ArsipMenata Anggaran, Mencegah Separatisme

Menata Anggaran, Mencegah Separatisme

Selasa 2013-05-14 16:24:00

Pada tanggal 22 Desember 2011, Penjabat Gubernur Papua, atas nama Presiden, menyerahkan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Provinsi Papua tahun 2012 sebesar Rp 33 triliun lebih. Sekitar 27 persen adalah untuk intansi pemerintah pusat di Papua, dan selebihnya dikelola oleh pemerintah provinsi dan kabupaten/kota se-Papua.

Alokasi ini meningkat cukup signifikan dibandingkan tahun 2011, yaitu naik sebanyak Rp 5 triliun lebih.

Apabila dibandingkan dengan jumlah penduduk Papua, jelas jumlah anggaran yang digelontorkan pemerintah pusat ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan semua provinsi di Indonesia.

Tujuannya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Papua, yang adalah bagian dari rakyat Indonesia secara keseluruhan, sebagai mana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Tetapi, mengapa sesudah dana yang relative besar itu digelontorkan tahun demi tahun, paling tidak selama 11 tahun terakhir, yaitu sejak UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua berlaku, tuntutan “M” (merdeka, lepasdari NKRI) masih terus kita dengar?

Dihabiskan Birokrasi dan Elit Papua?

Bagi sementara pihak, Otsus Papua gagal karena dana pembangunan dihabiskan oleh kaum elit dan birokrasi. Tuduhan ini jelas mengada-ada. Setiap tahun, pemerintah pusat mentransfer dana-dana perimbangan (Dana AlokasiUmum, Dana Alokasi Khusus, dan dana-dana bagi hasil pajak dan sumber daya alam) langsung kerekening masing-masing pemerintah provinsi dan kabupaten/kota se-Papua. Sebagai mana di semua daerah di Indonesia, sebagian terbesar dari DAU (yang jumlahnya paling besar dibandingkan semua dana-dana perimbanganlainnya) habis dibelanjakan untuk gaji dan tunjangan pegawai negeri sipil.

Di lain pihak, dana Otsus, yang totalnya setara dengan 2 persen DAU nasional (besarnya untuk tahun 2012 sebesar Rp 4,4 triliun, sudah termasuk dana tambahan infrastruktur), ditransfer ke Pemerintah Provinsi Papua, dan langsung dibagi dengan formula 40 persen dikelola pemerintah Provinsi dan 60 persen untuk kabupaten/kota. Peruntukan dan penggunaannya pun sudah diatur secara tegas dalam peraturan daerah khusus (Perdasus). Bahkan, sejak 6 (enam) tahun lalu, sekitarRp 400 miliar danadari APBD Provinsi Papua dikucurkan ke kampung-kampung, sekitar 3.500 kampung dan ratusan distrik, untuk dikelola langsung oleh rakyat melalui program RESPEK-PNPM Mandiri. Ini belum termasuk penggunaan dana Otsus dalam bentuk JAMKESPA (Jaminan Kesehatan bagi Rakyat Papua Asli) untuk pembebasan semua biaya pengobatan di rumah-rumah sakit milik pemerintah provinsi sampai tingkat pelayanan kelas III.

Bapak Presiden juga telah mengambil langkah strategis dengan membentuk UP4B (Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat). Dengan mengkoordinir pemanfaatan dana-dana pembangunan di Papua, khususnya dana-dana pembangunan yang dikelola oleh berbagai kementerian di pusat, diharapkan pembangunan di Papua dan Papua Barat bisa lebih dipercepat dan dirasakan oleh rakyat.

Tetapi, sekali lagi, mengapa protes tak kunjung habis, dan tuntutan “M” terus menggema?

Masalahnya pada Prioritas Anggaran Pembangunan

Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 memperkenalkan dua istilah penting yang mengelompokkan urusan pemerintahan dan yang mempengaruhi secara signifikan penyusunan prioritas anggaran pemerintah daerah di seluruh Indonesia. Kedua istilah itu adalah urusan wajib dan urusan pilihan. Ada 26 urusan yang wajib dilaksanakan oleh pemda, mulai dari pendidikan, kesehatan, lingkungan hidup sampai perpustakaan. Selain itu ada pula urusan pilihan yang meliputi kelautan dan perikanan, pertanian, kehutanan, energi dan sumber daya mineral, pariwisata, industri, perdagangan, dan ketransmigrasian.

Sebenarnya tidak ada yang keliru dengan istilah “wajib” dan “pilihan” ini, karena PP 38/2007 mendefinisikan urusan pilihan sebagai “… urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesudai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah…”. Yang menjadi masalah adalah jumlah anggaran pemerintah daerah yang dialokasikan untuk membiayai urusan-urusan pilihan ini jauh lebih kecil dibandingkan anggaran untuk urusan wajib.

Di Provinsi Papua, misalnya, alokasi untuk membiayai Dinas dan kegiatan-kegiatan pembangunan pertanian taman pangan, perkebunan dan perternakan, serta perikananan dan kelautan berturut-turut hanya 10, 5 dan 9,8 persendari total anggaran pendidikan; atau hanya berturut-turut 6, 3 dan 6 persen apabila dibandingkan dengan alokasi untuk berbagai proyek pekerjaan umum. Jadi, bisa dibayangkan betapa kecilnya anggaran untuk sub-sub sector produksi pertanian ini dibandingkan dengan total anggaran pembangunan.

Apakah Pemerintah Perlu Membantu Produksi Rakyat Secara Langsung?

Jawabannya adalah “ya”, dan bahkan “harus!,”karena hanya kegiatan-kegiatan produksi-lah, sebagaimana yang tercantum dalam urusan pilihan, yang memungkinkan rakyat untuk memperoleh uang tunai untuk mereka belanjakan. Kita bisa memiliki fasilitas pendidikan yang mentereng, atau jalan-jalan yang mulus sampai ke pelosok-pelosok, tetapi ketika rakyat terbatas berproduksi dan berakibat pada rendahnya pendapatan mereka, maka cita-cita kesejahteraan akan semakin sulit dicapai.

Untuk kasus Papua, kesejahteraan yang sulit dicapai karena terbatasnya dana tunai yang dimiliki oleh rakyat dari hasil menjual barang dan jasa yang mereka produksikan sendciri, adalah ladang yang sangat subur untuk tumbuh dan berkembangnya separatisme.

Jadi, politik anggaran kita harus ditata ulang, khususnya anggaran pemerintah daerah-daerah tertinggal di Indonesia. Di daerah-daerah yang sudah maju, campur tangan pemerintah untuk menggerakkan produksi barang dan jasa rakyat mungkin sudah tidak terlalu penting, karena faktor-faktor produksi mudah diperoleh. Bank juga siap memberikan kredit usaha. Tetapi di daerah-daerah tertinggal di Indonesia, seperti Papua, pemerintah harus turun tangan, melalui pengalokasian dana yang memadai melalui APBD dan APBN untuk membantu dan merangsang petani berproduksi.

Bibit ternak dan benih tanaman harus disediakan dan dibagikan kepada petani. Lahan-lahan pertanian harus dicetak, sama seperti ketika pemerintah mencetak lahan-lahan sawah bagi petani di pulau Jawa pada tahun 1970an – 1980an. Baru sesudah produksi dalam skala yang memadai benar-benar berlangsung secara berkesinambungan, kita bisa berharap terjadi perubahan kesejahteraan di tingkat petani, karena mereka mulai memperoleh pendapatan tunai dalam jumlah yang memadai pula.

Dengan pendapatan itu mereka bisa berbagai pengeluaran rumah tangga bisa dibiayai, termasuk di bidang pendidikan dan kesehatan. Kesejahteraan akan lebih cepat tiba, dan tuntutan “M” bisa hilang dengan sendirinya.

*Penulis adalah seorang dokter hewan, alumnus Lemhanas, bekerja sebagai Sekda Provinsi Papua

Terkini

Populer Minggu Ini:

PMKRI Kecam Tindakan Biadap Oknum Anggota TNI Siksa Warga Sipil di...

0
“Kami minta kepada TNI dan Polri yang bertugas di Tanah Papua agar tidak boleh bertindak semena-mena terhadap manusia khususnya manusia Papua, sebab manusia Papua juga sama seperti manusia lainnya yang punya hak asasi manusia yang ada di muka bumi ini,” ujar Yasman Yaleget.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.