ArsipPerbudakan: Dari Amerika Hingga Papua Barat (2/Habis)

Perbudakan: Dari Amerika Hingga Papua Barat (2/Habis)

Kamis 2013-09-12 14:40:00

Apa yang telah dan sedang terjadi di Papua Barat?

Dalam kitab Kejadian pasal satu ada ayat yang berbunyi “Kemudian bangkitlah seorang raja baru memerintah tanah Mesir. Berkatalah raja itu kepada rakyatnya: Bangsa Israel itu sangat banyak dan lebih besar jumlahnya serta lebih kuat daripada kita, marilah kita bertindak dengan bijaksana terhadap mereka. Sebab itu pengawas-pengawas rodi ditempatkan atas mereka untuk menindas dengan kerja paksa.”  Artinya, perbudakan itu telah terjadi sejak zaman purbakala, seperti apa yang telah dialami oleh bangsa Israel kuno.

Untuk memuluskan perbudakan itu, ada kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh para penguasa. Raja Firaun mengeluarkan kebijakan kerja paksa, yang melawan dan malas dicambuk. Demikian pula dengan yang terjadi di Amerika Serikat. Mereka melegalkan perbudakan dengan hukum fugitive slave law dan the black code,dll. Lalu apakah hal yang sama sudah dan sedang dihadapi orang Papua?

Membaca beberapa literasi tentang sejarah Papua Barat, terutama tulisan H.W. Bachtiar[1] dan Benny Giay[2] di sana telah dilaporkan bahwa jauh sebelum kerajaan Sriwijaya berkuasa di Indonesia, orang Papua telah membangun hubungan-hubungan dengan daerah-daerah di sebelah barat pulau Papua Barat. Perdagangan dan pertukaran barang serta hasil hutan telah dilakukan. Hal itu terlihat dengan penyebaran kebudayaan neolotik yakni kampak batu dan perunggu dari Asia tenggara hingga ke Papua Barat.

Di laporkan bahwa hubungan antara orang Papua dengan kerajaan Sriwijaya mulai terjadi sejak awal abad ke-8, yang terbukti dengan dibawahnya burung dan buluh Cenderawasih oleh Sultan Ternate dan Tidore kepada raja Indrawarman dari Sriwijaya yang kemudian dipersembahkan kepada Kaisar Tiongkok.

Pertanyaan kita kemudian adalah bagaimana Sultan Ternate dan Tidore mendapatkan barang-barang upeti itu di Papua Barat? Apakah dengan jalan damai atau kekerasan? Dalam catatan sejarah dilaporkan bahwa dalam abad-abad itu telah terjadi pengayauan atau perampokan terhadap orang Papua. Banyak orang Papua yang ditangkap, dijual dan diperbudak. Itu artinya bahwa kekerasan yang masih terlihat sampai hari ini di Papua Barat sudah terjadi/dilakukan oleh nenek moyang orang Indonesia jauh sebelum Papua dianeksasi pada tahun 1969 melalui PEPERA.

Bentuk-bentuk kekerasan ini terutama dilakukan oleh orang-orang Ternate dan Tidore yang berkompromi atau bekerja sama dengan kerajaan Sriwijaya (nenek moyang NKRI). Hingga tahun 1918 budak-budak orang Papua masih diperjualbelikan di Maluku. Dan cerita tentang kebengisan Sultan Tidore, Eliezer Bonay mengungkapkan bahwa itu masih terus disampaikan hingga generasi ke 8[3]. Bahkan menurut laporan yang lain, Sriwijaya pernah mengirim 100 orang budak ke Cina sebagai upeti. Majapahit pun melakukan hal yang sama, yakni mengirim 300 lebih budak, yang dalam tahun berikutnya disusul dengan 100 orang budak berkulit hitam[4].  Sehingga saat itu orang Papua disebut Jengki atau Tungki. Tapi, apakah orang Papua berdiam diri dengan peristiwa kekerasan, perbudakan dan perampokan yang mereka alami? Sejarah mencatat bahwa orang Papua pun bangkit dan melakukan pembalasan dengan pergi merampok raja-raja kecil di kepulauan Maluku[5]. Sementara mereka yang dikirim ke cina nasibnya tak diketahui.

Tak sampai disitu, setelah Indonesia Merdeka, dalam tahun 1960an Jakarta telah memaksa orang Papua untuk bergabung dengannya, pertama, dengan kebijakan Trikora 19 Desember 1961 sebuah kebijakan pengkondisian yang menyebabkan pelanggaran HAM masiv di Papua dan kedua, melalui PEPERA yang direkayasa, yang dilakukan tidak sesuai dengan perjanjian New York. Kemudian orang Papua dipaksa untuk mengakui dirinya sebagai bagian dari orang Indonesia dengan melakukan berbagai operasi militer, terror dan intimidasi serta melalui pendidikan dengan mengajar orang Papua untuk menghafal dan mengeja kata seperti: ini budi, ini ima, dll, yang sangat tidak sesuai konteks.

Setelah reformasi, ketika orang Papua tuntut kemerdekaan, Jakarta memberlakukan Otsus dengan paksa. Sebuah kebijakan yang berlawanan dengan hati nurani rakyat. Kemudian lahirlah pemekaran kabupaten, kota dan propinsi. Semua lambang budaya orang Papua yang diatur dalam Otsus dilarang untuk dipajang dan dikibarkan. Belakangan muncullah UP4B dalam rangka mempercepat pembangunan di Papua. Bisakah kita sebut ini semua sebagai bagian dari perbudakan dimana yang lemah ditindis oleh kebijakan mereka yang kuat?

Semua kebijakan itu telah menyibukkan kita orang Papua, sehingga kita lupa bahkan dibuat tidak sadar akan masa depan yang sudah dan sedang kita tujuh. Kita dibuat sibuk, seperti apa yang telah dilakukan Firaun kepada bangsa Israel Kuno agar lupa tentang tanah kanaan, tanah yang penuh dengan air susu dan madu. Kita dibuat terlenah, apatis dan takut. Ketika kita disibukkan, kita tidak sadar kalau kita sedang dipenjarahkan. Kita sedang dimasukkan dalam kotak-kotak yang lebih kecil lagi. Kita dilarang untuk bicara merdeka karena itu makar. Mereka memperdengarkan “kasih dan damai itu indah” tapi realitanya dibuat tidak damai. Banyak umat (rakyat) kita yang ditembak, dikejar-kejar, diteror, diintimidasi, dibuat tetap miskin. Kita dilabeli teroris belakangan ini, dll. Semua itu terjadi di depan mata kita.

Apa yang bisa kita lakukan?

Mari kita simak nasehat dari Pdt.Ed Montgomery, dia bilang begini; “Tempat dimana kita hidup dan semua kebijakan adalah kotak. Pembuat kotak itu memutuskan cara hidup kita. Tapik kita harus melihat kotak yang mengurung kita sebagai sebagai sebuah kotak. Ketika anda merasa terkurung di dalamnya, ketahuilah bahwa seseorang telah menutup pintunya. Saat anda berteriak minta dibebaskan, sadarilah ada yang mendengar, meskipun mereka tidak mau membuka pintunya. Jika ingin keluar, ketahuilah bahwa kuncinya tidak berada dalam kantong orang lain, tetapi ada dalam kantong dan pikiran anda dan terus di sana,”[6]  ini sama artinya dengan minum dari sumur sendiri.

Itu berarti, jalan keluar dari setiap permasalahan hidup yang kita hadapi adalah mulai dari sadar. Sadar bahwa kita ada dalam masalah. Sadar bahwa ada yang mengurung kita dan mencoba meninabobokan kita dalam dunianya. Setelah itu bekerja keras dan berteriak lebih keras lagi agar ada kepedulian. Agar ada orang yang mendengar dan tergerak untuk menolog/membatu. Tapi kuncinya ada dalam kantong kita. Kunci yang dalam kantong kita adalah semua karunia, talenta yang Tuhan taruh di dalam setiap kita. Semua kemampuan yang ada pada kita. Setiap jabatan ditempat kerja kita. Itulah kunci-kunci yang akan membuka pintuh kotak untuk melihat dunia yang lebih luas diluar. Untuk menikmati sedikit kebebasan dari kotak lain yang lebih besar.

Tapi kita juga harus sadar bahwa jangan sampai kita juga sedang memenjarahkan atau memperbudak orang atau sesama kita. Kita periksa bagaimana hubungan antara suami dan istri, anak-anak dan orang tua, guru dan murid, dosen dan mahasiswa, adik dan kakak, dll.

Selain itu, kotak gunung-pantai harus diluruskan, kotak isme harus dibongkar, kotak togel yang memanjahkan dan memalaskan harus diruntuhkan, dll. Ini perang kita bersama, oleh karena itu bersatu adalah kata kunci karena itu sumberdaya kita yang besar.

^Naftali Edoway adalah pemerhati social, tinggal di Jayapura

 

[1] H.W.Bachtiar  “Sejarah Irian Jaya” dalam buku Irian Jaya Membangun Masyarakat Majemuk buah pena Koentjaranigat,dkk, Jambatan, 1994, hal 44-45

[2] Benny Giay, “Hidup dan Karya John Rumbiak: Gereja LSM dan Perjuangan HAM Dalam Tahum 1980an Di Tanah Papua, Deiyai, hal 20-26

[3] Ibid, hal 21

[4] Ibid hal. 24

[5] Ibid, hal 30

[6] Ed.Montgomery, 1998, “Surga di Hati dan Kantong Anda”, Harvest Publication House, hal 17

Terkini

Populer Minggu Ini:

KKB Minta Komisi Tinggi HAM Investigasi Kasus Penyiksaan OAP

0
“Menyimak video penyiksaan terhadap rakyat sipil Papua yang dilakukan oleh aparat TNI adalah suatu tindakan melanggar dan mencabik-cabik harkat dan martabat manusia sebagai ciptaan Tuhan yang paling mulia,” ujar Mananwir Apolos Sroyer, melalui keterangan tertulis, Senin (25/3/2024).

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.