ArsipSINKRONISASI PINCANG; PROVINSI PAPUA BARAT TIDAK DILIBATKAN?

SINKRONISASI PINCANG; PROVINSI PAPUA BARAT TIDAK DILIBATKAN?

Selasa 2014-04-15 16:20:00

Oleh: Oktovianus Pogau*

Pada awal November 2013, Gubernur Papua secara resmi mengundang Gubernur Papua Barat untuk membicarakan draf RUU Pemerintahan Papua yang telah disusun oleh tim asistensi dari Papua. Tujuannya adalah agar Gubernur Papua Barat melihat langsung draf RUU Otsus Plus di Jayapura, dan dapat memberikan persetujuan terhadap draf tersebut, untuk selanjutnya disampaikan kepada Presiden SBY di Jakarta.

Tidak serta merta menyetujui draf tersebut, Ataruri minta waktu agar dapat mempelajari isi draf tersebut, dan mendiskusikannya dengan stakeholder di Papua Barat. Sesampainya di Manokwari, ia membentuk tim asistensi baru, dan menunjuk Sekertaris Daerah Papua Barat, Isak Halatu sebagai ketua tim asistensi.

Agus Sumule, Staf Ahli Mantan Gubernur Papua Barnabas Suebu ditunjuk sebagai kordinator tim kerja, dengan melibatkan Yan Christian Warinussy Direktur Lembaga Penelitian, Pengembangan, dan Pengkajian Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, beberapa staf di LP3BH, serta beberapa anggota MRP Papua Barat.

Tim asistensi dari Papua Barat diberikan waktu seminggu oleh tim asistensi dari Papua. Pada 16 November 2013, tim asisten dari Papua Barat menyerahkan hasilnya kepada pemerintah provinsi Papua.

Hasilnya, harus diakui, bahwa draf RUU Pemerintahan Papua versi Papua Barat jauh lebih berkualitas, dan lebih baik dari pada yang dihasilkan tim dari Papua.

Papua Barat Usulkan Perubahan Nama

Penulis memang membaca draf yang diusulkan tim asistensi dari Papua Barat dengan rinci. Contoh, pada pasal 157 ayat (1) draf dari Papua Barat berbunyi, “Kebijakan transmigrasi di Tanah Papua dilaksanakan setelah orang asli Papua mencapai jumlah dua puluh juta jiwa.”

Kemudian, pada pasal 159 ayat (1) berbunyi, “Dalam rangka menyelesaikan kasus pelangggaran hak asasi manusia yang terjadi di tanah Papua  sebelum Undang-undang ini diundangkan, dan dalam rangka pemantapan persatuan dan kesatuan bangsa di Tanah Papua, Pemerintah membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk tanah Papua” dan ayat selanjutnya mengatakan, pemerintah diwajibkan membentuknya paling lambat dua tahun sejak undang-undang ini diundangkan.

Ini jauh berbeda dengan usulan versi Papua, yang tak banyak mengakomodir bagaimana proteksi terhadap OAP dan penghormatan terhadap HAM.  Pujian terhadap draf dari Papua Barat disampaikan juga oleh Sidney Jones, Direktur Istitute for Policy Analysis of Conflic (IPAC), dalam report tahunan IPAC yang diterbitkan pada 25 November 2013, di Jakarta.

“Hasilnya kelihatan dikerjakan secara terburu-buru, namun dalam hal pengaturan pertanian, kesehatan, pendidikan, kredit dan koperasi, pertambangan, kependudukan, hak asasi manusia dan banyak lagi, menunjukkan bahwa draf tersebut jauh lebih baik dari versi awalnya,” ujar Jones.

Jones mencontohkan, pada bagian pendidikan di draf Jayapura terdiri dari satu pasal dengan beberapa pengaturan umum mengenai hak masyarakat Papua untuk mendapatkan pendidikan berkualitas, sedangkan draf Papua Barat menetapkan sebuah target untuk mengakhiri buta huruf dalam waktu lima tahun sejak UU diterapkan, menggratiskan pendidikan dan menerapkan wajib belajar hingga sekolah menengah pertama, hingga memberi perhatian khusus mengenai cara menanggulangi kekurangan guru yang memenuhi syarat, terutama untuk daerah terpencil.

Dan yang paling  baik dari draf versi Papua Barat adalah dilakukan pergantian nama “RUU Pemerintahan Papua” menjadi “RUU Pemerintahan Otsus di tanah Papua”, yang kini dipakai sebagai draf final, atau draf akhir dari perjalanan panjang tersebut.

Artinya, Papua Barat memberikan andil besar dalam pergantian nama, yang juga menjelaskan bahwa UU tersebut tidak hanya untuk Provinsi Papua, namun juga untuk Papua Barat, dan jika sewaktu-waktu ada provinsi baru yang dilahirkan, tentu bisa segera diakomodir.

Kepala Biro Pemerintahan Setda Provinsi Papua, Sendius Wonda membenarkan adanya pergantian nama setelah tim asistensi dari Papua membaca draf yang diusulkan Papua Barat.

“Jadi memang soal nama itu menjadi pembahasan sendiri. Kalau Rancangan UU Otsus Papua itu secara psikologis hanya berlaku bagi Papua sehingga tim dalam pembahasan merumuskan dengan nama ‘Rancangan UU Pemerintahan Otsus di Tanah Papua’. Itu sudah mewakili seluruh Tanah Papua, baik Papua Barat maupun akan lahir daerah Provinsi baru sehingga dalam pemberlakuan provinsi baru kedepan maka mereka akan langsung menyesuaikan dengan UU itu,” kata Wonda kepada wartawan di Jayapura.

Sejak Awal Gubernur PB Tidak Dilibatkan?

Gubernur Papua Barat Abraham Octovianus Ataruri, dan tim asistensi merasa memang tidak dilibatkan sejak awal, padahal RUU Pemerintahan Otsus di tanah Papua juga membicarakan nasib dan masa depan 780.000 penduduk yang berada di 1 Kota, dan 12 Kabupaten di Provinsi Papua Barat.

Hal ini, bisa terlihat jelas, sebab usai draf versi Papua Barat diterima tim asistensi Papua, tak jelas kelanjutan ceritanya hingga dua bulan lamanya – saat dilangsungkan sidang paripurna pada 20 Januari 2014.

Agus Sumule,  selaku kordinator tim kerja asistensi dari Papua Barat menyatakan tak pernah ada kabar dari tim asistensi Papua; minimal dikabarkan waktu dan tempat untuk sama-sama mensinkronkan kedua draf sebelum disidangkan oleh DPRP di Jayapura, Papua.

Sinkroniasi kenapa cukup penting dan mendesak, sebab draf final yang dihasilkan tim asistensi dari Papua, maupun draf final yang dihasilkan tim asistensi dari Papua Barat jauh berbeda. Mulai berbeda dalam hal isi, penjelasan, termasuk makna-makna yang terkandung dalam tiap-tiap pasal.

Misalnya, dari jumlah BAB dan pasal saja jauh berbeda; draf versi Papua hanya memuat XLVII BAB, dan 145 pasal; sedangkan draf versi Papua Barat jauh lebih banyak, yakni memuat XXXXIV BAB, dan 205 Pasal; artinya, draf versi Papua Barat jauh lebih rinci disertai penjelasan yang cukup detil yang harus dibicarakan bersama-sama.

Setelah rinci membaca kedua draf tersebut, saya sendiri bisa simpulkan draf versi Papua lebih banyak membahas tentang kewenangan dan kekuasaan Gubernur atau eksekutif; dalam arti, orientasinya lebih kepada kewenangan dan kekuasaan eksekutif; sedangkan draf versi Papua Barat lebih banyak membahas bentuk-bentuk proteksi terhadap keberlanjutan hidup orang asli Papua, juga bentuk-bentuk penghormatan dan perlindangan terhadap HAM.

Contoh, dalam draf versi Papua lebih banyak membahas kewenangan Gubernur dibidang kehutanan (pasal 54), perdagangan dan investasi (pasal 73), pertambangan dan energi (pasal 75), pengelolaan sumber daya alam (pasal 84), termasuk perekonomiaan (pasal 50), yang semuanya harus mendapat ijin tertulis dari Gubernur sebagai kepala pemerintahan.

Sedangkan, dalam bidang-bidang ini, versi tim asistensi Papua Barat tak banyak merubahnya, artinya menganggapnya sebagai hal yang bukan urgent dalam rekonstruksi, dan membiarkan seperti yang termaktub dalam UU yang lama, yakni, UU No. 21/2001.

Sidang Paripurna Yang Cacat

Tanpa diduga-duga, pada 20 Januari 2014, berlangsung sidang paripurna di DPRP; salah satu agendanya adalah membahas “RUU Pemerintahan Otsus di Tanah Papua” yang diusulkan pemerintah Papua. Tampak hadir juga Asisten I Pemprov Papua Barat Drs Haji Musa Kamudi, mewakil Papua Barat.

Beberapa anggota DPRP menolak pembahasan RUU Otsusplus dalam siding. “Pembahasan dan pengesahan RUU PP sangat tidak tepat karena disatukan dengan sidang paripurna APBD, kami belum melakukan pemeriksaan rinci pasal demi pasal, harusnya pembahasan draft RUU PP dipisahkan dari sidang paripurna khusus atau paripurna istimewa,” kata Yan Mendenas kepada media ini.

Di Manokwari, terjadi perdebatan cukup serius. Sebabnya, belum pernah ada agenda “duduk bersama”  sinkronisasi draf versi Papua dan Papua Barat oleh kedua tim asistensi.  Pemprov Papua Barat juga belum pernah mengabarkan kelanjutan draf tersebut kepada tim asistensi yang terdiri pribadi-pribadi yang bergabung dan bekerja secara profesional.

Salah satu sumber yang cukup dekat dengan Gubernur Papua Barat mengatakan, asisten I Pemprov Papua Barat yang dikirim ke Jayapura bukan untuk menandatangani nota kesepahaman, apalagi menyetujui draf RUU Pemerintahan Otsus di tanah Papua.

Dikatakan, ia hanya dikirim untuk mendengarkan dan melihat berlangsungnya sidang paripurna, dan untuk selanjutnya dilaporkan kepada Gubernur Papua Barat di Manokwari agar dapat mengambil sikap. “Jika agendanya adalah menandatangani nota kesepahaman terkait RUU Pemerintah Otsus di tanah Papua, Gubernur Papua Barat tak sepakat dan menolaknya dengan tegas,” kata sumber ini.

Alasan penolakan, pertama, karena belum pernah dilakukan sinkronisasi draf versi Papua maupun Papua  Barat oleh dua tim asistensi yang selama ini bekerja; kedua, merasa sejak awal tidak dilibatkan oleh Gubernur Papua dalam membicarakan sebuah UU yang akan menentukan nasib dan masa depan penduduk Papua Barat; dan ketiga, pembobotan yang dilakukan tim asistensi dari Papua Barat tak diakomodir dalam draf keduabelas yang sedang disidangkan.

“Bapak Sekertaris Daerah sempat marah ke Asisten I yang ikut menandatangani Nota Kesepahaman terkait Otsus Plus di Jayapuara. Karena memang dari awal tidak ada perintah dari bapak Gubernur untuk menandatangani, apalagi menyetujui draf tersebut karena belum lihat hasilnya,” kata sumber ini,  kepada media ini Kamis, (20/2) kemarin.

Yan Christian Warinussy, salah satu tim asistensi dari Papua Barat mengatakan, usai dilangsungkan sidang paripurna di Jayapura, Gubernur Papua Barat secara resmi telah mengirimkan surat tertulis perihal penolakan nota kesepahaman draf Otsus plus kepada Gubernur Papua di Jayapura.

“Sekda Papua Barat juga telah mengumumkan sikap ini kepada media massa di Papua Barat. Surat penolakan di tandatangani langsung oleh Gubernur dan Sekda Papua Barat. Kami juga telah diberitahukan langsung perihal surat penolakan ini saat bersama-sama dengan Sekda di Jakarta pada 12 Februari 2014,” ujar Warinussy.

Warinussy mengatakan, wajar Gubernur Papua Barat bersikap demkian, sebab hingga awal tahun 2014,  belum pernah dilakukan kordinasi antara Gubernur dengan kepala-kepala daerah di Papua Barat terkait rekonstruksi Otsus yang sedang berjalan, karena memang tak ada informasi yang jelas dari pihak Papua.

“Belum pernah ada agenda Gubernur yang mengundang Bupati dan Walikota di Papua Barat untuk membahas rekonstruksi UU No. 21/2001, padahal sosialisasi kepada mereka paling penting dan urgen,  karena toh jika benar-benar disetujui, maka tentu akan diterapkan juga di Kabupaten/Kota tempat mereka memimpin,” ujar Warinussy.

Jika dicermati secara objektif, dalam hal ini yang dirugikan tentu Gubernur Papua Barat, beserta para “anak buahnya”? Jadi, wajar saja sikap dan respon pihak Papua Barat demikian – tak begitu bersimpati terhadap rencana Presiden SBY dan Gubernur Papua.

Menghadap “Big Bos” di Jakarta

Tak peduli dengan surat penolakan dari Pemerintah Provinsi Papua Barat, Gubernur Papua dan tim asistensi dari Papua terus tancap gas. Yakni, menghadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Jakarta untuk segera menyetujui draf “rekonstruksi” UU No. 21/2001 yang telah diberi nama “RUU Pemerintahan Otonomi Khusus di tanah Papua”.

Pada tanggal 9 Januari 2014, pertemuaan dengan sang “big bos” dilangsungkan di Istana Cikeas, Bogor. SBY didampingi oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri), dan Menteri Kordinator Politik Hukum dan HAM (Menkopolhukam) juga beberapa menteri di Kabinet Indonesia Bersatu Jili II.

Rombongan dari Papua adalah Gubernur dan Sekertaris Daerah Provinsi Papua, tim asistensi dari Papua, Ketua DPR Papua, Ketua MRP Papua, dan para Bupati/Walikota se-tanah Papua. Sedangkan rombongan dari Papua Barat hanya Gubernur dan Sekertaris Daerah, yang didampingi beberapa anggota MRP Papua Barat yang telah membelot ke pihak Papua.

Dikatakan oleh sebuah sumber yang hadir dalam pertemuaan tersebut, Presiden SBY tak menyatakan setuju atau menolak draf yang diusulkan tim dari Papua dan Papua Barat. Yang disampaikan hanya pentingnya memberikan kewenangan yang lebih luas kepada Papua dan Papua Barat seperti yang diamanatkan dalam UU No. 21/2001.

Dan yang membuat Presiden SBY, maupun Mendagri kaget adalah, tak ada tanda tangan persetujuan yang diberikan Gubernur dan Sekertaris Daerah Papua Barat dalam “RUU Pemerintahan Otsus di tanah Papua” yang diserahkan kepada Presiden SBY saat di Istana Cikeas.

Agus Sumule, salah satu tim asistensi dari Papua Barat juga membenarkan jika tak ada tanda tangan Gubernur Papua Barat dalam draf ketigabelas yang diserahkan kepada Presiden SBY. Alasannya, karena surat tertulis yang pernah dikirimkan Gubernur Papua Barat kepada Gubernur Papua di Jayapura  sebelum menghadap presiden SBY di Jakarta tidak dibalas pihak Papua.

Melihat sikap Gubernur Papua Barat, sempat membuat Gubernur Papua emoh. Informasi soal “pertentangan” diantara kedua Gubernur, juga diantara kedua tim asistensi ditutup rapat-rapat oleh pihak-pihak yang mengetahui informasi ini secara detail.

Selain menjaga citra “Otsus Plus-plus” yang di paksakan ke Jakarta tanpa partisipasi publik, juga akan menghambat perjalanannya jika dipublikasikan kepada kalangan umum.

Wajar, dan bisa dimaklumi Gubernur Papua Barat bersikap demikian. Lihat saja, saat dilangsungkan pertemuaan di Istana Cikeas, Bogor, tak ada Bupati/Walikota asal Papua Barat yang hadiri. Bukan tak mau menghadirinya – siapa yang tak senang bertemu dengan orang nomor satu di Indonesia – tapi tak pernah dikabarkan kepada mereka.

Perang Bintang; Demokrat dan Gerindra

Pertanyaan paling penting yang harus dijawab oleh Gubernur Papua Lukas Enembe adalah kenapa tidak sejak awal melibatkan Gubernur Papua Barat Bram Octovianus Ataruri usai dilangsungkannya pertemuaan dengan Presiden SBY di Jakarta, pada 29 April 2013?

Hal ini penting, karena tentu akan mempengaruhi kinerja kedua tim asistensi di kemudian hari – seperti yang terjadi saat ini, walaupun sudah disepakati pada draf keempatbelas, namun ada beberapa hal yang tidak saling bersepakat dan tetap dibiarkan – juga agar Gubernur Papua Barat dapat mengkordinasikan dengan Bupati/Walikota se-Papua Barat yang ada.

Bukan informasi rahasia, jika Gubernur Papua adalah Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Partai Demokrati Provinsi Papua, sedangkan Gubernur Papua Barat adalah Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Partai Gerindra Provinsi Papua Barat.

Apa kaitannya, di Papua, banyak anggota DPRP dari Partai Gerindra yang sering mengkritisi, juga memprotes kinerja Gubernur Papua, termasuk kebijakan sepihak dari pemerintah provinsi untuk melahirkan RUU Otsus Plus. Yannis, Ketua DPD Partai Gerindra Provinsi Papua paling lantang “menolak” konsep RUU Otsus Plus.

Selain alasan sering mendapat “ancaman” dari Partai Gerindra, juga bisa jadi karena gengsi partai. Bila anda lihat hasil poling Lembaga-Lembaga Survey di Jakarta, Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto selalu berada di urutan kedua setelah Jokowi, sedangkan Partai Demokrat sendiri di kenal sebagai partai paling korup.

Analisa saya, di Papua Gubernur Enembe, maupun Presiden SBY melalui Partai Demokrat ingin berbuat sesuatu yang lebih baik, yakni melahirkan “RUU Otsus Plus”, agar mendapat tempat dan hati di kalangan rakyat Papua. Saya kira ini sesuatu yang tak elegan ditengah berbagai penolakan terhadap Otsus Plus itu sendiri.

Dominasi partai demokrat memang semakin terlihat saat Gubernur Papua dilantik. Dalam penyusunan RUU Otsus Plus, Wakil Gubernur Papua Klemen Tinal yang merupakan Ketua DPD Parta Golkar Provinsi Papua juga tak banyak dilibatkan.

Bahkan, tim asistensi dari Papua yang disebut dengan tim 40 hampir sebagian besar berasal dari Partai Demokrat, juga anggota DPRP yang terlibat dalam pembentukan RUU Otsus Plus, semuanya berasal dari Partai Demokrat.

Pertanyaannya, bagaimana mau menjadi “penyelamat” ditengah hujan kritik? Sesuatu yang mustahil bukan? Yang harus diingat adalah, suatu kebijakan yang dihasikan tanpa partisipasi publik, akan terus menerus ditentang oleh rakyat Papua, sampai kapanpun!

Usai diterima Presiden SBY, bagaimana kelanjutannya? Termasuk pertentangan “hebat” yang berlangsung di Kantor Kementeriaan Dalam Negeri (Kemendagri) antara tim dari Papua dan Papua Barat? Juga bagaimana hingga menjadi draf keempatbelas, yakni, draf paling terakhir saat ini yang telah ditandatangani oleh kedua Gubernur di tanah Papua? Nantikan tulisan selanjutnya. (Bersambung)

*Oktovianus Pogau adalah wartawan, mengasuh situs berita dan informasi Suara Papua (http://www.suarapapua.com); tinggal di Jayapura.     

Terkini

Populer Minggu Ini:

Dukcapil Intan Jaya akan Lanjutkan Perekaman Data Penduduk di Tiga Distrik

0
“Untuk distrik Tomosiga, perekaman akan dipusatkan di Kampung Bigasiga. Sedangkan untuk Ugimba akan dilakukan di Ugimba jika memungkinkan. Lalu distrik Homeyo perekaman data penduduk akan dilakukan di Kampung Jombandoga dan Kampung Maya,” kata Nambagani.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.