ArsipPapua Baru Ada di Kantong Kita Sendiri; Sebuah Refleksi

Papua Baru Ada di Kantong Kita Sendiri; Sebuah Refleksi

Senin 2013-05-27 14:53:00

Oleh : Naftali Edoway*

Perjuangan untuk menegakkan perdamaian dan keadilan sudah, sedang dan akan terus dilakukan di seluruh dunia. Perjuangan itu dilakukan secara kelompok, organisasi maupun perorangan.

Walaupun demikian, perjuangan tak pernah berjalan mulus, karena hampir selalu berakhir dengan tragedi-tragedi kemanuiaan. Misalnya, pembunuhan, intimidasi, diskriminasi, penganiayaan, dll terhadap agen-agen pembaharu tersebut.

Sejak manusia berkembang di dunia seolah dunia tidak pernah sepi dari yang namanya kejahatan. Manusia saling membunuh, saling bertikai, dan berperang hanya karena perebutan kekuasaan.

Kekuasaan akan wilayah, organisasi dan politik. Semua orang dengan egonya ingin memiliki tanah yang luas, ingin duduk di pucuk pimpinan, ingin kelompoknya yang lebih berkuasa. Sikap solidaritas hidup ditelan oleh pikiran-pikiran negatif diatas.

Jika mau dilihat, kejahatan itu telah membudaya dalam kehidupan manusia. Itu dapat terlihat dengan susahnya manusia untuk mengubah pikiran negatif tadi. Yang terjadi dewasa ini, justru pelakunya adalah mereka yang sudah makan garam dalam dunia pendidikan.

Pendidikan bukannya membuat orang sadar untuk hidup dalam kepedulian malah sebaliknya manusia itu jadi serigala bagi sesamanya. Lalu siapa yang salah? Para pendidik atau murid?

Barangkali penyebab lainnya adalah ketidaktaatan manusia kepada ajaran agamanya masing-masing. Manusia lebih takut kepada aturan yang dibuatnya, yang hanya mengikat dari sisi fisiknya saja, tapi tidak kepada aturan Tuhan melalui agama yang mengikat fisik maupun rohani.

Akibatnya moral manusia rusak. Ia berkompromi dengan kekuatan gelap, kekuatan yang menindas. Sehingga, manusia selalu merancangkan kejahatan terhadap manusia yang lainnya. Mereka yang berkuasa menjajah mereka yang berada dibawahnya.

Suara-suara demokrasi, persamaan, dan kesejahteraan hanya menjadi retorika di atas panggung kampanye. Karena setelah mencapai kesuksesan/kejayaan yang terjadi “bicara lain, main lain”.

Kenyataan seperti diatas kebanyakan terjadi pada masyarakat di negara-negara dunia ketiga. Terutama sekali pada negara-negara yang mengalami pengalaman pahit dibawah jajahan bangsa-bangsa barat.

Para pemimpinnya tidak belajar dari pengalaman penderitaan bersama di masa lalu untuk kesejahteraan bersama hari ini. Sebaliknya mereka seolah melihat penderitaan itu sebagai penderitaan mereka pribadi dan keluarga sehingga kesempatan berkuasa menjadi sebuah lahan untuk kesejahteraan keluarga.

Mereka menjadikan negara sebagai hak milik. Warga negara lainnya dilihat hanya sebagai semut yang harus diinjak dan mati. Maka tidak ada yang dapat mengusik ketenangan mereka menguras makanan semut tadi. Pengalaman seperti itulah yang telah terjadi di negara Indonesia di masa kejayaan orde baru.

Pemerintahan yang otoriter dan militeristik telah mengekang mulut kaum kecil peduli demokrasi. Tanah-tanah rakyat digadaikan kepada pengusaha asing dengan mengklaim sebagai hak mereka (penguasa).

Rakyat pemilik hak ulayat tidak dilibatkan dalam proses-proses transaksi. Hasil dari transaksi tidak pernah sampai kepada rakyat. Yang ada hanya penderitaan di atas kubangan kemiskinan. Ibarat patung yang memiliki mata namun tak dapat melihat, mempunyai telinga namun tidak bisa mendengar demikianlah gambaran penguasa kita.

Kepahitan itu coba di hentikan oleh gerakan mahasiswa (kaum semut) yang akhirnya melahirkan reformasi. Namun demikian reformasi tinggal hanya sebuah kata. Karena para pemangku jabatan berikutnya tidak memimpin berdasarkan roh dari gerakan reformasi itu.

Yang terlihat, justru prinsip pembangunan orba menguasai segala kebijakannya. Lalu kapan mimpi kesejahteraan dan persamaan rakyat reformasi akan terwujud? Entahlah!

Namun sepanjang semua orang tidak “lahir kembali” perjuangannya masih panjang. Arti “lahir kembali” disini adalah merubah paradigma berpikir yang lama lalu mulai membangun dari nol. Di lain sisi, sepajang pemerintah tidak serius mengevaluasi diri (berauto kritik) dan kebijakannya pasti negara ini akan tinggal kandas.

Setelah Indonesia merdeka, pemerintah yang berkuasa saat itu sibuk untuk menguasai semua wilayah jajahan Hindia Belanda. Trikora pun dikumandangkan. Penyerangan dilakukan ke wilayah timur terutama Papua Barat.

Walaupun dalam perjanjian KMB Papua tidak dimasukkan sebagai bagian dari Indonesia. Alasan Belanda saat itu adalah karena Papua telah dipersiapkan untuk berdiri sendiri (membentuk negara baru di bawah pengawasan Belanda).

Dalam perkembangan selanjutnya Indonesia berhasil mencaplok Papua Barat ke dalam wilayahnya. Proses pencaplokan ini dinilai tidak berdasarkan aturan internasional dan prinsip-prinsip hak asasi manusia oleh orang Papua Barat. Karena menurut para saksi, PEPERA terjadi di bawah tekanan dan intimidasi tentara Indonesia.

Pada fase berikutnya tanah-tanah orang asli Papua barat diambil dengan alasan tanah negara. Semua peninggalan Belanda untuk rakyat Papua barat di bawah semua ke pulau Jawa. Ini adalah bentuk ketidakadilan jilid kedua setelah Pepera.

Kebijakan mobilisasi umum pun dilakukan. Banyak transmigrasi dikirim ke Papua. Tanah dan hutan masyarakat pribumi diambil ahli negara dengan dalih bukan tanah garapan lalu diberikan kepada para transmigran.

Penduduk asli dibuat tersingkir dari tanah tempat mereka hidup. Barangkali wajah kehidupan di kabupaten Keerom adalah sebuah contoh di depan mata kita.

Kasus yang lain adalah kehadiran perusahan multinasional PT.Freeport yang benar-benar menghancurkan tempat hidup dan membunuh banyak orang asli karena limbah tailing dan oleh security perusahaan. Orang Papua, suku Kamoro dan Amugme diusir dari tanah air warisan nenek moyang mereka.

Pelanggaran HAM pun terjadi. Banyak Orang Asli Papua mati lantaran dicap sebagai anggota dan simpatisan Organisasi Papua Merdeka (OPM) dalam berbagai operasi militer oleh TNI & Polri.

Banyak pula yang mengalami cacat fisik dan hidup dalam trauma yang panjang. Dalam saat yang bersamaan ideologi Papua merdeka semakin menguat. Penderitaan dan penyiksaan justru menjadi semacam vitamin/pupuk yang menyuburkan dan menyehatkan ideologi tadi. Itu artinya bahwa derasnya tuntutan Papua Merdeka dikondisikan oleh negara melalui TNI/Polri.

Jika demikian, mengapa rakyat papua terus disalahkan? Mengapa mereka distigma buruk terus menerus oleh negara dan actor-actornya? Dan dimana jalan keluarnya?

Pertanyaan terakhir diatas mengingatkan saya pada perkataan seorang pendeta Afro Amerika Ed Montgomery. Dia bilang, “Kunci untuk keluar dari kotak yang diciptakan orang lain untuk kita selalu ada dalam kantong kita sendiri.”

Artinya bahwa jika kita ingin bebas maka kuncinya ada pada kita sendiri bukan pada orang lain. Kita harus selalu meronta berteriak supaya didengar oleh mereka yang punya hati untuk kemanusiaan.

Selalu berjuang dengan cara dan karunia yang ada pada kita. Bukan diam dan berharap menunggu pertolongan, yang datang entah darimana. Toh! Tuhan sendiri berpesan agar kita selalu berdoa dan bekerja keras. Beriman dan berbuat, sebab “iman tanpa perbuatan hakekatnya mati”.

Akhirnya, untuk mewujudkan Papua Baru, Papua Tanah Damai, Papua tanpa kekerasan, dll ada di tangan kita sendiri. Minumlah dari sumur sendiri dan teruslah berjuang. Semoga!

*Penulis adalah pemerhati social, tinggal di Jayapura, Papua

Terkini

Populer Minggu Ini:

Suku Abun Gelar RDP Siap Bertarung Dalam Pilkada 2024

0
“Masyarakat harus tetap konsisten dengan apa yang disampaikan dalam kegiatan ini. Yang terlebih penting masyarakat harus menjaga keamanan di Tambrauw sehingga semua kegiatan berjalan dengan aman dan damai mulai dari tahapan hingga selesai Pilkada 2024 nantinya,” pesannya.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.