EditorialKolom RedaksiPemusnahan OAP, Dari Pelanggaran HAM Hingga Program Transmigrasi (Bagian II/Habis)

Pemusnahan OAP, Dari Pelanggaran HAM Hingga Program Transmigrasi (Bagian II/Habis)

Fakta memperlihatkan bahwa OAP semakin kurang setiap bulan di Tanah Papua. Itu terjadi karena kurangnya angka kelahiran dan meningkatnya angka kematian di Tanah Papua. Sementara, angka kelahiran Non Papua semakin melaju dan angka kematian penduduk Non Papua sangat minim di Tanah Papua.

Oleh: Santon Tekege*

Kondisi mengerikan ini ditambah lagi dengan banyaknya migran yang terus berdatangan. Otomatis, seluruh kota besar hingga pelosok dikuasai kaum migran dari seberang Papua.

Dari kenyataan tersebut, jelas bahwa OAP sudah semakin berada dalam kepunahan. Bahkan, diperkirakan, OAP akan musnah pada tahun 2040 dari negerinya sendiri.

Orang Papua akan Musnah Pada Tahun 2040?

Perkiraan ini sebagaimana dipaparkan Dr. Jim Elmslie & Dr. Camellia Webb-Gannon, dari University of Sydney’s for Peace dan Conflict Studies in Australia.

Hasil publikasi dari Dr. Jim dan Dr. Camellia, memang sangat mencengangkan. Betapa tidak, keduanya memperlihatkan dengan jelas fakta yang dihadapi OAP hari ini.

Hasil publikasi tersebut mau menunjukkan realita perjalanan hidup OAP di tanah air sendiri setelah bergabung di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)? Juga, jumlah populasi OAP dulu, kini, dan esok, yang makin minoritas di atas negerinya sendiri.

Dr. Jim dan Dr. Carmellia mencatat, dua tahun setelah PEPERA 1969, jumlah OAP terdata 96 % atau 887.000 jiwa dari total 923.000. Pada Tahun 1971, penduduk Non Papua hanya 36.000 (4%). Tetapi, setelah 53 tahun Papua dalam NKRI yaitu tahun 1971, jumlah Non Papua sudah melonjak tajam mencapai 1.956 juta (53 %), sedangkan OAP menurun menjadi 1.7 juta (47 %).

Catatan berikut merupakan hasil analisis Ir. Yan Awikaitumaa Ukago, MT, terhadap hasil publikasi kedua doktor dari Australia.

Analisis Ukago dengan menggunakan matematis grafis segresi non linier (lihat gambar ilutrasi pada tulisan pertama).

“Perkembangan populasi orang asli Papua (garis merah) cenderung stagnan dalam satu dasawarsa dan menurun setelah tahun 2005. Artinya, dari tahun 1971 sampai 2004, jumlah Orang Asli Papua di Tanah Papua masih dominan (area merah). Setelah tahun itu, kondisinya justru terbalik, dimana penduduknya didominasi orang non Papua (area kuning),” beber Ukago.

Jika cermati gambar ilustrasi tersebut, tampak jelas bahwa garis berwarna merah adalah grafik pertumbuhan penduduk OAP, sedangkan warna kuning adalah gambaran pertumbuhan Non Papua.

Tampak bahwa jumlah jiwa Non Papua semula tahun 1971 sedikit. Tetapi, populasinya meningkat dan berhasil mengejar jumlah OAP di tahun 2004, dimana OAP 1.65 juta dan Non Papua 1.65 juta (50%-50%).

Dalam tiga dekade terakhir, atau tepatnya setelah tahun 2005, Ukago mencatat kencenderungan perkembangan penduduk OAP jatuh bebas, sedangkan penduduk Non Papua naik meningkat tajam, terlebih di era Otonomi Khusus (Otsus) di Tanah Papua.

Berdasarkan analisis segresi tersebut (garis putus-putus), jika tidak dicegah, diperkirakan pada tahun 2025, penduduk asli Papua menurun menjadi 1.5 juta jiwa (36%) dan penduduk Non Papua naik mencapai 2.7 juta jiwa (64%).

“Dan pada kondisi terburuk bilamana tidak ada proteksi, jumlah penduduk asli Papua akan musnah dari Tanah Papua tahun 2040. Artinya, di atas pulau Papua ini setelah tahun 2040, ada penduduk mencapai 6 juta, tetapi bukan orang asli Papua, pemilik negeri emas ini,” katanya.

Makin menurunnya jumlah OAP pun diakui oleh mantan Gubernur Provinsi Papua, Barnabas Suebu, SH, saat memberikan sambutan tertulisnya dalam acara pelantikan Bupati Merauke pada 8 Januari 2011.

“Orang asli Papua akan terus menurun jumlahnya sebagai akibat dari pertumbuhan penduduk yang tertinggi di tingkat Internasional (5.7%) setiap tahun, khususnya migrasi masuk. Oleh karena itu, pemekaran wilayah tidak boleh membuat orang asli Papua menjadi tersisih bahkan tercabut dari tanah leluhurnya sendiri,” ujar Suebu, kala itu.

Sementara itu, laporan hasil sensus penduduk dari Provinsi Papua Barat tahun 2010 melaporkan bahwa jumlah OAP di provinsi itu berjumlah 51,67% dari total 760.000 jumlah penduduk Papua Barat. Itu artinya bahwa jumlah penduduk asli Papua dan non Papua hampir fifty-fifty saja.

Tanda Sirait Kepala BPS Provinsi Papua Barat mengatakan, BPS memakai enam kriteria dalam mendata jumlah OAP.

Pertama, ayah dan ibu orang asli Papua. Kedua, ayah orang asli Papua ibu bukan.

Ketiga, ibu orang asli Papua ayah bukan. Keempat, orang nonetnis Papua yang secara adat diakui masyarakat Papua sebagai orang asli Papua.

Kelima, orang nonetnis Papua yang diangkat atau diakui secara marga dan keret. Keenam, orang yang berdomisili terus menerus di Papua selama lebih dari 35 tahun.

Fakta Slow Motion Genocide

Dalam buku karya Dr. Jim berjudul “West Papuan Demographic Transition and the 2010 Indonesian Census: “Slow Motion Genocide” or not?” yang diterbitkan oleh University of Sydney, Centre for Peace and Conflict Studies, tertulis dengan jelas bahwa jumlah total OAP hingga tahun 2010 mencapai 3,612,85641.

Dicatat dalam buku itu, jumlah OAP pada tahun 1971 sebanyak 887,000 dan tahun 2000 meningkat menjadi 1.505.405. Artinya, pertumbuhan penduduk pertahunnya 1,84%. Sementara itu, jumlah penduduk non Papua tahun 1971 sebanyak 36.000 dan tahun 2000 meningkat menjadi 708,425. Jadi, presentase pertumbuhan penduduk non Papua pertahunnya 10.82%.

Hingga pertengahan tahun 2010, jumlah OAP mencapai 1,730.336 atau 47.89%, sementara Non Papua mencapai 1,882,517 atau 52,10%. Di akhir tahun 2010, jumlahnya menjadi: a) Populasi OAP mencapai 1,760,557 atau 48.73%. b) Populasi Non Papua mencapai 1,852,297 atau 51.27%. Jadi, jumlah keseluruhan penduduk Papua hingga tahun 2010 sebanyak 3,612,854 atau 100%.

Doktor Jim memperkirakan, pada tahun 2020 jumlah penduduk Papua secara keseluruhan akan mencapai 7,287,463 dengan perbandingan: jumlah OAP 2,112,681 atau 28.99%, dan jumlah Non Papua 5,174,782 atau 71.01%.

Itu artinya, pertumbuhan jumlah OAP lambat, dibandingkan non Papua. Apa penyebabnya? Jim berpendapat, selain masalah sosial dan pelanggaran HAM, penyebab utamanya adalah migrasi penduduk dari luar Papua yang terlalu besar.

Meski ada pengakuan dan data penelitian diatas, Ir. J.A. Djarot Soetanto, MM yang kala itu menjabat sebagai Kepala BPS Provinsi Papua, membantahnya. Ia tegaskan, isu soal adanya pembasmian orang asli Papua secara terencana adalah tidak benar.

Djarot menjabarkan presentase perbandingan jumlah OAP dan Non Papua masih didominasi oleh OAP. Jumlah penduduk Papua hasil sensus 2010 menunjukan 2.833.381, dimana OAP sebanyak 76% dan pendatang 24%.

Menurut catatan Yan Ukago, jika OAP diperhadapkan pada pilihan, fakta mana yang mau diterima, maka pastilah mereka setuju dengan pernyataan Gubenur Papua, laporan BPS Provinsi Papua dan Papua Barat dan hasil analisis Doktor Jim Elmslie.

Ada beberapa alasan. Pertama, Orang Asli Papua sudah terlanjur tidak percaya dengan pemerintahan di Papua yang lebih condong bekerja untuk kepentingan Pemerintah Pusat.

Kedua, Fakta di lapangan bahwa kematian orang asli Papua dari bayi sampai dewasa semakin tinggi di Papua setiap harinya.

Ketiga, Hampir setiap minggu Orang Asli Papua melihat banyak orang non Papua yang datang ke Papua melalui kapal laut dan pesawat terbang.

Keempat, Sejarah integarasi Papua ke NKRI yang dinilai tidak adil oleh Orang Asli Papua.

Kelima, Perhatian kepada hak-hak hidup orang asli Papua diabaikan selama ini, sehingga orang asli Papua tidak pernah bebas sebagai manusia di tanahnya sendiri.

Jika dicermati selama ini, fakta adanya pembantaian terhadap rakyat Papua telah menjadi semacam sebuah agenda Indonesia yang mentradisi.

Pelaksanaannya menggunakan dua pendekatan, yaitu secara terang-terangan dijadikan sebagai daerah operasi militer (DOM) –meski status DOM dihapus pada akhir tahun 1998, juga penembakan, terkesan diseting sebagai daerah konflik serta kekerasan yang sengaja diadakan bahkan berbagai stigma bodoh, tukang mabuk miras (minuman keras), pemboros, dan sebagainya.

Pola kedua, secara terselubung (slow motions genocide) seperti melalui penculikan diam-diam dan melakukan penganiayaan dan pembunuhan, peracunan lewat makanan-minuman, mendatangkan WTS yang diduga kuat mengidap penyakit menular, penularan HIV/AIDS melalui praktek prostitusi, jarum suntik, tato, miras, dan lainnya.

Dampak dari itu semua, populasi OAP semakin menurun dari tanah airnya sendiri.

Penutup

Berbagai usulan dan aspirasi senantiasa datang dari Orang Asli Papua, misalnya melalui tawaran Dialog Jakarta-Papua dan referendum atau merdeka yang sering muncul di tengah publik.

Maka, mesti adanya upaya-upaya nyata dari pemerintah pusat dan daerah, meningkatkan kualitas hidup OAP.

Pemerintah sebaiknya undang pencacah jiwa dari lembaga internasional yang independen untuk mendata OAP di seluruh pelosok dan lakukan verifikasi data versi BPS dan KPU. Data akurat dari lembaga internasional untuk analisa tingkatan hidup orang Papua sekaligus NKRI counter data dari Doktor Jim Elmslie dari University Sidney. Hal ini sangat urgen karena data tersebut sangat mengganggu kedaulatan NKRI.

Jika dibiarkan, entah cepat atau lambat Tanah Papua akan lepas dari NKRI karena populasi Papua sudah masuk dalam kategori ‘slow motion genocide’. Itu terjadi melalui berbagai pendekatan adanya pembunuhan dan pelanggaran HAM, seperti kasus Paniai berdarah, Biak berdarah, Wamena berdarah, Timika berdarah, dan kejadian tragis serupa lainnya.

Rangkaian kasus pelanggaran HAM menggambarkan Papua sedang berada di ambang genocide (kepunahan). Itu artinya bahwa Ras Melanesia sedang tenggelam di Pangkuan Ibu Pertiwi.

Bila Papua sudah dalam sebutan ‘slow motion genocide’, sudah pasti dukungan untuk Papua lepas, tidak hanya datang dari MSG, Pasific Island Forum (PIF), tetapi juga lambat laun akan datang dari negara-negara ASEAN dan negara-negara lain.

Pemerintah Indonesia pasti memandang mereka mengintervensi bahkan mencampuri urusan dalam negeri hingga mau melepaskan Tanah Papua dari NKRI, tetapi sesungguhnya negara-negara tersebut hanya berupaya menyelamatkan kepunahan OAP dari atas pulau kaya raya ini.

*Penulis adalah Petugas Pastoral Keuskupan Timika, Papua.

Terkini

Populer Minggu Ini:

Presiden Jokowi Segera Perintahkan Panglima TNI Proses Prajurit Penyiksa Warga Sipil...

0
Direktur LBH Papua, dalam siaran persnya, Senin (25/3/2024), menyatakan, ditemukan fakta pelanggaran ketentuan bahwa tidak seorang pun boleh ditahan, dipaksa, dikucilkan, atau diasingkan secara sewenang-wenang. Hal itu diatur dalam pasal 34 Undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.