ArsipDari Bedah Buku “Papua Nyawene”, Diharapkan Kembali ke Kampung

Dari Bedah Buku “Papua Nyawene”, Diharapkan Kembali ke Kampung

Rabu 2015-11-11 08:52:11

WAMENA, SUARAPAPUA.com — Buku berjudul “Papua Nyawene” (Papua Bercerita), dibedah di gedung Sosial Katolik (Soska) Wamena, Jayawijaya, Papua, Rabu (11/11/2015).

Pantauan suarapapua.com, acara bedah buku “Papua Nyawene” dihadiri Kepala Bappeda Kabupaten Jayawijaya, tokoh gereja, pimpinan LSM, tokoh adat, tokoh perempuan, pemuda gereja, masyarakat dan sejumlah aktivis kemanusiaan.

Buku non-elit atau buku dari masyarakat akar rumput di Distrik Asolokobal Jayawijaya, Distrik Kurima-Samenage Yahukimo yang dilaunching 28 Oktober 2015, dibedah dengan banyak masukan tetapi juga dukungan. (Baca: Buku “Papua Nyawene: Papua Bercerita” Diluncurkan)

Seperti ajakan dari Pius Wetipo, “Mari kita kembali ke kampung untuk lestarikan apa yang kami punya seperti yang sudah tertuang dalam buku ini.”

 

Petrus menilai isi buku ini terdapat banyak hal positif. “Buku ini memberikan kita masukan tentang apa yang selama ini kita lakukan dan apa yang kita harus rubah dari kebiasan, jadi mari kita kembali dan mulai sesuai dari kampung dan adat kita orang lembah,” ujar Pius.

Senada, Yosina Logo menekankan kepada bapak-bapak untuk kembali ke kampung dan kumpulkan masyarakat lalu sampaikan pesan penting dari buku ini.

Yosina melihat ada banyak pesan yang perlu diteruskan bapak-bapak ke masyarakat tentang hal baik yang sudah sejak awal dimiliki oleh masyarakat pribumi di daerah ini.

“Pulang dan ajak masyarakat tinggalkan bahasa Indonesai dan utamakan persoalan kami di kampung tentang lunturnya budaya kami. Kami tidak mau hanya karena modernisasi menghancurkan budaya kita yang tidak memberikan bukti kemajuan apa-apa, hanya kehancuran yang kami dapatkan,” tegas Yosina.

Ia juga menekankan akibat budaya luar yang menghancurkan, sehingga budaya wita-waya (kawin mengawin dengan saudara), wita dengan wita dan waya dengan waya yang sesuai budaya tidak sama sekali diperbolehkan terjadi hingga sulit dihilangkan.

Menurutnya, hal tersebut karena budaya yang mulai luntur dewasa ini. Isi dari buku ini jelas menceriterakan persoalan-persoalan itu dan kini waktunya untuk tinggalkan budaya yang tidak memberikan suatu manfaat yang baik.

Niko Lokobal, salah satu penulis tinjauan buku “Papua Nyawene” yang juga menjadi narasumber dalam bedah buku ini mengakui persoalan budaya yang semakin hilang itu.

“Jangan berpikir budaya dan perkembangan luar itu baik, itu menghancurkan jadi jangan selalu mau mengikuti perubahan itu tanpa saring baik. Jika kita lakukan ini, artinya kita menyelamatkan daera, budaya dan manusia Papua di daerah ini,” ujar Lokobal.

Herman Yelipele menyarankan kepada Pemerintah Daerah untuk harus bersinergi dengan Gereja, masyarakat dan adat setempat.

Yelipele juga menyatakan, jangan membawa perkembangan luar untuk melakukan di daerah ini yang nyata-nyata tidak sesuai dengan karakteristik kedaerahan.

“Mulai sekarang stop dan bangun sesuai dengan budaya kami disini, terutama stop dengan datangkan beras kotor itu, kami cukup dengan ubi dan sayur yang kami miliki. Karena beras, supermi dan lain-lain buat kami malas kerja kebun dan hanya makan makanan itu,” tegasnya.

Sementara, Theo Hesegem meminta kepada tim kerja buku “Papua Nyawene” untuk melakukan kegiatan yang sama di Kabupaten Yahukimo, sebab sejumlah masyarakat yang diwawancarai yang tertuang dalam buku adalah masyarakat Kabupaten Yahukimo.

“Saya harap teman-teman tim kerja bisa bedah buku “Papua Nyawene” di Yahukimo, karena distrik Kurima dan Samenage yang tertuang dalam buku ini adalah masyarakat Kabupaten Yahukimo, supaya pemerintah di sana buka mata juga,” ujar Theo Hesegem yang bertindak selaku narasumber dalam bedah buku ini.

Sementara itu, Kepala Bappeda Kabupaten Jayawijaya, Petrus Mahuse menyambut baik beberapa masukan kepada pemerintah. Ia secara pribadi siap mendorong dan membantu bersinergi jalankan apa yang memang menjadi tuntutan masyarakat.

Petrus menilai buku ini menggugah hati karena mengangkat akar persoalan dari kampung, termasuk menjadi media bagi pemerintah guna mengetahui apa yang terjadi dan apa yang menjadi persoalan bagi masyarakat.

“Contoh masyarakat makan ubi, tetapi sekarang makan nasi, ini salah siapa? Apakah pemerintah yang salah atau siapa, harus perlu rumusan dengan regulasi. Jadi, buku ini memang memberikan suatau inspirasi dan ini langkah awal untuk kedepan,” ungkap Petrus.

Ia menekankan supaya apa yang tertulis dalam buku ini bisa dilakukan sesuai dengan tugas dan tanggung jawab yang ada di setiap orang untuk daerah ini, juga Papua secara umum demi perubahan.

Pastor John Jonga, salah satu penulis buku “Papua Nyawene” yang juga sebagai Ketua Yayasan Teratai Hati Papua mengharapkan agar terbitnya buku ini dapat memutus rantai keterbatasan komunikasi antara masyarakat pada pemerintah.

“Yang nyata saja saat ini mau ketemu muka dengan pemerintah saja tidak bisa, akhirnya masyarakat harus pakai proposal yang sama ini saja artinya belum bagus,” ungkap Pastor John.

Menurutnya, batasan dan ruang yang selama ini memisahkan dan membuat jarak antara masyarakat dan pemerintah perlu dipatahkan, sehingga ada kebebasan walaupun semuanya harus melalui proses panjang.

Artinya, dengan cerita yang didalamnya ada suka, duka dan harapan kiranya dapat dipahami oleh pemerintah, bukan hanya pemerintah kabupaten, tetapi sampai pada pemerintah pusat.

“Saya mau katakan, masyarakat mengugat pemerintah dan pemimpin, karena selama ini tidak diberi kesempatan untuk bicara,” jelasnya.

Buku berisi sejumlah pergumulan menata hidup menuju Papua Tanah Damai dan Adil itu, sebagai cermin bagi semua pihak untuk mengintropeksi diri dari bebagai hal dan sisi kehidupan.

Editor: Mary

ELISA SEKENYAP

Terkini

Populer Minggu Ini:

Dukcapil Intan Jaya akan Lanjutkan Perekaman Data Penduduk di Tiga Distrik

0
“Untuk distrik Tomosiga, perekaman akan dipusatkan di Kampung Bigasiga. Sedangkan untuk Ugimba akan dilakukan di Ugimba jika memungkinkan. Lalu distrik Homeyo perekaman data penduduk akan dilakukan di Kampung Jombandoga dan Kampung Maya,” kata Nambagani.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.