan hukum absen bahkan menjadi salah satu pion dalam jejaring global ini. Yang ada hanyalah persaingan kekuatan modal dan gembar-gembor kisah-kisah fantastis penciptaan komoditas.

Pada ruang-ruang inilah, masyarakat tempatan berada di ruang hampa makna, ketika penegakan identitas tidak bisa serta merta mendaku kepada tanahnya yang telah dikuasai kuasa modal global. Dalam ruang friksi inilah seluruh gerak kekuatan masyarakat terinfeksi kuasa modal global. Identitas dan kebudayaan lokal direproduksi menjadi komoditas yang diceritakan, “diomong kosongkan”, dilebih-lebihkan untuk kemudian diwariskan dan didramatisir menjadi komoditas bernama otentisitas. Pada momen inilah pelemahan-pelemahan gerakan rakyat terus menerus tanpa henti.

Rekognisi terhadap gerakan rakyat dan penegakan identitas budaya masyarakat tempatan tertelan kuasa global kapital. Rekognisi terhadap pemberdayaan petani di Bali tertimbun wacana pelestarian budaya dan isu global pariwisata. Penetrasi modal menggerus tanah-tanah manusia Bali untuk infrastruktur pariwisata. Lahan persawahan terhimpit gedung-gedung ruko atau jejeran vila-vila di pinggir tebing. Bahkan, pemandangan persawahan menjadi komoditas untuk pariwisata.

Jauh di kampung-kampung pegunungan Papua, pembangunan infrastruktur jalan menembus daerah-daerah terisolir. Alih fungsi lahan yang dimiliki masyarakat lokal disulap menjadi perkebunan dan kelapa sawit ratusan hektar. Introduksi program transmigrasi menggerus tanah-tanah adat untuk pemukiman penduduk dan daerah pertanian. Dengan dana otonomi khusus, pembangunan infrastruktur terus digenjot tanpa henti.

Namun, tetap saja kisah kesuksesan pariwisata di Bali dan pembangunan infrastruktur di Papua menyisakan pertanyaan besar. Bagaimana rekognisi terhadap masyarakat lokal? Di Bali mungkin kita belum terbuka untuk mengakui “kisah kelam” manusia-manusia Bali yang “dikalahkan” untuk pariwisata, yang tanahnya direbut, dan hidupnya yang dimiskinkan. Di Papua, kencangnya pembangunan infrastruktur meninggalkan pemberdayaan ekonomi penduduk asli Papua. Jaringan perdagangan dan toko-toko penuh sesak dengan para pendatang yang menjadi pelayan atau pegawai. Sementara masyarakat asli Papua tetap berjualan sirih pinang dan hasil bumi di pasar tradisional.

Refleksi Diri dan Antarbudaya

Fragmen-fragmen manusia yang “dikalahkan” membuka ruang refleksi yang dalam pada hubungan antara kebudayaan dan identitas diri manusia yang terus berubah. Kebudayaan menawarkan ruang bagi refleksi kritik diri manusia dalam rentang sejarahnya. Diri manusia bukanlah substansi, tetapi subyek yang terus bergerak, jadi diri manusia, dan juga demikian dengan identitasnya adalah sebuah gerakan sosial.

Wacana kritik kebudayaan di satu sisi adalah ruh sekaligus refleksi identitas diri manusia sendiri. Refleksi atas diri terus akan berubah, bergerak terus menerus tanpa henti dalam ruang dan waktu. Di dalamnya terdapat kisah-kisah kelokan tajam. Pemahaman historis dalam konteks kebudayaan menjadi sangat penting untuk memahami konteks perubahan yang terjadi.

Pemahaman kebudayaan dengan perspektif reflektif diri berkaitan dengan revolusi kesadaran historis manusia akan hakekat hidupnya. Pada titik inilah dilantunkan eksistensi manusia yang terbentang antara masa lampau dan masa depan. Pemahaman kebudayaan dengan demikian bertumpu pada pemahaman atas diri sendiri dalam konteks historisnya.

Bagi manusia, memahami kebudayaan juga berarti pemahaman dirinya, identitasnya sendiri. Jika demikian, memahami kebudayaan lain (antarbudaya), selain berusaha untuk belajar bersama-sama kebudayaan tersebut juga adalah memahami diri manusia tersebut. Semangatnya adalah mengapresiasi budaya lain dan juga dalam rangka menemukan identitas diri yang inklusif, dinamis, transformatif, dan dengan demikian juga dialektis.

Melalui perspektif antar budaya, kita akan diajak untuk menyelami perbedaan sebagai sebuah cermin untuk melihat kembali jauh ke dalam diri masing-masing betapa seringkali kita membentengi diri, menganggap diri sendiri yang paling baik dan mengecilkan peran masyarakat dan budaya lain yang ada di luar kedirian kita. Proses refleksi yang berkelanjutan menjadi sangat penting untuk mengapresiasi pengalaman-pengalaman masyarakat dan identitas yang berbeda-beda secara partisipatoris. Dengan demikian, proses mediasi dan pemberdayaan masyarakat tempatan menjadi usaha yang bersama-sama untuk membangun sejarah baru (Pujiriyani dan Anantasari, 2010; Laksono, 2009).
 

I Ngurah Suryawan, Dosen Jurusan Antropologi Fakultas Sastra Universitas Negeri Papua (UNIPA) Manokwari, Papua Barat. Menulis buku, Jiwa yang Patah (Kepel Press dan Pusbdaya Unipa, 2012)

1 KOMENTAR

Terkini

Populer Minggu Ini:

Ancaman Bougainville Untuk Melewati Parlemen PNG Dalam Kebuntuan Kemerdekaan

0
"Setiap kali kami memberikan suara di JSB [pertemuan Badan Pengawas Bersama yang melibatkan kedua pemerintah], kami membuat komitmen dan kami mengatakan bahwa semua hal ini perlu diperhatikan dan ketika kami kembali ke JSB berikutnya, isu-isu yang sama masih mengotori agenda JSB, karena tampaknya tidak ada yang mengatasinya."

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.