EditorialWawancaraKonflik Papua Semakin Memanas Karena Ruang Dialog "Tersumbat"

Konflik Papua Semakin Memanas Karena Ruang Dialog “Tersumbat”

PAPUAN, Jayapura — Tidak adanya ruang untuk berdialog antar pemerintah Indonesia dengan masyarakat Papua, membuat konflik semakin memanas, dan yang menjadi korban dari semua konflik tersebut adalah warga sipil di tanah Papua.

Demikian penegasan Pater Jhon Djonga, salah satu tokoh agama di tanah Papua, kepada suarapapua.com, Rabu (21/5/2014), saat ditemui di Hotel Sentani Indah, Sentani, Papua.

Menurutnya, kekerasan, pelecehan hak-hak masyarakat adat, pelanggaran hak asasi manusia, dan masalah-masalah sosial lainnya terjadi karena ruang untuk berdialog di sumbat atau di tutup rapat-rapat oleh negara.

“Maka jangan heran, kalau terjadi penembakan dimana-mana, terjadi konflik dimana-dimana, dan segala maccam konflik lain yang buat negara ini sulit atus masyarakat sendiri,” ujarnya.

Diharapkan, dalam konfrensi Jaringan Antariman Indonesia (JAII) yang digelar di Sentani, Jayapura, kondisis sosial, budaya, ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan masalah-masalah sosial lainnya di Papua lebih ditonjolkan untuk dibicarakan.

“Semua tokoh-tokoh agama dari Aceh sampai Ambon harus dibuat mengerti masalah Papua yang sebenarnya. Saya sebagai orang yang bertugas di kampung, ada cerita-cerita, ada lukisan-lukisan, kisah-kisah yang oleh orang kampung disebut sebagai masalah, tapi sering diabaikan oleh pemerintah,” tegasnya.

Kata Pater Jhon, yang telah ia sebutkan diatas adalah masalah-masalah paling mendasar yang sangat mendesak untuk dicarikan solusi penyelesaiaannya.

“Selama ini tidak ada penghargaan negara terhadap orang Papua, maka perlu di tekan dan di dorong dalam forum atau seminar ini. Seperti pelanggaran HAM yang terus menerus terjadi, dari konferensi ini harus angkat isu-isu penting ini.”

“Dan harus dijadikan rekomendasi, dan dapat disampaikan kepada pemerintah pusat di Jakarta,” tegas tokoh agama Katholik, yang sebelumnya bertugas cukup lama di Arso, wilayah yang berbatasan langsung negara Papua New Guinea.

Dalam konferensi, selain mengangkat soal pelanggaran HAM di Papua, juga harus dibicarakan persoalan-persoalan mendasar lainnya dari berbagai bidang atau sudut pandang.

“Ini harus dituntuskan dari sebuah konferensi. Masalah sosial dan budaya orang Papua juga harus dibicarakan, dan pemerintah harus diberikan rekomendasi juga agar tetap merawat dan mempertahankan budaya Papua.”

“Supaya damai itu benar-benar terlihat. Ekonomi orang Papua yang tidak merata harus dibicarakan juga. Saya juga bingung, Papua tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah pusat karena jauh dari Jakarta, atau memang pemerintah tidak punya niat baik, dan memang tidak mau bantu orang Papua?” tegasnya.

Ditambahkan, kegiatan konferensi digelar di Papua, karena itu harus diberikan banyak ruang untuk membicarakan masalah Papua secara spesifik, agar masyarakat Indonesia secara luas bisa mengerti dan memahami Papua.

Sebelumnya, tokoh perempuan Papua, mama Yosepha Alomang mendesak pemerintah pusat untuk serius menyelesaikan konflik yang terjadi di tanah Papua, terutama pertikaiaan antar suku yang terjadi di Kabupaten Mimika.

“Negara sengaja piara, dan biarkan konflik yang terjadi di tanah Papua, secara khusus di Kabupaten Timika. Saya desak semua pihak untuk duduk bersama dan menyelesaikannya,” tegas peraih penghargaan internasional bidang lingkungan hidup ini.

 

OKTOVIANUS POGAU

Terkini

Populer Minggu Ini:

Kepala Suku Abun Menyampaikan Maaf Atas Pernyataannya yang Menyinggung Intelektual Abun

0
“Kepala suku jangan membunuh karakter orang Abun yang akan maju bertarung di Pilkada 2024. Kepala suku harus minta maaf,” kata Lewi dalam acara Rapat Dengar Pendapat itu.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.