BeritaSuara MahasiswaPerspektif Militer Indonesia soal KKB di tanah Papua?

Perspektif Militer Indonesia soal KKB di tanah Papua?

Pada dasarnya pemahaman manusia yang sempit membuat situasi tidak aman dan pola yang dibangun dalam aspek kehidupan bermasyarakat khususnya di bumi Papua semakin sulit. Kesulitan itu lahir karena ketidaktahuan manusia itu sendiri.

Oleh: Yosep Walilo*

Konteks situasi kongkrit yang diperlihatkan dalam penggalan kata-kata dari pihak keamanan sangat tidak benar. Ketidakbenaran itu muncul dikarenakan adanya pandangan yang salah terhadap situasi yang dianalisis.

Salah memahami situasi itu karena ketidaktahuan aparat keamanan terhadap kondisi lingkungan yang ada. Terkadang aparat keamanan hanya terkutat pada kemapanan dirinya dan tidak mampu keluar untuk melihat dari sudut pandang situasi yang ada. Kalau seperti demikian, apa yang menjadi keutamaan dan tanggung jawab dari keamanan tersebut?

Salah seorang mengatakan, keutamaan dari aparat keamanan adalah menjaga kondisi tetap aman dan menciptakan suasana tenteram. Tetapi bagaimana dengan kondisi realnya? dalam pelaksanaannya tidak sesuai dengan keutamaan mereka sebagai penjaga kondisi aman.

Aparat keamanan bukan menjaga, tetapi mencari masalah dan sering mempersulit diri, orang lain dan lingkungan sekitar. Mereka mesti mengatasi ketegangan-ketegangan yang terjadi dalam kehidupan sosial masyarakat demi menjamin sumber persoalan yang terjadi. Bukannya mencari masalah dan membuat pandangan buruk terhadap orang lain.

Baca Juga:  Mahasiswa Yahukimo di Yogyakarta Desak Aparat Hentikan Penangkapan Warga Sipil

Seperti yang dituliskan dalam Koran Cenderawasih Pos (Cepos) edisi Senin, 13 Oktober 2014, merupakan sebagian kecil kinerja dari aparat keamanan yang tidak sesuai dengan kinerjanya keamanan.

Peristiwa kontak senjata antara pihak keamanan gabungan TNI/Polri dan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) yang menjadi julukan dari aparat keamanan Indonesia terhadap orang Papua.

Kontak senjata terjadi tepat di wilayah Kepulauan Yapen bagian pantai utara pada Sabtu, (11/10/2014) pagi. Dalam peristiwa ini berbagai pihak dan khususnya aparat keamanan memandang peristiwa kontak senjata tersebut berdasarkan pandangan mereka.

Akhirnya mereka memberi model cap yang tidak rasional. Proses permasalahan yang dibuat tidak benar, karena aparat keamanan memakai pendekatan observasi-historis. Artinya bahwa mereka menggunakan pendekatan ini untuk membuat orang Papua tetap pihak yang salah. Juga tentu mereka memberi stigmatisasi yang tidak benar terhadap orang Papua.

Stigma terhadap orang Papua yang selalu dikeluarkan dari mulut aparat keamanan adalah Separatisme, KKB dan OPM. Stigma ini melegalkan dan melegitimasi pembunuhan dan penangkapan secara sewenang-wenang bagi pihak-pihak yang dicurigai adalah KKB, OPM dan Separatis.

Baca Juga:  IPMMO Jawa-Bali Desak Penembak Dua Siswa SD di Sugapa Diadili

Dengan adanya stigma itu, pikiran masyarakat Papua terus dipengaruhi, dikuasai, apalagi didukung dengan undang-undang anti KKB, OPM dan Separatisme. Sehingga jika aparat penegak hukum bertindak, menangkap dan membunuh orang-orang yang dicurigai tersebut, masyarakat dengan sendirinya dapat membenarkan tindakan itu.

Pikiran mereka telah dipengaruhi dan ditundukkan oleh stigma yang dilegitimasi oleh undang-undang. Pembunuhan dan penangkapan sewenang-wenang menjadi hal yang wajar. Persis disinilah secara tidak disadari timbul ketakutan orang Papua untuk melawan ketidakadilan yang ada, sebab mereka akan diberikan stigma KKB, OPM atau Separatis.

Pada posisi ini ketidakberdayaan menghantui mereka. Adanya tahap stigma-mistis penyimpangan pun terjadi. Stigma ini digunakan untuk mempengaruhi pikiran dan perbuatan orang lain. Pada tahap ini juga terjadi penyimpangan substansialisme.

Manusia dipandang sebagai manusia lain dari kelompok itu dan berdiri sendiri tanpa ada hubungan dengan yang lain. Manusia Papua yang dicap sebagai KKB, OPM dan Separatis, dipisahkan menjadi yang lain dan berbahaya bagi masyarakat sekitar. Sehinggga mereka itu harus dimusnahkan agar tidak membahayakan yang lainnya. Inilah situasi yang tidak benar dalam kinerja aparat keamanan Indonesia.

Baca Juga:  Pemkab Yahukimo dan PGGJ Diminta Perhatikan Keamanan Warga Sipil

Substansial yang diangkat di sini, bagi saya adalah soal dinamika penyelesaian masalah. Di mana cara yang dipakai cenderung dari dirinya sebagai orang Indonesia. Sebenarnya itu merupakan kecenderungan negatif yang sering dipandang keamanan Indonesia.

Kalau kita menggunakan kebiasaan yang ada pada kita, saya berpikir bahwa akar persoalan tidak akan pernah terselesaikan dengan baik karena pikiran yang selalu muncul dan tetap distigmakan tetap bersalah.

Proses ini yang berlaku di kalangan aparat keamanan yang mana semua itu dibuat demi kepentingan tertentu di bumi Papua. Sehingga pandangan yang salah terhadap orang Papua tetap dan terus ada dalam pergumulan orang Indonesia.

Saya secara pribadi berharap bahwa Indonesia harus mengerti dengan baik situasi dan kondisi yang terjadi di Tanah Papua.

 

*Yosep Walilo adalah wartawan di suarapapua.com

Terkini

Populer Minggu Ini:

Ribuan Data Pencaker Diserahkan, Pemprov PBD Pastikan Kuota OAP 80 Persen

0
“Jadi tidak semua Gubernur bisa menjawab semua itu, karena punya otonomi masing-masing. Kabupaten/Kota punya otonomi begitu juga dengan provinsi juga punya otonomi. Saya hanya bertanggung jawab untuk formasi yang ada di provinsi. Maka ini yang harus dibicarakan supaya apa yang disampaikan ini bisa menjadi perhatian kita untuk kita tindaklanjuti. Dan pastinya dalam Rakor Forkopimda kemarin kita juga sudah bicarakan dan sepakat tentang isu penerimaan ASN ini,” ujarnya.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.