ArsipMenuju Bumi Cenderawasih Damai : Sebuah refleksi dan Renungan Suci

Menuju Bumi Cenderawasih Damai : Sebuah refleksi dan Renungan Suci

Rabu 2013-05-22 15:58:15

PADA 1 Mei 2013, tepat peringatan lima puluh tahun integrasi “Irian Barat” ke pangkuan NKRI. Peringatan ini dirayakan di tiga lokasi berbeda dalam nuansa yang berbeda pula. Di Bundaran HI, pesta 50 tahun digelar bertemakan “Soul of Papua 2013”, dan dirayakan dengan tari Yospan secara masal oleh 1.500-an penari warga Papua di Jakarta.

Bayangan Permasalahan Mendasar

Di tanah asalnya, Sorong, perayaan dimeriahkan dengan pawai Obor menuju pendaratan Trikora di Teminanbuan, yang dibuka oleh Menpora. Jika di Jakarta semua warga Papua merasa terlibat, seorang warga Sorong berujar : “Kami hanya  jadi penonton di daerah kami sendiri”. Ia menambahkan, “Ekonomi dikuasai orang lain”.

Memang, Sorong tak bisa mewakili kondisi Papua seluruhnya. Tapi apa yang terjadi disana juga terjadi di sejumlah daerah lain di Papua. Banyak warga asli Papua yang belum merasakan arti integrasi. Jangankan ikut merayakan, hidup sejahterah, meski berlimpa sumber daya alam. “Itu wujud kekecewaan orang Papua,” demikian kata Ketua Panitia Penyelenggaraan, yang juga Wakil Ketua DPR Papua Barat.  Demikian penggalan berita yang dimuat di harian detik.com, Edisi 13 Mei 2013.

 

Sementara menjelang peringatan itu,  pada 26 April 2013, di Oxford, jauh diseberang sana, telah dibuka kantor Free West Papua yang dihadiri oleh Walikota Oxford dan anggota Parlemen Inggris. Konon, rencana selanjutnya juga akan dibuka di Jerman. Hal ini menunjukan lemahnya diplomasi kita, padahal di kedua negara itu ada banyak diplomat senior, bahkan juga ada perwakilan dari BIN (Badan Intelijen Negara).

Dari ketiga peristiwa di lokasi yang berbeda itu, seakan menandai bayangan permasalahan mendasar di Papua, yang dalam proses resolusinya perlu mendengarkan aspirasi warga Papua diluar Papua, warga asli di Papua sendiri, dan warga Papua diluar negeri. Dalam hal ini, hendaknya pemerintah melakukannya secara kompherensif dan simultan, dengan menyelesaikan masalah politik, ekonomi, dan gerakan bersenjata di Papua, serta mengantisipasi opini politik dari public di luar negeri.

Bersamaan dengan itu, perlu diciptakan suasana damai yang harus diawali dengan membangun saling pengertian (mutual understanding) terlebih dulu sebagai basis untuk menciptakan rasa saling percaya (mutual trust) untuk selanjutnya agar tumbuh rasa saling menghormati (mutual respect) diantara para pihak yang terlibat konflik.

Kesemuanya itu yang harus berangkat dari sebuah dialog yang tulus, jujur  dan terbuka. Dalam konteks Dialog Jakrta-Papua, Pemerintah Pusat harus menunjukan itikad baik dengan membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), dan dibarengi pemberian kompesasi bagi korban atau keluarga korban yang meninggal. Pemberian kompesasi itu juga merupakan kearifan lokal masyarakat Papua, bahwa  orang yang melakukan pelanggaran harus membayar denda.

Trust Building

Lingkaran konflik dan kekerasan di tanah Papua harus secepatnya diputus. Pembentukan Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Barat (UP4B) saja tidak cukup. Harus ada solusi yang menyentuh akar permasalahan, dengan pelepasan tahanan politik dan pengurangan bertahab pasukan organik TNI dari bumi Cendrawasi. Karena, masalah utama adalah soal kepercayaan terhadap Jakarta melalui desekuritisasi menuju Papua Damai. Kalau rasa percaya (trust building) sudah tumbuh, baru bisa dilakukan dialog sejarah, dialog ekonomi atau dialog lain yang tumbuh pada kesejahteraan rakyat Papua.

Sebelum tumbuhnya kepercayaan itu, maka pemberian ekonami khusus (Otsus) tidak akan membawa dampak signifikan. Apalagi, kabarnya Otsus cuma menguntungkan elit Papua saja, tidak merata ke masyarakat luas. Otsus yang hanya bertumbu pada bidang keamanan dan ekonomi itu terbukti gagal mensejahterahkan rakyat Papua. Berbagai penembakan misterius yang marak akhir-akhir ini, dimana pelakunya pun belum tertangkap, adalah pertanda belum terjaminya keamanan di Papua. Padahal sejak tahun 2001-2011 dana otsu yang digulirkan sudah mencapai Rp. 28,3 triliun, seharusnya membuat orang Papua lebih sejahtera dan hidup aman.

Akar Permasalahan dan Alternatif Solusi

Ditenggarai permasalahan masalah itu, tentu ada akar permasalahan yang menjadi penyebabnya. Dalam menemukan akar permasalahan itu tentu kita tidak bisa dengan cara menduga-duga, tetapi harus dengan survei, penelitian dan kajian yang mendalam. Dalam hal ini Lembaga Pengetahuan Indonesia (LIPI) telah melakukan penelitian konflik di Papua sejak 2004-2008 dibawah riset kompetitif sub-program ‘Otonomi Daerah, Konflik, dan Daya Saing”.

Penelitian ditujukan pada proses trust building dan rekonsiliasi, dan melakukan studi banding di Amerika Latin, dan Afrika Selatan. Di akhir tahun 2008, penelitian Papua dibukukan dengna judul : PAPUA ROAD MAP : Negotiating the Past, improving the present securitying the future (disingkat PRM). Pendektan PRM ini memperhatikan pentingnya mengatasi persoalan kemanusian berdimensi non-fisik (intagibel) yang dijalankan di Papua sejak tahun 1962- sekarang.

Menurut pemetaan LIPI, terdapat empat isu utama yang menjadi akar permalasahan. Pertama, Marjinalisasi dan disrkiminasi terhadap orang asli Papua. Secara demografi, politik, ekonomi, maupun sosial budaya. Kedua, pelanggaran HAM dan kekerasan negara yang belum diselesaikan secara adil. Termasuk juga belum berhasil diputusnya siklus kekerasan di Papua yang dilakukan negara. Selain, juga terjadi kekerasan politik. Konstruksi nasionalisme Indonesia di definisikan secara militeristik bahwa keutuhan NKRI adalah harga mati, dan gagasan pemisahaan diri NKRI adalah melawan hukum. Gerakan protes rakyat Papua tehadapa kebijakan yang memarjinalkan dihadapi dengan pendekataan keamanan. Negara hadir di Papua dalam bentuk kekuataan-kekuataan militer.

Ketiga, sejarah dan status Politik Papua yang harus diperdebatkan di kalangan orang Papua, khususnya berkaitan dengan pelaksanaan jajak pendapat yang menghasilkan integrasi Papua ke NKRI. Ada perbedaan tajam dalam konstruksi nasionalisme Indonesia dan nasionalisme Papua. Kaum nasionalis Indonesia menganggap Papua adalah bagian dari masyarakat Indonesia, terlepas adanya perbedaan ras dan kebudayaan. Namun menurut nasionalis Papua, kepapuan didasarkan pada perbedaan ras, antara orang Indonesia Ras Melayu dengan orang  Papua Ras Melanesia. Nasionalismme Papua menurut Murdin S. Widjojo (2008) dibentuk oleh empat faktor utama :

    Kekecewaan sejarah pengintergrasian Papua dengan Indonesia
    Persaingan elit Papua dengan pejabat-pejebat Indonesia dalam pemerintahan sejak zaman Belanda
    Pembangunan ekonomi dan pemerintahan di Papua melanggengkan sense of different, dan
    Banyaknya pendatang dari luar yang menimbulkan perasaan dan kekhawatiran orang Papua termarginalkan.

Keempat, kegagalan pembangungan berkaitan dengan implementasi UU Otsus Papua, terutama bila dilihat dari keberhasilan/kegagalan di empat sektor prioritas : pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi rakyat, dan pembangunan infrastruktur. Pembangunan ekonomi dan migrasi di Papua yang dimaknai negara sebagai usaha peningkatan kesejahteraan, dipandang oleh rakyat Papua sebagai upaya eksploitasi sumberdaya alam, dan marginalisasi rakyat Papua. Meski dana Otsus amat besar, namun Papua tetap sebagai daerah termiskin di Indonesia (Provinsi Papua 38 persen, dan Provinsi Papua Barat 40 persen).

Warga Papua merasa Jakarta hanya memindahkan pembangunan ke Papua, bukan untuk rakyat Papua. Karena itu, selain memetakan masalah , Tim PRM juga menawarkan tiga alternatif solusi damai bermartabat di Papua. Pertama, rekognisasi dan pemberdayaan orang asli Papua. Kedua, paradigma baru pembangunan Papua. Pengadilan HAM dan Rekonsiliasi.

Bagaimana semua ini bisa dilakukan? Selain meneruskan program-program yang sudah/sedang berjalan, rekomendasi kebijakan paling penting adalah memungkinkan terjadinya dialog antara pihak-pihak yang berkonflik, baik di Papua maupun dengan Jakarta.

Lima Strategi Pemerintah

Sejak tahun 2004, Papua dicanangkan Pemerintah menjadi Tanah Damai (Papua, Land of Peace). Karenanya, pemerintah mengedepankan pendekatan damai, dialog dan bermartabat dalam mengelolah Papua. Lima strategi Pemerintah bagi Papua adalah, Pertama, menguatkan kedaulatan NKRI dengan tetap menghormati  keragaman dan kekhususan rakyat dan wilayah Papua. Kedua, menata dan mengoptimalisasikan pelaksanaan UU N0. 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua.

Ketiga, melakukan affirmative policies sebagi diskriminasi positif dan rekognisi atas hak-hak dasar rakyat Papua, sebagai akses ke perguruan tinggi bermutu, karir birokrasi dan TNI/Polri, maupun pengusaha asli Papua. Keempat, mendesaib strategi, kebijakan, dan program, termasuk pembiayaan guna percepatan pembangunan wilayah dan pemberdayaan rakyat Papua. Kelima, mengedepankan penghormatan atas  HAM dan mengurangi tingkat kekerasan baik yang dilakukan kelompok separtis Papua, maupun yang dilakukan oleh oknum aparat negara diluar batas kepatutan.

Prasyarat dialog

Dialog bukan solusi, melainkan media atau forum yang disediakan untuk memulai kebutuhan komunikasi politik antara Jakarta-Papua. Komunikasi yang lebih intensif dan regular menjadi penting dalam rangka mengatasi ketegangan, saling curiga, dan saling tidak percaya selama ini. Dialog damai bukan sesuatu yang instan, melainkan proses panjang yang harus dipersiapkan secara matang. Meskipun rumit, dialog sangat mungkin dialkukan dengan terlebih dulu menciptakan prasyarat dan kondisi-kondisi yang membuat para pihak semakin yakin untuk berdialog.

Pertama, adalah syarat-syarat dialog, meliput kesetaraan, keterbukaan, saling menghargai. Kedua, menyelesaikan akar persoalan kekerasan mencakup pembebasan tahanan politik, dan narapidana politik (Tapol/Napol), penanganan masalah tanah (politik pertahanan), penataan aparat keamanan dan intelijen, serta penyelesaiaan pelanggaran HAM secara adil dan bermartabat. Ketiga, dialog nasional harus berdasarkan keputusan politik pemerintah pusat, sebab tanpa keputusan politik yang resmi hampir pasti tidak akan mungkin ada dialog damai. Tujuaan utama dialog adalah untuk mengatasi masalah-masalah non-fisik yang cenderung diabaikan, seperti, persoalan merekognisi terkait dengan pengalaman kekerasan penderitaan orang Papua (memoria passionis), ketidakamanan dan ketidaknyamanan karena pendekataan represif dan stigma separtis selain terbatasnya kebebasan politik sipil.

Dialog bukan beratI Papua merdeka, bukan juga NKRI, Otsus, atau percepatan pembangunan Papua. Esensi dialog adalah media, cara berkomunikasi bagi para pihak untuk memulai membuka diri, memandang pihak lain secara setara dan bermartabat, serta keiginan baik untuk duduk bersama membicarakan isu-isu yang menjadi sumber perpecahan, ketegangan,konflik, dan asal-muasal kekerasan di Papua.

Konflik yang terjadi di Papua saat ini, bukanlah konflik horizontal, melainkan konflik vertical antara pemerintah dan masyarakat. Kekerasan yang  muncul adalah bagian dari yang tidak terselesaikannya konflik kedua kubu, usul dialog itu terinspirasi dari kearifakan lokal Papua, bahwa mereka punya budaya penyelesaiaan masalah dengan dialog. Orang persisi menyebutnya dengan para-para, ajang untuk menceritakan apapun yang menjadi kegelisahaan.

Catatan Akhir  : Moderai Pembukaan Jalan Damai

Selama 50 tahun integrasi, Indonesia belum mampu mengindonesiakan Papua, karena belum ada chemistry antara Indonesia dan Papua, dan belum ada point-point yang melekatkan sebagai sebuah bangsa yang kuat. Bangsa adalah sebuah konsesi cultural, yang lahir karena persamaan-persamaan, di antaranya persamaan nasib, ras, dan kebudayaan. Sampai saat ini persamaan nasib belum dirasakan oleh masyarakat Papua dari kemiskinan, kebodohan, kesehatan yang buruk, ketidakadilan, dan kekerasan (K5) masih menjajah Papua, dan menjadi alasan belum mengindonesianya Papua.

Sampai hari ini kontraversi ibarat seperti api dalam sekam, apakah jajak pendapat itu betul-betul sebuah act of free choice (bertindak atas pilihan bebas), atau sebenarnya sebuah “act free of choice”. Rakyat Papua berkesan semakin kehilangan harapan akan suatu masa depan secara manusiawi dan terhormat dalam pengakuan NKRI.

Tidak mengherankan bahwa dalam situasi ini berbagai pihak justru mengambil sikap yang keras tanpa kompromi dengan kesediaan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang sangat kompleks itu dengan kekerasan. Padahal, kekerasan bukan jalan keluar, kalau suatu bagian rakyat hanya dapat dipertahankan di dalam kesatuan negara dengan cara kekerasan dan penindasan, maka, negara itu sebenarnya kehilangan mereka.

Ketika situasi di Papua sekarang mendekati keadaan seperti itu, kehadiran Romo Neles Tebay sebagai embun menyejukan. Tahun 1992, ketika ditahbiskan menjadi imam dalam gereja Katholik Roma, ia diberi nama adat “Kebadabi” yang dalam bahasa Mee (orang yang membuka pintu atau jalan), Neles Tebay sebagai pembuka pintu dan pembuka jalan, untuk menunjukan bahwa Papua yang damai, maju, dan gembira, itupun dalam kesatuaan dengan Indonesia masih mungkin.  Sejak 13 tahun lalu, Neles Tebay secara konsisten menyuarakan moderasi, sikap tahu diri, dan sekaligus secara konsisten menuntut agar rakyat Papua memperohleh haknya.

Secara reflektif dalam memandang permasalahan Papua kita hendaknya menelurusi kembali sejarah pembentukannya dengan kesadaran bahwa sejarah adalah penceritaan mengenai peristiwa dan bukan peristiwa itu sendiri. Peristiwa sejarah selalu merupakan rententan yang kait mengait antara prolog, analog, epilok, serta permasalahan yang menyertainnya. Pandangan reflektif kesejarahaan yang dialami dengan renungan suci diharapkan dapat menemukan petunjuk jalan damai.

Refleksi dan renungan suci itu menemukan sosoknya pada diri Neles Tebay, karena suara neles tebay adalah suara perdamaiaan, dia menolak kekerasan (entah apapun motivasi dan tujuannya). Tujuan Neles Tebay tiada lain, memajukan dialog Jakarta- Papua, selama ini Jakarta dan aparatnya mencurigai kata ‘Dialog” hanya karena menjadi kata kunci Kongres Papua II Tahun 2000. Baru, setelah presiden memberikan komitmen terhadap dialog, kata dialog berbalik menjadi mantra sakti.

Political Will sudah ada, yang ditunggu tinggal tunggu political action presiden. Semoga gayung bersambut, dimana Romo Neles Tebay “semoga Neles Tebay-Neles Tebay” lain muncul ke permukaan, siap memoderasi pembukaan jalan “menuju bumi cenderawasih damai” yang berkelanjutan.

*Penulis adalah Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan  Gebernur Yogjakarta. Makalah ini disampaikan dalam Seminar “50 Tahun Papua Dalam Indonesia” di Kampus Universitas Indonesia, pada 15 Mei 2013.

Terkini

Populer Minggu Ini:

Freeport Indonesia Bangun Jembatan Hubungkan Kampung Banti 2 dan Banti 1

0
Ini menjadi bukti tanda peduli PTFI terhadap masyarakat yang ada di sekitar wilayah operasi, terutama masyarakat 7 Suku,” ucap Pdt. Kristian.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.