ArsipTelenovela Berjudul Papua TV Kitong Suka (Bagian 2)

Telenovela Berjudul Papua TV Kitong Suka (Bagian 2)

Selasa 2014-06-24 14:51:15

Melodrama Putra Daerah

Kembali ke kenangan 20 Mei 2007 malam. Setelah on-air perdananya pada 20 Mei 2007 malam, selanjutnya Metro Papua TV pun mengudara. Adrianus Pao ditunjuk para petinggi Metro TV Jakarta sebagai komandan 20-an crew Metro TV yang ditugaskan para bos Media Grup di Kedoya ke Jayapura untuk mempersiapkan pendirian Metro Papua TV. Salah satu kameramen senior Metro TV, Ricky Dajoh yang besar di Dok V Jayapura dan sudah familiar dengan masyarakat dan Tanah Papua, menemani Adrianus memimpin crew Metro Papua TV.

 

Tidak begitu jelas berapa rupiah yang dirogoh untuk memproduksi sampai dengan peluncuran perdananya lalu pendistribusian MPB, yang pasti biaya untuk mempersiapkan dan melahirkan Metro Papua TV sampai dengan on-air perdana pada 20 Mei 2007, kocek APBD Provinsi Papua dirogoh 7,9 miliar yang bersumber dari APBD-Perubahan tahun 2006 yang disalurkan via Badan Informasi dan Komunikasi Daerah (BIKDA). Bukan lewat PD Irian Bhakti yang ketika itu tengah bermasalah sehingga menjadi pertimbangan Gubernur Suebu memerintahkan kucuran APBD bagi Metro Papua TV bukan lewat  PD Irian Bhakti, melainkan BIKDA. Angka ini belum termasuk biaya yang dikeluarkan para bendaharawan di Kedoya Jakarta, tentu saja termasuk mengongkosi Adrianus Pao dan regunya ke Jayapura dan selama bertugas di Papua.

Jelas, biaya yang dikeluarkan untuk penyiapan dan on-air perdana pada 20 Mei 2007 itu bukan angka kecil. Apalagi kemudian masih dianggarkan lagi lewat APBD tahun anggaran 2007, 2008, dan 2009 berturut-turut dana sebesar 15,2 miliar; 19,6 miliar dan 11,1 miliar. Total kocek APBD yang telah dirogoh dan disalurkan baik lewat BIKDA maupun Dinas Pengelolaan Teknologi Informasi Komunikasi Provinsi Papua (setelah BIKDA tiada) bagi Metro Papua TV (dan Papua TV) berjumlah 54 miliar. Mantan Staf Ahli Gubernur Papua, Agus Sumule, mengatakan 54 miliar rupiah itu cukup untuk membiayai operasional 54 sekolah dasar di Papua selama satu tahun.

Kran dana APBD kepada Metro Papua TV baru dikunci pada 2010. Subsidi APBD tanpa batas bagi perusahaan atau badan usaha milik daerah jelas dilarang ketentuan perundangan-undangan. Maka sejak 1 Januari 2010, Papua TV tidak lagi disusui APBD, tapi menyusui dirinya sendiri untuk hidup dan kelangsungan hidupnya.

Kembali ke kicauan, “Papua Televisi dibunuh, selamat datang Majalah Papua Bangkit”.

Pers dan peradaban jelas berkorelasi erat. Begitu pula hubungannya dengan era keterbukaan dan (keajaiban) teknologi informasi yang membuat dunia bagai seluas daun kelor: kecil, sempit, tak lagi luas, seringkali juga berisik. Era keterbukaan dan keajaiban teknologi, mengakibatkan dunia bagai satu rukun tetangga saja. Satu peristiwa menghebohkan di Afrika Selatan misalnya, dalam hitungan menit, sudah diketahui dan menjadi perbincangan di Jakarta atau Wamena.

Di dalam negeri, teristimewa sejak tumbangnya rezim Orde Baru 1,5 decade silam, yang lantas melahirkan Orde Reformasi, arus informasi pun sedemikian banyak, sedemikian bebas, dan sedemikian derasnya menghujam kapasitas mata, telinga, otak, dan hati manusia untuk menerima dan mencernanya. Tinggal, akan halnya sistem pencernaan mengolah apa yang dimasukkan ke dalam mulut atau tubuh (makananan, minuman, rokok, narkoba), organ-organ tubuh tinggal merespon, memroses dan memilah mana yang berguna dan mana yang tidak; mana yang diserap untuk kelangsungan hidup kendati bisa juga berakibat memperpendek kelangsung hidup (rokok dan narkoba misalnya), dan mana yang dibuang sebagai tinja.

Dengan latar seperti inilah Otonomi Khusus Papua lahir lewat Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 yang tujuh tahun kemudian direvisi menjadi UU Nomor 35 Tahun 2008 tanpa keraguan sedikitpun mengabaikan Pasal 77 UU Nomor 21/2001. Seolah pasal tersebut tak lebih dari untaian kata yang membentuk kalimat di baliho-baliho (calon) peserta Pemilu atau Pemilukada yang boleh dibaca dan diapresiasi, boleh pula dibaca kemudian dicibir, boleh juga dianggap angin lalu: seolah tak pernah ada, meski nyata fisiknya.

Sudah menjadi rahasia umum, hakikat Otonomi Khusus adalah proteksi, keberpihakan, dan pemberdayaan orang asli Papua (OAP). Siapa sajakah yang harus, layak, dan pantas berpredikat OAP menurut pasal 1 huruf  “t” UU Nomor 21/2001, baiklah diulas pada bagian lain. Bukan di artikel ini. Acuan OAP yang dimaksudkan dalam artikel ini sebagaimana dalam lagu “Aku Papua” karya Frangky Sahilatua yang dipopulerkan oleh Edo Kondologit: “…Hitam kulitku, keriting rambutku, Aku Papua…”. Definisi OAP yang tanpa perlu mengernyitkan dahi dalam-dalam seperti perdebatan panjang nan sia-sia para anggota Majelis Rakyat Papua ketika musim Pemilukada Gubernur dan Wakil Gubernur Papua dan Papua Barat tiba. Definisi OAP yang dimaksud artikel ini adalah yang dengan mudah membuat orang pun seketika mafhum siapa yang dimaksud seperti dalam lagu karya almarhum Franky Sahilatua itu.

Layaknya sebuah drama, Otonomi Khusus Papua dilahirkan, terlahir dan menggelinding laksana roda, dengan latar panggung keterbukaan arus informasi, kebebasan mengemukakan pendapat, sebagai anak sah Orde Reformasi, dengan soud-track-nya putra daerah, papuanisasi dan afirmasi bagi OAP.

Latar panggung dan spirit ini pula yang menyertai dan membidani kelahiran Metro Papua Televisi. Metro Papua Televisi terlahir sebagai hasil dari bincang-bincang salah satu master-mind UU Otsus Papua, Barnabas Suebu (BS) dan salah satu taipan media Indonesia, Surya Paloh (SP). Kebetulan BS dan SP adalah dua tokoh dari Papua dan Aceh, dua provinsi di ujung NKRI yang pasca tumbangnya rezim Orde Baru (masih) kerap membuat pening dan mengganggu kenyamanan dan memperpendek waktu tidur kebanyakan pejabat Jakarta dan politisi Senayan. Pasca Orde Baru tumbang, Aceh dan Papua terus dan kian bergejolak, layaknya dua anak bandel yang terus-terus merajuk karena kecewa atas perlakuan diskriminatif orangtuanya bila dibandingkan saudara-saudaranya yang lain. Padahal sama-sama berstatus anak kandung pasangan suami-istri NKRI. Kalau Aceh kini sudah adem, pascapertemuan Helsinki, maka Papua sejauh ini masih saja berisik, termasuk Metro Papua TV yang telah menjelma menjadi Papua TV.

Bukan karena Metro Papua TV dilahirkan oleh dua tokoh dari dua provinsi terujung di Timur dan di Barat NKRI yang masih berisik di awal-awal Orde Reformasi dan demokratisasi saat ini, lantas Metro Papua TV yang hanya setahun kemudian ganti logo dari Kepala Burung Rajawali seperti logo Metro TV menjadi burung Cenderawasih, juga ganti nama dari Metro Papua Televisi menjadi Papua Televisi, lantas ikut-ikutan berisik. Sejak awal, Metro Papua TV dilahirkan dengan maksud agar Tanah dan masyarakat Papua punya stasiun televisi swasta sendiri, seperti halnya orang Bali punya Bali TV.

Namun Banabas Suebu dan Surya Paloh yang sama-sama berasal dari kalangan bukan “pelat merah”, menyadari bahwa stasiun televisi yang hendak dilahirkan (Metro Papua TV) mestilah bukan “pelat merah”, melainkan harus “pelat hitam”. Visi BS dan SP untuk menghadirkan dan mendirikan Metro Papua TV sejak awal, memang bukan dimaksud sebagai stasiun televisi “pelat merah” yang terus menerus hidup dari susu APBD, melainkan suatu ketika harus hidup di atas kakinya sendiri dan kemudian menghasilkan profit. Suntikan dana yang bersumber dari APBD hanyalah pada tahap awal untuk mendirikan dan menghadirkan (investasi), setelah itu Metro Papua TV mutlak harus berdiri di atas kakinya sendiri.

Dengan berbagai pertimbangan, stasiun televisi swasta milik sendiri (daerah) akhirnya diputuskan lebih dulu dilahirkan ketimbang memiliki media cetak (koran atau majalah) dan radio. Salah satunya pertimbangannya adalah ketersediaan sumber daya manusia pertelevisian yang dimiliki Papua. Tanah Papua memiliki dua putera asli yang paham seluk beluk dan segala tete-bengek pertelevisian yakni France Djasman dan Henok Puraro. France dan Henock tak hanya diajak, dimintai pendapat, melainkan juga disertakan Barnabas Suebu untuk ikut serta dalam pekerjaan menghadirkan televisi “pelat hitam” milik masyarakat dan Tanah Papua. Bas jelas mengenal siapa France dan Henock yang besar dan dibesarkan dalam lingkungan TVRI yang dari sono-nya pun sebenarnya punya tradisi “pelat merah” yang juga hidup dari kucuran dan bantuan APBD atau APBN sebelum TRVI menjadi Lembaga Penyiaran Publik (LPP). Adanya dua anak asli Papua yang paham tentang pertelevisian dengan kapasitas sekaliber France dan Henock ikut menjadi pertimbangan, televisilah yang lebih dulu diadakan. Bukan media cetak (koran/majalah) atau radio.

Mimpi yang Batal Terwujud

Setelah Metro Papua TV didirikan, sebagai orang berlatar media cetak (koran), saya menjajaki harapan Gubernur Bas Suebu agar mayarakat di Papua memiliki satu harian baru, dengan berdiskusi dengan beberapa kawan dan senior. Dua diantaranya adalah Abdul Munib, sosok penting di balik berdirinya Harian Cenderawasih Pos yang kemudian mendirikan pula Harian Papua Post, lalu Harian Pasifik Pos. Kedua adalah Eri Sutrisno, yang saat itu menjabat Pemimpin Redaksi Tabloid Suara Perempuan Papua (TSPP). TSPP kala itu adalah surat kabar mingguan yang punya kualitas tersendiri. Ketika itu, saya melihat TSPP laiknya TEMPO-nya Papua. Bersama Abdul Munib dan Eri Sutrisno, kami bicara tentang kemungkinan mendirikan surat kabar harian baru yang dalam rencana Gubernur Suebu akan “segrup” dengan Metro Papua TV, untuk mulai menjajaki kemungkinan mewujudkan rencana Gubernur Suebu agar Papua punya semacam “Media Grup” seperti Surya Paloh dengan Media Grup-nya.

Dua pekan lalu, saya mengirim SMS kepada Eri Sutrisno menjawab SMS Eri yang bertanya tentang perkembangan Papua TV. Saya jawab SMS Eri Sutrisno dengan menulis,”Untunglah, rencana mendirikan koran yang dulu pernah kita diskusikan, tidak jadi didirikan. Kalau tidak, mungkin nasibnya akan sama dengan Papua TV sekarang.”

Pembicaraan saya dengan Abdul Munib dan Eri Sutrisno, setelah Gubernur Barnabas Suebu bertemu dengan para petinggi Kelompok Kompas Gramedia (KKG) di Jakarta pada 11 Februari 2008 di ruang kerja pendiri KKG yang sudah sepuh Jacob Oetama (JO). Saya dan Agus Sumule mendampingi Gubernur Barnabas Suebu yang hari itu diterima Pak JO didampingi Agung Adiprasetyo, August Parengkuan, Herman Darmo, dan Sentriyanto. Dua nama terakhir adalah tangan kanan JO yang dipercaya mengurus Divisi Pers Daerah (Persda), salah satu kelompok usaha dari KKG yang bertugas mengurus semua koran di luar Jakarta kepunyaan KKG. Kebetulan, pada 2007 Herman Darmo, Sentriyanto, dan Carolus Budiarto (salah satu Direktur Persda) sudah berkunjung ke Jayapura untuk menjajaki kemungkinan KKG membuka korannya di Papua.

Jadi pertemuan 11 Februari 2008 sekaligus menindaklanjuti kunjungan Herman Darmo cs. Setelah berkunjung, Herman Darmo cs berkesimpulan, pasar di Jayapura cukup prospektif. ”Tapi sangat pas-pasan. Jadi perlu disokong usaha di bidang lain,” ujar Herman Darmo.

“Jadi perlu disokong usaha di bidang lain” inilah yang ikut dibicarakan dalam pertemuan 11 Februari 2008. Pada pertemuan tersebut JO mengatakan harus ada perhatian khusus kepada Papua. “Kami siap membantu dan kerja sama dengan pihak-pihak yang berfalsafah sama,” ujar JO.

Gubernur Bas Suebu pada pertemuan itu menyampaikan harapannya agar masyarakat Papua memiliki sebuah koran harian dengan mutu yang lebih baik, baik isi maupun perwajahan, dan mutu cetakannya. “Sudah waktunya kami di Papua memiliki koran harian yang lebih baik. Ini terasa mendesak,” ujar Gubernur Suebu.

Mendengar harapan Gubernur Suebu, JO pun menoleh kepada Herman Darmo yang lantas bilang, “Bila kita hanya bangun koran saja, dari sisi bisnisnya pas-pasan.” Mendengar penjelasan Herman Darmo, Gubernur Bas Suebu pun mempersilahkan KKG menyampaikan proposal berisi apa saja yang secara kongkrit bisa dimulai dalam kerangka membuat apa yang oleh Herman Darmo disebut sebagai “sangat pas-pasan” menjadi “longgar”.

Setelah pertemuan yang berlangsung lebih kurang satu jam tersebut, Herman Darmo, Sentriyanto, dan saya menindaklanjutinya dengan pertemuan di Kantor Persda. Herman Darmo dan Sentriyanto berpendapat, “usaha di bidang lain” yang perlu untuk menyokong cikal koran baru adalah percetakan. “Untuk itu kami sangat memerlukan data-data tentang ketersediaan dan kontinuitas bahan-bahan cetakan,” begitu kesimpulan Herman Darmo dan Sentriyanto.

Jadi, pihak KKG  sebetulnya tertarik dan hendak melirik bisnis percetakan–yang kini berwujud Percetakan Rakyat Papua, untuk mem-back-up bisnis koran yang oleh Herman Darmo disebut “prospektif, tapi pas-pasan”. Namun ribetnya jalannya birokrasi pemerintahan seribet pelaksanaan Otsus urung membuat KKG melebarkan sayapnya ke Papua, kecuali membuka Toko Buku Gramedia di Jayapura.

*Mathias Rafra adalah mantan wartawan SKM Tifa Irian. Ia termasuk salah satu pendiri Televisi Mandiri Papua (Papua TV)

Terkini

Populer Minggu Ini:

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.