BeritaPolhukamIbrahim Marian: "Kami Diancam Polisi untuk Mengaku Tahu Buat Bom Molotov"

Ibrahim Marian: “Kami Diancam Polisi untuk Mengaku Tahu Buat Bom Molotov”

WAMENA, SUARAPAPUA.com— Ibrahim Marian, salah satu terdakwa yang dituduhkan membuat bom Molotov guna mengagalkan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014, di Kampung Wara, Distrik Pisugi, Kabupaten Jayawijaya, Papua, mengaku, dirinya bersama empat orang rekannya tidak tahu menahu tentang pembuatan bom Molotov yang dituduhkan polisi.

“Kami disangka buat bahan peledak (Bom), padahal kami sendiri tidak buat, dan kami juga tidak tau cara buatnya bagaimana, jadi kami heran dengan tuduhan ini,” ungkap Marian, kepada suarapapua.com, di Wamena Rabu (19/2/2015) siang.

Menurut Marian, Pemilihan Umum (Pemilu) yang dilangsungkan pada 9 April 2014, di Kampung Wara, Distrik Pisugi, sudah berjalan dengan lancar dan aman.

“Kami tidak buat kacau pada waktu Pilpres, dan hari itu juga kami ikut memilih. Tapi pemilihan presiden sudah lewat dan kami ditangkap tanggal 11 Juli 2014, dengan alasan buat bahan peledak untuk gagalkan Pilpres yang sudah lewat. Ini yang tidak masuk akal sekali,” jelas Marian.

Baca Juga:  Dewan Pers Membentuk Tim Seleksi Komite Perpres Publisher Rights

Dijelaskan, jumlah keseluruhan yang ditangkap sebanyak 18 orang, dan ketika melakukan pemeriksaan, yang ditahan hingga sekarang hanya lima orang. (Baca: Sidang Kasus Pembuatan Bom Molotov Guna Gagalkan Pilpres Kembali Ditunda).

Dari lima orang, empat, termasuk dirinya sedang ditahan di Lembaga Permasyarakatan (LP) Wamena, sedangkan satu orang lainnya karena sakit sedang berada di kampungnya guna mendapatkan perawatan lebih lanjut.

Kepada suarapapua.com, Marian juga menceritakan kronologis penangkapan dirinya bersama rekan-rekannya, pada 11 Juli 2014. Saat itu salah satu teman mereka sedang sakit, sehingga mereka melakukan ibadah di sebuah Honai adat.

Baca Juga:  Desak Pelaku Diadili, PMKRI Sorong Minta Panglima TNI Copot Pangdam Cenderawasih

Usai berbidah, beberapa orang, termasuk dirinya memilih tidur di honai tersebut karena tidak ada senter untuk pulang, sedangkan beberapa lagi memilih pulang ke tempat tinggal mereka.

Saat semua sudah terlelap, pada jam 03.00 Wit atau pagi dini hari, datang puluhan aparat keamanan menggunakan persenjataan lengkap, dan membangunkan semua penghuni, dan menggeledah isi honai tersebut.

“Mereka datang dengan senjata lengkap, dan suru kami keluar dari Honai satu-satu. Mereka minta jangan bergerak, jika bergerak, kami akan ditembak mati ditempat,” cerita Marian.

Setelah itu, lanjut Marian, ia bersama rekan-rekannya digiring ke Kepolisian Resort (Polres) Jayawijaya untuk diinterogasi lebih lanjut.

Baca Juga:  KKB Minta Komisi Tinggi HAM Investigasi Kasus Penyiksaan OAP

“Kami di Kantor Polisi diancam dengan todongan senjata, harus berikan keterangan sesuai dengan apa yang mereka mau. Kami juga sama sekai tidak di dampingi pengacara.”

“Kami diminta harus bicara kalau tahu rakit Bom Molotov agar dimasukan di dalam BAP. Semua itu rekayasa dan manipulasi Polisi, padahal semua yang dituduhkan tidak benar,” kata Marian dengan mimik serius. .

Mereka menuduh kami dari KNPB, jadi melakukan tindakan itu, padahal kami masyarakat biasa, yang tidak mengenal dunia politik, kan bisa lihat tidak ada bukti-bukti dan saksi jadi sidang sudah ditunda sampai enam kali,” kata Marian lagi.

Editor: Oktovianus Pogau

ELISA SEKENYAP

Terkini

Populer Minggu Ini:

Kadis PUPR Sorsel Diduga Terlibat Politik Praktis, Obaja: Harus Dinonaktifkan

0
Kadis PUPR Sorsel Diduga Terlibat Politik Praktis, Obaja: Harus Dinonaktifkan SORONG, SUARAPAPUA.com --- Bupati Sorong Selatan, Papua Barat Daya, didesak untuk segera mencopot jabatan kepala dinas PUPR karena diduga telah melanggar kode etik ASN. Dengan menggunakan kemeja lengan pendek warna kuning dan tersemat lambang partai Golkar, Kadis PUPR Sorong Selatan (Sorsel) menghadiri acara silaturahmi Bacakada dan Bacawakada, mendengarkan arahan ketua umum Airlangga Hartarto dirangkaikan dengan buka puasa di kantor DPP Golkar. Obaja Saflesa, salah satu intelektual muda Sorong Selatan, mengatakan, kehadiran ASN aktif dalam acara silatuhrami itu dapat diduga terlibat politik praktis karena suasana politik menjelang pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang dilaksanakan secara serentak tanggal 27 November 2024 mulai memanas. “ASN harus netral. Kalau mau bertarung dalam Pilkada serentak tahun 2024 di kabupaten Sorong Selatan, sebaiknya segera mengajukan permohonan pengunduran diri supaya bupati menunjuk pelaksana tugas agar program di OPD tersebut berjalan baik,” ujar Obaja Saflesa kepada suarapapua.com di Sorong, Sabtu (20/4/2024).

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.