ArsipOtsus Plus: Mengembalikan Pemilukada ke DPRD

Otsus Plus: Mengembalikan Pemilukada ke DPRD

KamisĀ 2013-05-30 15:28:30

GARA-GARA aspirasi “M” dan pelaggaran HAM Berat di Tanah Papua, lahirlah UU Otsus yang diprakarsai dan disusun oleh berbagai komponen masyarakat asli Papua. Darah, keringat dan air mata dari rakyat Papua asli, hanya dijadikan simbol politik bagi penguasa untuk meraih kekuasaan.

Hal itu nampak dari rencana revisi UU Otsus menjadi UU Otsus Plus bagi Papua. Rencana itu sudah dinyatakan Presiden RI. Untuk itu, Gubernur Papua, Lukas Enembe dan perangkat politiknya, Partai Demokrat bersama Mendagri (Kemendagri) mencoba merevisi UU Otsus supaya menjadi Otsus Plus. Di sini nampak, kepentingan Partai Demokrat sangat dominan.

Tim dari Pemerintah Provinsi Papua dan Kementerian Dalam Negeri mulai membahas revisi Undang-Undang tentang Otonomi Khusus Papua. Siapakah Tim dari Papua itu? Diduga, Tim itu didominasi oleh kader-kader Partai Demokrat.

Ada 20 usulan, salah satunya adalah mengembalikan cara pemilihan kepala daerah di Papua menjadi tidak langsung melalui DPRD. Hal ini sebagaimana tertuang dalam UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua yang telah direvisi menjadi UU No 35/2008. Hal ini disampaikan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi seusai menerima Gubernur Papua Lukas Enembe, Rabu (1/5), di Jakarta.

“Sejak pilkada langsung, lebih dari 50 orang meninggal (dalam kerusuhan terkait pilkada). Lagi pula, yang memiliki pengaruh besar di sana adalah suku, lebih besar malah kekuasaannya daripada partai,” ujar Gamawan.

Pertanyaan yang muncul, apakah sudah ada kajian antropologi, bahwa hanya gara-gara Pemilukada, ada jiwa yang melayang ataukah gara-gara sistem kepimpinan tradional di kawaasan pegunungan yang menyebabkan nyawa melayang?

Pertikaian terkait Pemiulukada di kawasan Pegunungan Tengah, perlu dikaji dari sistem politik tradisional, khususnya sistem kepimpinan pria berwibawa seperti yang ditulis Doktor Johsz R. Mansoben dalam disertasinya yang berjudul :Sistem Politik Tradisional di Irian Jaya.

Menurut Mansoben, unsur politik tradisional dapat dijadikan pintu masuk untuk memahami kebudayaan pada umumnya, khususnya memahami sistem kepimpinan politik tradisional yang diwujudkan setiap kelompok etnik. Pemahaman ini penting dijadikan dasar untuk mengerti tingkah laku politik orang asli Papua pada sistem politik mederen pada masa sekarang.

Jadi kita tidak bisa menggeneralisir, bahwa gara-gara sistem pemilukada langsung, mengakibatnya 50 orang tewas di kawasan Pegunungan Tengah Papua.

Diduga keras, sampai saat ini belum ada kajian antropologi tapi sudah disiapkan perubahan cara pemilihan kepala daerah menjadi pemilihan tak langsung melalui DPRD. Harapannya, DPRD lebih mampu menyuarakan suara masyarakat dari berbagai suku di Papua.

Baca Juga:  Politik Praktis dan Potensi Fragmentasi Relasi Sosial di Paniai

Kalau revisi yang mengatur cara pemilihan kepala daerah menjadi pemilihan tak langsung melalui DPRD, maka sudah bisa dipastikan, bahwa suara terbanyak di DPRP, yaitu Partai Demokrat akan tetap keluar sebagai pemenang dan gubernurnya tetap dari Partai Demokrat.

Selain itu, kita harus jujur katakan, bahwa konflik atau kerusuhan terkait Pilkada, umumnya terjadi di kawasan Pegunungan Tengah Papua. Bahkan sistem pemungutan suara dengan Noken, tidak mencerminkan seluruh suku di Tanah Papua. Kebiasaan pemungutan suara dengan Noken pada umumnya, terjadi atau diciptakan di tengah-tengah kehidupan salah satu yang beraada di kawasan Pegunungan. Sedangkan suku Me dan suku-suku lain di kawasan Pegunungan, tidak menganut sistem Noken. Hal ini perlu diteliti dan dikaji ulang.

Pemungutan suara pada Pilkada dengan sistem Noken, sengaja dipolitisir dengan cara mengeneralisir , bahwa sistem Noken itu adalah budaya suku-suku di Papua. Tindakan politik menggeneralisir pandangan ini, sebagai tindakan pembohongan publik.

Sebab, sistem Noken bukan budaya semua suku di kawasan Pegunungan Tengah. Dan juga, tidak bisa digeneralisir, bahwa sistem Noken itu budaya orang asli Papua.

Menurut penelusuran penulis, bahwa generalisir pandangan politik ini dilakukan oleh kader-kader partai politik untuk kepentingan partainya dalam Pilkada dan juga pemilihan anggota legislatif.

Selain itu, Gubernur Papua, Lukas Enembe juga meminta ada kewenangan khusus terkait kebijakan moneter untuk mendukung anggaran daerah. Pendapatan asli daerah Papua sekitar Rp 300 miliar. Namun, Pemerintah Provinsi Papua mengusulkan ada kewenangan untuk mengelola dana otsus, royalti, dan lainnya.

Harapan untuk kewenangan lebih luas, diperlukan sebab Papua masih sangat Ć¢ā‚¬ĀtertinggalĆ¢ā‚¬Ā. Saat ini, Indeks Pembangunan Manusia di Papua rendah, sebaliknya angka kemiskinan paling tinggi. Karena itu, pemerintah daerah menjalankan tugas berat.

Untuk itu, supaya anggaran tepat mengenai sasaran, alokasi terbesar haruslah di kabupaten/kota yang lebih memahami masalah. Adapun alokasi di provinsi sekitar 20 persen. Ć¢ā‚¬ĀIni sudah mendapat dukungan dari Mendagri,Ć¢ā‚¬Ā ujar Lukas Enembe.

Menurut Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, bahwa revisi UU Otsus Papua, akan dibahas maraton. Pada Juni akan dipilah mana usulan yang akan masuk dalam RUU Otsus dan mana yang dituangkan dalam program. Pada Agustus, pembahasan ini diharapkan selesai.

Baca Juga:  Adakah Ruang Ekonomi Rakyat Dalam Keputusan Politik?

Walau begitu, Ketua Pengawasan Otsus Papua dan Aceh DPR Priyo Budi Santoso mempertanyakan langkah pemerintah menetapkan perluasan Otsus Papua atau yang disebut sebagai Otsus Plus Papua. Dia meminta pemerintah menghormati dan mengimplementasikan UU Otsus Papua yang sudah ada saat ini.

Menurut Priyo Budi Santoso, Belum jelas apa yang dimaksud Presiden dengan otsus plus ini. Seharusnya, semua mengacu pada UU Otsus Papua yang dengan susah payah telah undangkan. Itu yang harus dilaksanakan secara murni dan konsekuen.

Sementara itu, dalam Harian Kompas terbitan 13 Desember 2012 Ć¢ā‚¬ā€œ Ć¢ā‚¬Å“Otsus Papua Belum Sesuai Harapan,Ć¢ā‚¬Ā disebutkan bahwa Otonomi khusus (Otsus) di Tanah Papua sudah berlangsung 11 tahun. Namun, perkembangannya tidak sesuai harapan.Tingkat kemiskinan masih terbilang tinggi, padahal anggaran otsus yang digelontorkan mencapai puluhan triliun rupiah.

Direktur Jenderal Otonomi Daerah Djohermansyah Djohan dalam Seminar “Evaluasi Otsus Papua dan Papua Barat-Refleksi 11 Tahun Pelaksanaan UU 21/2001”, Rabu (12/12/2012), di Jakarta, menjelaskan, evaluasi pelaksanaan otsus di Papua menunjukkan masih ada masalah di aspek kebijakan dan pada implementasi kebijakan. Di aspek kebijakan, masih ada beberapa turunan aturan pelaksanaan yang belum dibuat.

Hal itu disebabkan kurangnya sinergitas pemerintah daerah, DPR Papua, dan Majelis Rakyat Papua. Salah satunya adalah Perdasus tentang pembagian dan pengelolaan penerimaan dana otsus. Pola dan mekanisme hubungan kerja antara pemerintah daerah, DPRP, dan MRP belum jelas.

Dari sisi implementasi, ada peningkatan pada angka partisipasi sekolah, angka melek huruf, dan rata-rata lama sekolah, penambahan infrastruktur kesehatan dan tenaga medis, serta penurunan persentase penduduk miskin. Pada 2011, persentase penduduk miskin di Papua 31,98 persen, sedangkan di Papua Barat 28,2 persen.

Namun, menurut Gubernur Papua Barat Abraham Atururi, meski ada penurunan persentase penduduk miskin, Papua Barat masih menempati urutan kedua provinsi termiskin. Jumlah pengangguran terbuka juga masih berkisr 5,5 persen, kendati sudah menurun ketimbang tahun 2009 sebesar 7,73 persen.

Di sisi lain, meskipun struktur ekonomi Papua Barat didominasi sektor industri pengolahan, terutama produksi LNG Tangguh, sampai saat ini manfaatnya belum dirasakan masyarakat dan pemda. Laju pertumbuhan ekonomi juga tidak berkorelasi positif pada kesejahteraan rakyat.

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Pemerintah juga menilai otsus belum optimal karena masih ada perbedaan persepsi pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota atas pelaksanaan otsus. Selain itu, kualitas dan kuantitas pelaksana otsus masih minim.

Peran MRP sebagai representasi kultural masyarakat Papua juga masih multitafsir.

Sementara itu, Deputi Bidang Koordinasi dan Sinkronisasi Perencanaan dan Pendanaan Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat (UP4B) M Ikhwanuddin Mawardi menyebutkan, kegagalan otsus juga disebabkan lemahnya pengendalian dan pengawasan pengelolaan dana otsus oleh pemerintah pusat, baik Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Keuangan, maupun Bappenas.

Padahal, sepanjang 2002 sampai 2012, Provinsi Papua menerima Rp 28,445 triliun dana otsus dan Rp 5,271 triliun dana infrastruktur. Adapun Provinsi Papua Barat yang terbentuk sejak 2008, sudah menerima Rp 5,409 triliun dana otsus dan Rp 2,962 triliun dana infrastruktur.

Untuk mengoptimalkan otsus di tanah Papua, menurut Djohermansyah, akan dibuat Peraturan Mendagri tentang pertimbangan pemberian dana otsus, sebagai pedoman pembuatan perdasus kabupaten/kota.

Selain itu, diperlukan pendampingan teknis berkelanjutan serta dukungan kerjasama dan koordinasi dengan kementerian/lembaga terkait untuk mempercepat pelaksanaan program prioritas seperti pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan infrastruktur.

Dalam seminar ini, diluncurkan pula buku Evaluasi Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat yang diterbitkan Kemendagri bersama Kemitraan. Evaluasi otsus semestinya dilakukan setiap tahun, dengan pertama kali dilakukan setelah tahun ketiga.

Kebijakan otonomi khusus bagi Papua adalah solusi yang bijaksana, tepat, dan bermartabat, tinggal bagaimana pelaksanaannya. Perlu pemikiran yang jernih dan rasional untuk mengurai permasalahan krusial, struktural, dan sistemik dalam pelaksanaan otonomi khusus tersebut. Pelaksanaannya membutuhkan inovasi politik, bukan kebijakan politik yang sudah usang tetapi terus dipaksakan.

Inovasi tersebut harus lahir dari komunikasi politik yang dilandasi sikap jujur, adil, terbuka, dan saling menghargai. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono setelah menerima tokoh-tokoh agama dari Papua tahun lalu ikut mendorong adanya dialog nasional antara Jakarta dan Papua untuk mencari solusi permanen. Inilah contoh inovasi politik yang terhormat dan bermartabat, tetapi formatnya harus lahir dari konsensus bersama antara pemerintah dan Orang Asli Papua. Dialog nasional ini dapat terlaksana sesegera mungkin dan menjadi salah satu tonggak sejarah di Tanah Papua.

(*) Penulis adalah Jurnalis Senior di Tanah Papua

Terkini

Populer Minggu Ini:

Pencaker Palang Kantor Gubernur Papua Barat Daya

0
"Namun sayangnya, sejak aksi dari pagi hingga pukul 13:00 siang, Pencaker tidak bisa bertemu dengan Pj Gubernur, sehingga kamiĀ  Pencaker bersepakat untuk memalang Kantor Gubernur secara adat," tegasnya.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.