Otsus Plus Yang Minus

0
2127

Oleh: Martyr Papua)*

Jumat 2013-05-31 16:01:15

Akhirnya terjawab sudah secara tuntas apa itu Otsus Plus. Gubernur Papua Lukas Enembe sendiri yang menjelaskannya melalui pidato pada hari Rabu, 29 Mei 2013, ketika beliau membuka Rapat Kerja Khusus Provinsi Papua Tahun 2013.

Istilah Otsus Plus itu identik dengan Rancangan Undang-undang (RUU) Pemerintahan Papua yang disiapkan oleh Gubernur dan pemerintah pusat untuk menggantikan UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.

Ada 30 kebijakan pembangunan yang menjadi bagian integral dari RUU Pemerintahan Papua (RUU-PP).

ads

Karena alasan terbatasnya ruang, maka ke-30 kebijakan itu tidak akan disebutkan di sini.  Para pembaca yang berminat bisa menyimaknya dalam suplemen pada Harian Cenderawasih Pos hari Kamis 30 Mei 2013.

Tanpa perlu bersekolah tinggi, siapa pun yang mengetahui dengan baik dinamika perjuangan untuk menuntut dikembalikannya hak penentuan nasib sendiri rakyat Papua, yang bermuara pada Kongres II Papua tahun 2000, termasuk berbagai dokumen yang melatarbelakangi dilahirkannya UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua, akan dengan gampang berkesimpulan bahwa Otsus Plus atau RUU-Pemerintahan Papua itu sama sekali tidak memiliki nilai plus apa-apa.

Otsus Plus itu bahkan memiliki sejumlah nilai minus yang apabila tidak segera dihentikan pemrosesannya akan menjadi ancaman terbesar bagi penegakan demokrasi dan hak-hak azasi manusia, termasuk hak menentukan nasib sendiri, di Papua.

Mari kita kupas satu demi satu nilai minus dari Kerangka dan Kebijakan yang mendasari RUU Pemeriintahan Papua itu, sebagaimana yang dipidatokan oleh Gubernur Lukas Enembe.

Pertama, nama RUU Pemerintahan Papua ini jelas merupakan kembaran dari nama Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006, yaitu tentang Pemerintahan Aceh.

Yang dilupakan, atau sengaja dilupakan, oleh Lukas Enembe, Velix Wanggai, dan rekan-rekannya di pemerintah pusat adalah bahwa UU Pemerintahan Aceh itu dilahirkan sesudah ditandatanganinya Memorandung Saling Pengertian antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka di Helsinki, Finlandia, pada tanggal 15 Agustus 2005 “(Memorandum of Understanding between the Government of the Republic of Indonesia and the Free Aceh Movement,“ selengkapnya bisa dibaca di http://news.bbc.co.uk/2/shared/bsp/hi/pdfs/15_08_05_aceh.pdf).

Di dalam memorandum itu diatur secara tegas dan terinci tentang hal-hal apa yang harus menjadi isi dari UUPA (Undang-undang Pemeirntahan Aceh). Supaya kedua belah pihak tidak saling menipu, dan supaya sikap mutual-trust, saling percaya, bisa dibangun, maka di dalam penyusunan dan penandatangan MOU itu hadir saksi yang memiliki integritas dan bereputasi internasional, yaitu Tuan Martti Ahtisaari, mantan Presiden Finlandia.

Ketika penandatanganan MOU itu dilakukan, beliau menjabat Ketua Dewan Direktur Crisis Management Initiative, sekaligus sebagai fasilitator proses negosiasi pemerintah RI-GAM.

Jadi, tentang RUU-Pemerintahan Papua yang disampaikan oleh Lukas Enembe dalam pidatonya itu, pertanyaan kita sederhana saja: kapan Presiden SBY, atau wakil-wakil resminya, bertemu dengan wakil-wakil Organisasi Papua Merdeka untuk berunding dan membicarakan tentang isi RUU tersebut?

Siapa yang disepakati kedua belah pihak sebagai dan siapa saksi internasional-nya? Itulah minus yang pertama dari Otsus Plus alias RUU-Pemerintahan Papua.

Minus yang kedua adalah sebagai berikut:  RUU Pemerintah Papua alias Otsus Plus adalah perubahan atas UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua. Pasal 77 UU No. 21/2001 berbunyi Usul perubahan atas Undang-undang ini dapat diajukan oleh rakyat Provinsi Papua melalui MRP dan DPRP kepada DPR atau Pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Kalau mau jujur, yang dikehendaki oleh Rakyat Papua sejatinya adalah menolak dan mengembalikan Otsus Papua ke Jakarta. Dan itu bukan satu kali “ sudah berkali-kali.  Dan itu bukan oleh segelintir orang, tetapi oleh ribuan orang yang mewakili berbagai komponen orang asli Papua.

Kalau Lukas Enembe dan Velix Wanggai sudah membaca dengan baik pasal 77 UU Otsus Papua, mereka seharusnya menolak untuk dijadikan pion Jakarta, karena apa yang mereka lakukan sekarang ini sebenarnya melanggar hukum, setidak-tidaknya melanggar pasal 77 UU Otsus tadi.

Mengapa? Karena yang seharusnya berkewenangan untuk mengusulkan perubahan itu adalah rakyat Papua “ kecuali kalau para pemimpin Papua itu sudah tidak ada bedanya lagi dengan Raja Prancis Louis XIV (1638-1715), yang memiliki semboyan “L’etat c’est Moi” atau “Negara adalah saya.” Dan, karena saya adalah negara, maka saya bisa mengatasnamakan rakyat kapan saja, untuk urusan apa saja, tanpa perlu saya bertanya pada mereka.

Minus yang ketiga adalah hilangnya klausul Pelurusan Sejarah Papua di dalam RUU Pemerintahan Papua.  Padahal di dalam UU 21/2001 tentang Otsus Papua, khususnya pasal 46, soal pelurusan sejarah itu dengan jelas tercantum sebagai bagian dari upaya mencari kebenaran dan melakukan rekonsiliasi.

Hal yang sama juga terjadi pada hal-hal penting lain. Misalnya, bendera dan lagu yang merupakan panji kebesaran dan simbol kultural bagi kemegahan jati diri orang Papua, hilang tak jelas rimbanya di dalam RUU Pemerintahan Papua.

Sama pula dengan soal Partai Politik Lokal. Namun, yang paling luar biasa adalah bahwa dalam RUU itu tidak diatur tentang bagaimana seharusnya sepak terjang polisi dan militer di Papua, padahal di dalam UU 21/2001, maupun UU Pemerinahan Aceh, hal-hal itu diatur dengan jelas.

Minus yang keempat, dan yang menurut saya paling berbahaya, adalah keinginan Pemeirntah Pusat melalui Lukas Enembe dan Velix Wanggai, untuk mengganti pemilihan langsung dengan pemilihan oleh DPRD/DPRP.  Dalam pidatonya Lukas Enembe menyatakan seperti berikut ini perlu dipikirkan pola Pilkada dari pemilihan langsung ke pemilihan melalui DPRP/DPRD .

Apakah mereka dan kita semua sadar tentang bahaya yang menanti seluruh bangsa Papua apabila keinginan ini diterima dan menjadi bagian dari UU Pemerintahan Papua? Kalau klausul ini diterima maka hal itu merupakan pengakuan kolektif dan bekekuatan hukum oleh orang-orang Papua sendiri, bahwa orang Papua pada dasarnya memang tidak mau dan/atau tidak mampu melakukan proses demokrasi modern, yang dicirikan dengan prinsip  one-man-one-vote, atau setiap orang/inividu melakukan pemilihan atas dasar keinginan dan tanggung jawabnya sendiri.

Dan, itu berarti bahwa tidak ada yang keliru, salah atau bahkan jahat dengan penggunaan cara intimidasi dan musyawarah dalam PEPERA tahun 1969.

Mengapa? Karena kalau di tahun 2013 ini saja orang Papua tidak mau dan/atau tidak mampu melakukan demokrasi modern, apalagi 44 tahun yang lalu, ketika 1025 orang, di bawah intimidasi dan pelanggaran HAM yang luar biasa, mewakili jutaan orang asli Papua untuk bergabung dengan Republik Indonesia.

Minus yang kelima, adalah bahwa seluruh proses penyusunan Otsus Plus atau RUU Pemerintahan Papua ini sama sekali tidak melibatkan Gubernur, birokrasi, MRP, dan DPR Papua Barat “ apalagi rakyatnya.

Apakah Lukas Enembe dan Velix Wanggai lupa bahwa sudah ada Undang-undang Nomor 35 Tahun 2008 yang secara spesifik mengatur bahwa semua klausul UU Otsus Papua juga berlaku di Provinsi Barat? Apakah ini cara kuno namun bentuk baru dari pemerintah Indonesia untuk memecah belah dan menguasai Papua?

Terakhir, kita perlu berpesan kepada Universitas Cenderawasih, khususnya Dekan dan staf Fakultas Hukum. Ketimbang tidak punya sikap dan prinsip yang jelas, dan cenderung tampak seperti air di daun talas, sebaiknya Uncen membuat terobosan untuk menciptakan perubahan atas dasar aspirasi politik rakyat Papua yang sebenarnya.

Uncen harus berani melakukan survei/polling pendapat tentang apa sebetulnya aspirasi politik rakyat Papua. Sesudah berusia 50 tahun baru-baru ini, dan sesudah memiliki begitu banyak guru besar, doktor dan master di berbagai bidang ilmu, persoalannya tentu bukan apakah Uncen mampu melakukan survey/polling dimaksud.

Pertanyaan yang lebih relevan adalah: Maukah Uncen melakukan survey/polling dimaksud? Biarlah survey/polling itulah yang memberikan gambaran yang paling mungkin saat ini dan yang paling ilmiah tentang apa sebenarnya keinginan politik yang luhur yang dimiliki oleh rakyat Papua.

Dan, kalau kita semua adalah para penganut demokrasi, maka apa pun hasil dari suvei/pooling itu harus diterima dan dihargai.

*Martyr Papua adalah pemerhati sosial, tinggal di Pinggiran Kota Jayapura, Papua

Artikel sebelumnyaDitemukan Gizi Buruk di Kampung Gakokebo, Distrik Tigi Barat, Kabupaten Deiyai
Artikel berikutnyaKetua DAD Paniai: Anggota Polisi Ditembak di Deiyai, Bukan Paniai