ArsipLewat Kaca Depan, Aparat Kepolisan Masuk ke Dalam Rumah Pemohon

Lewat Kaca Depan, Aparat Kepolisan Masuk ke Dalam Rumah Pemohon

Kamis 2014-03-27 10:56:15

PAPUAN, Jayapura — Sidang lanjutan perkara pra-peradilan terhadap Kepala Kepolisian Resort (Kapolres) Sarmi, yang diajukan para pengacara dari Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Penegakan Hukum dan HAM mewakili pemohon Edison Werimon (50) dan Soleman Fonataba (48), kembali digelar Rabu (25/3/2014) siang, di Pengadilan Negeri Klas IA, Jayapura, Papua, dengan agenda pemeriksaan saksi.

Elkana Masin (60), salah satu saksi yang dihadirkan termohon dalam perkara No: 03/PID.PRA/2014/PN-JPR, atas nama Soleman Fonataba mengaku mengenal tersangka, sebab rumah yang ditempati beliau adalah rumah miliknya yang di kontrak.

“Saya kenal beliau karena dia kontrak rumah saya. Pada malam tanggal 13 Desember 2013, saya dipanggil aparat kepolisian untuk ke rumah tersebut karena akan dilakukan penggeledahan. Karena pintu depan dan belakang terkunci, maka aparat masuk lewat kaca depan rumah, saya juga ikut sama-sama masuk,” jelas Elkana, dalam persidangan.

Elkana mengaku, melihat aparat kepolisian masuk ke dalam kamar tidur tersangka, dan menemukan barang-barang dan dokumen-dokumen milik tersangka, yang selanjutnya dibawa ke kantor Polres Sarmi.

“Tapi saat itu tidak ada orang di rumah. Sebelumnya, pada siang hari yang bersangkutan dan keluarga  telah pamit ke saya untuk ke Kota Jayapura, jadi aparat kesana hanya ambil barang-barang saja di rumah saja,” tegas Elkana.

Elkana juga mengaku, tidak tahu menahu soal bendera Melanesia, maupun barang-barang bukti lain yang diambil aparat kepolisian, sebab hanya menyaksikan dari jauh kegiatan penggeledahan.

“Saya lihat barang-barang tersebut diangkut dari rumah dengan mobil Polisi ke Polres, saya tidak ikut ke Polres Sarmi saat itu,” katanya.

Ivonia Sonya Tetjuari, SH, salah satu penasehat hukum pemohon menanyakan, “Apakah saudara saksi sempat tanda tangan surat berita acara penyitaan barang dari Polisi, karena saat itu bertindak sebagai saksi.”

“Saya sama sekali tidak tanda tangan, dan memang tidak ada satupun surat yang saya tanda tangani saat itu, kalau tanggal 17 Desember memang ada, tapi bukan tanggal 13 atau 14 Desember 2013,” jawab Elkana tegas.

Padahal, menurut Ivonia, sebelum dilakukan penggeledahan, pada saat itu juga aparat harus menunjukan surat penggeladahan dari Pengadilan Negeri, juga perlu dibuat surat penyitaan barang sesuai ketentuan KUHAP.

Saksi lain yang dihadirkan termohon adalah Mias Masin (55), ketua Rukung Tetangga (RT) di Kampung Sawar, Distrik Sawar, Kabupaten Sarmi, Papua.  Diceritakan, sebagai Ketua RT dirinya tidak mengenal tersangka, sebab belum pernah mendata warganya.

“Kami juga tidak mendata penduduk karena surat tugas belum turun. Tapi memang saya tidak kenal beliau, kenal mulai saat ke rumahnya bersama Polisi tanggal 13 Desember malam,” kata Mias.

Dijelaskan, malam itu Polisi sempat meminta dirinya ikut ke TKP, sebab ada peristiwa yang harus dia saksikan sebagai RT, dan baru tahu kalau rumah pemohon akan digeledah oleh aparat kepolisian.

“Aparat sudah lebih dulu masuk lewat kaca rumah, saya juga ikut masuk lewat kaca rumah. Dan saya hanya menyaksikan aparat geledah rumah, dan ambil semua barang-barang dari dalam. Saya juga tidak tau bendera Melanesia yang katanya baru ditemukan,” kata Mias.

Senada dengan saksi pertama, Mias juga mengaku tidak menandatangani surat apapun di malam itu, dan baru menandatangani sebuah surat pada tanggal 17 Desember 2013, saat tahu kalau Soleman Fonataba telah menyerahkan diri ke Polres Sarmi, pada pukul 15.00 Wit.

Menurut pengacara pemohon, Olga Hamadi, SH, M.Hum, tindakan penangkapan yang dilakukan aparat kepolisian ternyata dilakukan tanpa memperlihatkan surat tugas, tidak memberikan surat perintah penangkapan, dan tembusan kepada keluarga, namun baru diberikan pada tanggal 17 Desember 2013, jam 11.30 malam, selesai pemohon diperiksa oleh Polisi.

“Tindakan polisi telah jelas-jelas melanggar ketentuan pasal 18 ayat (1) KUHAP. Karena itu kami kembali ke permohonan kami dalam perkara ini, yakni, penangkapan, penahanan, dan penggeledahan rumah pemohon tidak sah, karena itu perkara harus dibatalkan atau tidak dilanjutkan,  demi tegaknya hukum dan keadilan di tanah Papua,” tegas Hamadi.

Ditambahkan oleh Gustaf Kawer, SH, M.Hum, kuasa hukum pemohon tidak mencari menang dan kalah dalam persidangan pra-peradilan yang digelar, namun ingin memberikan masukan sebagai kontrol publik terhadap kinerja dan tindakan aparat kepolisian.

“Ini bagian dari saran dan masukan kami sebagai masyarakat, agar reformasi di tubuh kepolisian bisa segera dilakukan, dan aparat dapat bertindak sesuai dengan aturan yang ada,” tegas Kawer.

Setelah mendengarkan keterangan saksi pemohon maupun termohon, juga kesimpulan keduanya, Hakim Ketua Adrianus Infaindan, SH, menunda jadwal sidang, pada Kamis (27/3/2014) dengan agenda mendengarkan putusan hakim.

OKTOVIANUS POGAU

Terkini

Populer Minggu Ini:

Masyarakat Tolak Pj Bupati Tambrauw Maju Dalam Pilkada 2024

0
Kami atas nama leluhur tokoh pemekaran kabupaten Tambrauw dan alam semesta mengutuk dan menolak dengan tegas pernyataan sikap yang disampaikan oleh kepala suku besar Abun tentang dukungan politiknya terhadap Pj. Bupati Kabupaten Tambrauw.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.