ArsipMemaknai Cinta Sejati

Memaknai Cinta Sejati

Kamis 2013-09-12 14:39:00

 Jika Cinta kita hanyalah keinginan untuk memiliki, hal itu tidak bisa dinamakan Cinta” – Thich Nhat Hanh

Acap kali dewasa ini, kita menemukan pandangan yang lazim tentang cinta. Cinta dipandang sebagai suatu rasa dalam diri manusia. Perasaan ini secara alamiah hidup dan tumbuh bersama dinamika hidup manusia. Cinta dilihat sebagai luapan emosi alamiah manusiawi semata. Akhirnya, yang terjadi kita menjadi ambigu dalam soal percintaan.

Makna cinta yang sesungguhnya tidak dipahami dengan benar. Orang cenderung jatuh dalam pemaknaan sempit esensi cinta sejati. Lantas terjadi penyimpangan yang semakin merajalela. Pemaknaan esensi cinta tidak ditempatkan pada posisi/kedudukannya yang benar. Maka tidak heran berbagai permasalahan dan penyimpangan terjadi atas nama cinta.

Cinta dimanipulasi demi kepentingan sesaat. Lantas sesudahnya cinta dicampakkan. Berangkat dari keprihatinan ini kami mencoba mengusung sebuah niat. Satu keinginan tersembul bagaimana merubah situasi real ini. Sehingga, cinta sebagai sebuah jalinan yang bertanggung jawab sekaligus berkomitmen mendapatkan tempatnya. Harapannya tidak terjadi lagi penistaan martabat kemanusiaan atas nama cinta.

Memandang Cinta

Perspektif kita memandang cinta harus dimurnikan. Keinginan ini sedikit bernada menggugat sekaligus memaksa. Tanpa bermaksud meng-intervensi cinta sebagai sebuah perasaan manusiawi. Cinta harus dimengerti secara benar dan diaplikasikan secara konsisten juga.

Banyak kita jumpai akhir-akhir ini pemberitaan media mengenai persoalan di mana-mana. Salah satunya persoalan di tanah Papua. Fenomena ini ditandai dengan merebaknya kasus HIV/AIDS di Papua. Tentu saja kita akan bertanya apakah ada hubungannya Cinta dan HIV/AIDS ini. Mengapa cinta yang dikatakan sebagai ungkapan perasaan terdalam manusia dipersinggungkan dengan penyakit kelas wahid ini.

Perspektif cinta yang sempit selama ini terjadi dalam masyarakat kita secara luas. Terlebih lagi pada jenjang usia remaja dan kalangan pelajar/mahasiswa. Kebanyakan mereka memandang cinta sebagai hasrat/dorongan untuk memiliki. Entah itu kenikmatan sesaat berupa kesenangan yang nantinya bermuara pada : hubungan sexsual.

Pemenuhan hasrat sexsual oleh kaum remaja baik pria maupun wanita menjadi sesuatu yang difantasikan. Makanya tidak heran bahwa dalam menjalin relasi dengan lawan jenis. Hubungan sexsual menjadi primadona yang diimpikan. Ketertarikan setiap pribadi dibangun atas dasar pemahaman yang keliru tentang cinta.

Padahal senyatanya cinta memiliki kekuatan yang maha dasyat. Kekuatan cinta mampu membuat orang rela mengorbankan apa saja untuk kekasih atau orang yang dicintainya (Paulus Subiyanto, 2012:86). Menjadi masalah ketika cinta ini disalah artikan. Dimengerti sebatas tataran fisik belaka.

Dimana menuntut satu pernyataan cinta yang terwujud dalam sebuah aktualisasi konkret. Disinilah kebohongan atas nama cinta terjadi. Wujudnya berupa hubungan sexsual diluar nikah diantara pasangan muda-mudi. Hubungan sexs bebas (Free Sex) bukan lagi menjadi wacana masyarakat.

Tetapi telah berkembang menjadi momok yang menakutkan sekaligus mengkhawatirkan. Data di lapangan menunjukkan angka penyebaran virus HIV/AIDS terus meningkat pesat.

Tenggoklah data dari Dinas Kesehatan Propinsi Papua per September 2011 saja. Angka penyebaran virus HIV/AIDS telah mencapai 10.522 kasus. Sebelumnya pada Maret 2011, hanya 7.319 kasus – naik 3.203 (lih. Http://TabloidJubi.com/).

Data ini masih diperparah lagi dengan kenyataan bahwa rata-rata pengidap HIV/AIDS adalah mereka yang berada pada usia produktif (antara 20-40 tahun). Domain kasus terbanyak rata-rata penyebarannya melalui : hubungan sexsual. Estimasi  pengidap HIV/AIDS Propinsi Papua sekitar : 24.355 kasus. Dengan pengusaan dominan dan terbanyak berada di kabupaten ; Mimika (3.938 orang) disusul kota Jayapura sebesar (2.010 orang).

Melihat fenomena ini lantas kita mau berbicara apa? Apakah dengan sengaja kita memilih berdiam diri atau apatis? Membiarkan diri hanyut dalam euforia kenikmatan sesaat.

Saya pikir itu tidak tepat sebagai manusia yang mendambakan masa depan yang cerah. Kita tentu tidak mau kebahagiaan kita dirampas oleh karena perbuatan bodoh kita sendiri. Meratapi kenyataan ini, apakah sudah menggugah kesadaran dan nurani kita.

Kepada muda-mudi di seantero tanah Papua pikirkanlah masalah ini. Jika jawabannya “ belum” atau “tidak sama sekali”. Maka tulisan ini saya dedikasikan untuk mengusik sekaligus menggugat kemapanan hati nurani kita. Dalam melihat realitas yang kontras dalam pandangan kita selama ini.

Lantas sesudahnya kita bersama mengkonstruksi ulang bangunan pemahaman yang selama ini salah tentang cinta. Kekeliruan tentang cinta yang jamak terjadi. Menurut hemat saya, merupakan tiang utama permasalahan horisontal yang dialami dalam masyarakat. Berangkat dari situasi ini, kita bersama sepakat untuk menata, meninjau dan akhirnya mengembalikan makna cinta sejati kepada hakikatnya yang murni. Sehingga, persoalan penyimpangan yang terjadi diatas sedikit lebihnya dapat teratasi.

Memaknai Cinta

Tidak mudah bagi kita memaknai cinta sejati. Lebih tepatnya mudah bagi kita “Jatuh cinta daripada bangun dari cinta”. Pengalaman jatuh cinta (falling in love) memang sangat membahagiakan. Apapun yang kita lihat selalu memberikan kebahagiaan. Sekalipun itu pengalaman yang tidak menyenangkan. Intinya seluruh pengalaman hidup, kita maknai dalam bingkai jatuh cinta. Pertanyaannya kemudian, apakah pengalaman jatuh cinta ini telah kita maknai secara benar dan dewasa.

Karena sesungguhnya cinta adalah anugrah. Maka memaknai  cinta sebagai  anugrah kehidupan menjadi penting. Agar mengantar orang sampai pada tujuan hidupnya yakni ; bertumbuh menjadi pribadi dewasa yang bertanggung jawab (Paulus Subiyanto,2012:102). Membangun sikap bertanggung jawab menjadi bagian hidup kita. Sikap tanggung jawab merupakan salah satu cara mengembangkan kedewasaan dalam banyak aspek. Termasuk di dalamnya kedewasaan dalam berelasi baik dengan sesama jenis maupun lawan jenis.

Kematangan kita dalam menjalin relasi yang sehat dan bertanggung jawab. Akan memproteksi kita terhadap hal-hal negatif dari luar. Seperti penularan virus HIV/AIDS, yang disebabkan karena perilaku hidup yang tidak bertanggung jawab. Pemaknaan cinta secara benar, seimbang dan bertanggung jawab akan menghasilkan satu komitmen dalam hubungan relasional itu. Relasi ini tidak hanya menuntut sebuah pemberian diri semata.

Namun, condong pada sebuah keinginan dan tekat untuk mau berkorban bagi orang yang dicintai-nya secara tulus. Dengan ini cinta tidak lagi dimaknai sebagai hanya sebuah kesenangan yang mendatangkan kenikmatan sesaat. Hubungan yang dibangun pun tidak hanya pada tataran fisik. Ketika kenikmatan dan kepuasan dalam relasi itu telah diperoleh.

Dengan sendirinya orang menjadi tidak bergairah dalam membangun komitmen yang jelas ke depan. Inilah bahaya yang harus disadari sedini mungkin. Harapannya terbentuk dalam diri kita sikap kritis, dewasa dan bertanggung jawab dalam memaknai cinta secara benar. Cinta bukan momok yang menakutkan.

Bukan pula virus yang mematikan. Karena cinta adalah sebuah anugrah dalam hidup ini yang harus ditumbuhkembangkan secara benar dan bertanggung jawab. Maka, jangan pernah takut jatuh cinta. Karena “Jatuh Cinta” tidak pernah dilarang. Semoga.

Penulis adalah Mahasiswa Semester II pada Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Fajar Timur – Abepura, Papua.

Terkini

Populer Minggu Ini:

HRM Melaporkan Terjadi Pengungsian Internal di Paniai

0
Pengungsian internal baru-baru ini dilaporkan dari desa Komopai, Iyobada, Tegougi, Pasir Putih, Keneugi, dan Iteuwo. Para pengungsi mencari perlindungan di kota Madi dan Enarotali. Beberapa pengungsi dilaporkan pergi ke kabupaten tetangga yakni, Dogiyai, Deiyai, dan Nabire.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.