ArsipPerombakan Katedral Jayapura; Sebuah Ancaman Bagi Warisan Budaya Papua!

Perombakan Katedral Jayapura; Sebuah Ancaman Bagi Warisan Budaya Papua!

Selasa 2014-08-12 01:10:00

Oleh: Florry Koban*

 

Saya tinggal di Kota Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua, sejak kecil, dan selalu melihat bangunan-bangunan tua peninggalan Misionaris Belanda. Ia selalu menjadi inspirasi dan semangat baru bagi saya yang dapat melahirkan ide-ide seni musik dan dan seni lukis, dan bahkan hingga saat ini.  

 

Ketika melanjutkan pendidikan tinggi di Jayapura, saya tidak menyangka jika bisa kembali menemukan bangunan-bangunan tua peninggalan Misionaris Belanda di Jayapura, dan begitu juga di tempat-tempat lain di seluruh tanah Papua.

 

Ini menjadi alasan utama saya tidak akan pernah keluar dari tanah kelahiran saya, Papua, sekalipun keluarga saya telah pergi ke Flores, NTT. Saya selalu merasa bahagia dan semangat melihat hasil-hasil karya seni yang kuat, indah serta sederhana di Kota Jayapura, bahkan menjadi inspirasi bagi saya sebagai Manager Studio Dua Jayapura dalam menghasilkan karya-karya Arsitektur.

 

13 tahun lalu, sejak studi hingga berkarya, saya berniat untuk mengangkat kembali cerita sejarah Arsitektur gedung-gedung Gereja Katolik di Keuskupan Jayapura, semata-mata ingin menjaga warisan budaya untuk anak cucu yang akan mendiami Tanah Papua, yaitu dengan mengumpulkan cerita-cerita dari pelaku sejarah yang saat ini masih hidup: para tukang, buruh bangunan, pengukir dan pelukis.

 

Saya mencari peninggalan catatan-catatan harian dari Almarhum Br. Henk Blom, OFM – seorang Arsitek yang paling banyak meninggalkan Florry bersama Wim saat melakukan pengkajian Arsitektur karya besar gereja di Keuskupan Jayapura, hingga membuat tesis-tesis kecil bagaimana mencampur warna, melukis, mencampur semen untuk menyamai Arsitektur Gereja Katolik di Keuskupan Jayapura.

 

Pada tahun 2010, saya bersama seorang Arsitek berkebangsaan Belanda bernama Wim melakukan penelitian Arsitektur terhadap karya Almarhum Br. Henk Blom, OFM di Tanah Papua, khususnya Kota Jayapura.

 

Namun, akhir-akhir ini, semangat dan kebahagiaan saya menjadi terganggu mendengar rencana Katedral Jayapura akan dirombak total. Saya merasa kebahagiaan saya terancam untuk menikmati warisan mahal di Kota Jayapura ini.

 

Saya lebih merasa terganggu lagi, ketika mengingat-ingat enam pilar hasil Sinode Keuskupan Jayapura – 2006, yang pada salah satu pilarnya menekankan Kebudayaan Lokal Papua harus ditampilkan di dalam Gereja Katolik Keuskupan Jayapura.

 

Br. Henk Blom, OFM adalah tokoh yang berhasil mengangkat budaya simbol-simbol Papua ke dalam Arsitektur Gereja, yang salah satunya terancam punah di Katedral Jayapura. Bukan hanya Karya Arsitektur Beliau yang akan punah saja, tetapi jiwa seniman lokal Papua juga akan punah.

 

Dalam catatan harian Almarhum Br. Henk Blom, OFM, nama Bapak Donatus Moiwend selalu disebutkan karena karya-karya lukisannya yang luar biasa dan hingga saat ini masih kita nikmati di setiap gedung gereja Keuskupan Jayapura.

 

Sekitar tahun 2008, saya pernah bertemu Bapak Donatus Moiwend di Panti Asuhan Putri Kerahiman Sentani, tempat beliau berkarya saat ini. Teringat akan kata-kata beliau ketika itu, “Saya merasa jiwa saya dicambuki dan dirusak karena lukisan Tuhan Yesus Rambut Keriting yang saya lukis atas permintaan Bruder Blom di Katedral Jayapura yang menghadap Stadion Mandala ditutup menggunakan cat bangunan.”

 

Bapak Alloysius Navurbenan – saat ini sebagai Kabid Kebudayaan Dinas P dan P Provinsi Papua – adalah pengukir yang pernah dilibatkan Almarhum Br. Henk Blom, OFM dalam menampilkan ukiran-ukiran kayu motif Sentani pada Gedung-gedung gereja Katolik di Keuskupan Jayapura pun menyayangkan warisan Arsitektur Gereja Katolik Jayapura mengalami ancaman hilangnya nilai kelestarian di beberapa tempat.

 

Tahun 1998 – 2001, saya sempat menjadi murid kesayangan Bapak Alloysius Navurbenan, melukis di Taman Budaya Expo Waena dan lukisan-lukisan saya terjual habis pada pameran yang diadakan mantan Rektor Seminari Menengah St. Fransiskus Assisi Waena, Ptr. Darmin Mbula, OFM untuk mencari dana pembangunan gedung-gedung Seminari Menengah tahun 2001.

 

Tulisan ini sebagai pengantar keprihatinan saya terhadap rencana pembangunan Katedral Jayapura dengan melakukan perombakan total mulai dari tata letak hingga arsitekturnya.

 

Menjadi pertanyaan refleksi saya adalah:

 

Pertama, apakah Katedral Jayapura memang harus dibongkar total dengan alasan jumlah umat yang semakin bertambah?

 

Kedua, sejauh mana tanggung jawab pihak Gereja Katolik dalam menghilangkan simbol seni budaya yang telah ada di Katedral Jayapura saat ini terhadap anak cucu esok hari?

 

Ketiga, apakah pihak yang mendesain bentuk Katedral Baru yang akan dibangun turut diminta pertanggungjawabannya terhadap Transformasi Budaya Papua yang saat ini sudah ada di Katedral Jayapura?

 

Keempat, jika memang Katedral terpaksa harus dirombak total, apakah seniman-seniman Papua turut dilibatkan untuk mengungkapkan jiwa mereka terhadap sang Pencipta langit dan bumi, serta segala isinya di Tanah Papua?

 

Dan apakah kisah Bapak Donatus Moiwend seperti yang saya ceritakan diatas akan terulang di gedung-gedung Gereja Katolik Keuskupan Jayapura?

 

Berikut adalah saran saya, jika memang Katedral Jayapura terpaksa harus dirombak ulang, maka desain Arsitektur Gereja Katedral yang sekarang harus dirancang ulang oleh sang Arsitek atau dirombak total perancangannya:

 

Pertama, Gedung Katedral yang ada saat ini tidak perlu dibongkar, karena bangunan itu adalah warisan termahal untuk anak cucu kita di Tanah Papua esok hari.

 

Kedua, jika memang pihak Gereja Katolik merasa naluri posisi Altar Katedral saat ini tidak cocok dan perlu diputar menghadap laut, maka posisi altar saja yang dipindahkan, tapi tidak mengubah seluruh Arsitektur Gereja yang ada.

 

Ketiga, jika desain Arsitektur Gereja ingin dirubah, sebaiknya Gereja Katolik Keuskupan Jayapura membuka diri melibatkan seluruh Arsitek Lokal yang ada di Keuskupan Jayapura untuk membantu merumuskan atau membuat desain, karena Gedung Gereja Katedral juga bagian dari jiwa dan harga diri seniman-seniman lokal di Tanah Papua yang mengimani Injil Kristus di Tanah Papua, atau juga bisa dengan membuat sayembara gambar atau tender terbuka melibatkan semua pihak independen.

 

Kelima, dengan memperhatikan tiga poin diatas, saya yakin pembangunan Gedung Katedral bisa menghemat biaya, tidak harus memboros dana bagi kontraktor yang semata-mata mencari keuntungan terselubung di balik kata “gereja”, sebab gereja merupakan warisan untuk anak cucu di Tanah Papua.

 

Selain itu, umat yang selama ini turut menyumbang dana dari pelosok-pelosok kampung –padahal mungkin rumah mereka juga tidak sempat mereka perhatikan– ke Katedral Jayapura agar juga ikut merasa puas.

 

Tulisan ini bukan ingin menghambat pembangunan Katedral Jayapura, tetapi justru ingin mendukung pembangunan Katedral yang dampaknya terhadap anak cucu di Tanah Papua esok hari.

 

Saya yang menulis adalah anak lahir besar Papua (30 Tahun), yang saat ini bekerja sebagai seniman (musisi dan arsitek), tidak termasuk dalam pihak-pihak kontraktor yang berlindung dibalik tembok gereja, dan hanya menamatkan pendidikan di Papua dengan kemampuan berpikir terbatas dibandingkan dengan teman-teman sekarir yang tamat dari luar Papua.

 

Tulisan ini adalah bagian dari pendapat pribadi, tidak menutup kemungkinan berbeda atau sama dengan pendapat pihak lain. Terima kasih atas keterlibatan saudara-saudari yang turut membaca, memahami, bahkan turut memberikan pendapat dan komentar.

 

Akhir kata: “Syalom, foy moi, nayak halawok, nerop wa…wa…, yepmum telepe….”

 

*Florry Koban adalah umat Gereja Katolik; bekerja sebagai Arsitek dan Musisi

Terkini

Populer Minggu Ini:

Desak Pelaku Diadili, PMKRI Sorong Minta Panglima TNI Copot Pangdam Cenderawasih

0
“Beberapa waktu lalu terjadi kasus penangkapan, kekerasaan dan penyiksaan terhadap dua pelajar di kabupaten Yahukimo. Kemudian terjadi lagi hal sama yang dilakukan oleh oknum anggota TNI di kabupaten Puncak. Kekerasan dan penyiksaan terhadap OAP sangat tidak manusiawi. Orang Papua seolah-olah dijadikan seperti binatang di atas Tanah Papua,” ujarnya saat ditemui suarapapua.com di Sorong, Papua Barat Daya, Rabu (27/3/2024).

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.