ArsipBahasa Indonesia Versus Bahasa Daerah

Bahasa Indonesia Versus Bahasa Daerah

Rabu 2013-10-02 14:09:00

MENJUMPAI seorang bocah di daerah pedalaman Tanah Papua yang fasih ‘bicara’ bahasa Melayu mungkin tak lagi langka seperti di tahun 1950-1970-an. Saat itu anak-anak pedalaman Papua, bahkan orang dewasa sekalipun belum terbiasa berkomunikasi dengan bahasa Melayu atau yang sekarang dikenal luas sebagai bahasa Indonesia. Di Tanah Papua ‘tong’ kenal dengan bahasa Melayu-Papua.

Suara mereka terbata-bata bila mengeja kata demi kata atau kalimat dalam bahasa Indonesia. Layaknya orang asing atau balita yang mulai belajar bertutur. Sebab penggunaan bahasa daerah masih kental kala itu. Tapi itu dulu. Bagi orang luar yang saat ini menetap di ujung timur wilayah Nusantara yang kaya sumber daya alam ini, kesan yang muncul adalah bahasa Indonesia sudah menggema di hampir seantero negeri ini.

Mulai dari wilayah pesisir, dataran rendah, dataran tinggi maupun wilayah yang terisolasi oleh luasnya tutupan belantara, hingga kawasan Pegunungan Tengah Papua. Tak hanya itu, sebagai ‘lingua franca’ bahasa Indonesia kini menjadi bahasa pergaulan yang efektif diantara berbagai suku di wilayah ini. Bahkan pengaruhnya hampir menggesar penggunaan bahasa-bahasa lokal di Papua.

Kekuatiran mengenai bakal punahnya beberapa bahasa orang Papua bukan tanpa alasan. Menyusul temuan para peneliti bahwa ada sejumlah bahasa lokal kini makin jarang digunakan, bahkan ada yang telah memasuki fase kepunahan. Beberapa diantaranya dapat disebutkan seperti bahasa Tandinia, Dusner dan Mansin yang berasal dari wilayah pesisir Teluk Cenderawasih. Sayangnya, satu-dua bahasa lokal di wilayah Tabi pun dikabarkan telah memasuki fase ‘emergency’.

Hal itu selain disebabkan oleh interaksi sosial yang menekankan penggunaan bahasa Indonesia di masyarakat kita yang heterogen, juga ‘gara-gara’ perkawinan campur hingga tuntutan pembangunan yang mendorong migrasi spontan dari luar sehingga menyebabkan pergeseran penduduk lokal dan identitasnya. Dampak globalisasi dan modernisme yang mengarah pada peniruan budaya luar, terlebih budaya barat (sinkretisme budaya dan westernisasi) pada sisi lain telah menjadi ‘wabah’ yang menyebabkan generasi muda Papua merasa minder menggunakan bahasa ibunya sendiri.

Tendensi pergeseran bahasa lokal orang Papua memang patut diwaspadai dengan terus dilestarikan penggunaannya oleh penutur aslinya. Disamping perlu ada pendokumentasian tertulis dalam bentuk kamus, tata bahasa (grammar) atau karya ilmiah lainnya. Pemerintah Daerah juga perlu mendorong pengajaran bahasa daerah melalui kurikulum muatan lokal (mulok) di sekolah-sekolah. Sebab bahasa daerah merupakan karunia Tuhan. Hilangnya bahasa daerah berarti hilanggnya identitas budaya dan jati diri sebagai bangsa.

Bahasa adalah media komunikasi lisan antar manusia melalui bunyi suara yang terucap dari mulut. Bahasa merupakan hasil pemaknaan atas kondisi alam sekitar (lingkungan alam), relasi sosial manusia, keadaan metafisis dan dalam kaitan dengan sang pencipta (Tuhan). Dengan begitu, kedudukan setiap bahasa di muka bumi adalah sama. Tidak ada bahasa manapun yang kedudukannya lebih tinggi dari yang lain. Walaupun dalam relasi antar manusia yang terdiri dari berbagai ras dan suku-bangsa, penggunaan satu bahasa dengan yang lain memiliki keistimewaan tersendiri.

Mengenai keragaman bahasa lokal di Tanah Papua, lembaga misi dan penelitian bahasa AS, Summer Institute of Linguistic International (SIL) mencatat sedikitnya ada 312 suku asli dengan bahasa lokalnya. Keberagaman suku asli ini ternyata tak hanya dimiliki Papua Barat. Di wilayah timur pulau Papua yang saat ini menjadi negara tetangga Papua New Guinea (PNG), juga memiliki sekitar 875 suku asli dengan bahasa lokalnya.

Tak heran jika PNG dikenal sebagai negara dengan penduduk paling beragam di dunia. Meski hampir tiga kali lebih banyak memiliki suku asli dan dua kali lebih banyak jumlah penduduknya ketimbang Papua Barat, rakyat PNG dipersatukan oleh bahasa pengantar ‘Inggris Pidjin (tok pidjin)’. Bahasa ini telah menjadi bahasa resmi negara ini sejak merdeka dari Inggris tahun 1978.

Negara yang pernah dipimpin Michael Somare ini dari waktu ke waktu memiliki penduduk yang makin beragam. Bukan hanya dilihat dari banyaknya suku-suku asli, tapi juga karena hadirnya beragam ras manusia dari berbagai negara. Fenomena ini terjadi seiring pengaruh globalisasi dan inter-koneksitas antar negara-bangsa di dunia atas dasar kepentingan-kepentingan yang saling berpadu sehingga batas-batas teritorial tradisional tiap negara kian terdegradasi. Pemikir Jepang, Kenichi Ohmae, dalam bukunya: Hancurnya Negara Bangsa’, menyebut fenomena ini: dunia tanpa batas (world without borders).

Kembali ke soal bahasa. Secara umum, keberagaman suku asli dan bahasa di pulau New Guinea sangat ditentukan oleh perbedaan topografi wilayah. Hal ini ikut membentuk keragaman tipe kebudayaan dan identitas masyarakat lokal yang di dalamnya termasuk bahasa. Soal Papua Barat, heterogenitas suku di wilayah ini juga makin kompleks lewat kehadiran berbagai suku dari daerah lain. Dimulai sejak proses pengintegrasian wilayah Papua Barat ke dalam wilayah Indonesia pada 1963 silam.

Kehadiran suku-suku bukan Papua (non Papua) dalam terminologi polarisasi etnis, oleh orang Papua dipandang sebagai masyarakat pendatang. Atau sebutan “amber atau orang amberi,” istilah serapan dalam bahasa Biak (Byak) yang sering digunakan orang Papua untuk menyebut mereka yang bukan orang asli Papua (OAP). Tapi istilah itu sebenarnya tidak hanya merujuk pada orang-orang serumpun Melayu yang berasal dari wilayah Indonesia dan pulau-pulau sekitarnya.

Dalam hal persebaran penduduk, suku-suku non Papua ikut mendiami wilayah perkotaan hingga pelosok-pelosok terpencil Tanah Papua. Keberagaman ini lantas mengistimewakan penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dalam berbagai aspek. Ini dimulai dari pendidikan formal, interaksi sosial-politik, ekonomi-bisnis, perdagangan, pariwisata, budaya, keagamaan dan sebagainya.

Tingginya frekuensi penggunaan bahasa Indonesia pada masyarakat Papua dan potensinya yang bisa menggeser penggunaan bahasa-bahasa lokal memang sudah tak terbendung lagi. Namun dampak positif penggunaan bahasa Melayu-Indonesia juga patut diapresiasi. Misalnya, bahasa Indonesia telah membantu proses adaptasi dan interaksi antar suku-suku orang Papua maupun antara orang Papua dengan suku-suku yang berasal dari luar.

Uniknya, penggunaan bahasa Indonesia di daerah ini lambat laun diperkaya dengan beragam kosakata bahasa Melayu Papua dan nuansa logat khasnya. Inilah yang menjadi semacam ‘tanda pengenal’ untuk mendeteksi mereka yang baru menginjakan kaki di Papua dengan mereka yang sudah lama menetap. Yang terpenting lagi, penggunaan bahasa Indonesia telah menjadi media transfer ilmu pengetahuan dan teknologi bagi kemajuan peradaban penduduk asli Papua.

Hasilnya sulit dibantah bahwa orang Papua kini menjadi satu entitas masyarakat yang paling aktif bertutur bahasa Indonesia sehari-hari ketimbang penduduk di provinsi lain di negara ini. Sebagai contoh, ‘kalo tong’ kunjungi daerah-daerah pedalaman di pulau Sulawesi, Jawa, Sumatera, Kalimantan, pulau Timor, pulau Bali, dan lain-lain, mayoritas masyarakat aslinya masih aktif bertutur bahasa daerahnya dalam percakapan sehari-hari.

Hal itu menyebabkan banyak dari mereka yang tidak fasih, atau bahkan sama sekali tidak bisa berbahasa Indonesia. Sebagai masyarakat pencinta bahasa Melayu-Indonesia, realita demikian tentu sangat disayangkan. Sebab hal ini akan menyulitkan penduduk dari daerah lain yang hendak berinteraksi dengan ‘dorang’. Lagipula Pemerintah sejak jaman orde baru sudah mengkampanyekan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar disamping pelestarian bahasa daerah.

Kenyataan tersebut malah terbalik ‘kalo tong’ berada di Tanah Papua. Di kampung-kampung terjauh yang dihuni masyarakat asli sekalipun, bisa dijumpai bocah-bocah kecil dengan riang bermain sambil bertutur bahasa lokal bercampur bahasa Indonesia. Demikian pula orang dewasa. Dalam percakapan sehar-hari, ‘dong pasti tra kase lewat’ penggunaan bahasa Indonesia meski aktif bertutur bahasa ibu (bahasa daerah). Kalau ‘dong’ ketemu orang luar yang menjadi lawan bicara, dong pasti gampang menyesuaikan penggunaan bahasa Indonesia dalam percakapan.

Menggemanya bahasa Indonesia di seantero Tanah Papua mungkin saja menjadi kebanggaan tersendiri bagi orang Papua. Seorang teman yang berasal dari sebuah kampung terpencil di salah satu kabupaten di Sumatera, pernah berkata kepada saya begini: “sejak sa datang ke Papua, sa pikir nanti akan sulit berkomunikasi dengan orang Papua. Karena sa kira orang Papua umumnya blum bisa berbahasa Indonesia. Tapi setelah sampe disini, sa sadar bahwa ternyata orang Papua paling akrab dengan bahasa Indonesia.”

Tidak hanya itu. Keterbatasan informasi tentang Papua membuat ‘sa pu’ teman ini sebelumnya ‘de pikir’ bahwa orang Papua masih sangat terbelakang seperti di era 1960-an. Kini anggapan itu telah sirna diterpa pengalaman dan perjalanan waktu. Setelah beberapa tahun berada di Tanah Papua, teman saya justru terkesima melihat anak-anak hingga kaum lanjut usia di daerah pedalaman Papua fasih berbahasa Indonesia, meski disertai logat yang kental.

Pengalaman tersebut jelas berbeda dengan realitas masyarakat di kampung halaman teman saya. Dominasi bertutur dalam bahasa daerah membuat sebagian masyarakatnya hampir tak bisa berkomunikasi dengan bahasa Indonesia. Lantas, apakah ini suatu cerminan umum bahwa masyarakat kita telah ‘terjebak’ diantara tuntutan penggunaan bahasa Indonesia dan pelestarian bahasa daerah? Entahlah. Coba tanya pada rumput yang bergoyang.

*Penulis adalah wartawan, pemerhati budaya dan sastra Papua. Anggota komunitas pegiat buku Lakeda Corner.

3 KOMENTAR

Terkini

Populer Minggu Ini:

Dukcapil Intan Jaya akan Lanjutkan Perekaman Data Penduduk di Tiga Distrik

0
“Untuk distrik Tomosiga, perekaman akan dipusatkan di Kampung Bigasiga. Sedangkan untuk Ugimba akan dilakukan di Ugimba jika memungkinkan. Lalu distrik Homeyo perekaman data penduduk akan dilakukan di Kampung Jombandoga dan Kampung Maya,” kata Nambagani.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.