ArsipSejumlah Tokoh di Jayawijaya Tolak Rencana Bangun Mako Brimob

Sejumlah Tokoh di Jayawijaya Tolak Rencana Bangun Mako Brimob

Minggu 2015-02-01 21:15:15

WAMENA, SUARAPAPUA.com — Sejumlah organisasi, tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh gereja dan tokoh perempuan di Wamena, Jayawijaya, Papua, gelar jumpa pers untuk menyatakan dengan tegas menolak rencana pembangunan Mako Brimob di Molama, Distrik Wouma.

Kepala Suku Welesi yang juga sebagai pemilik hak ulayat Markus Lanny, mengatakan, tempat yang direncanakan untuk bangun Mako Brimob itu adalah kebun bertani milik pihaknya dan itu menjadi tempat mencari makan sehari-hari warga setempat.

"Itu kebun kami bukan untuk tempat Brimob. Jika bangun Mako Brimob, kami cari makan dimana?," tanya Markus Lanny kepada wartawan di Wamena, Sabtu (31/1/2015) siang.

"Kami juga tidak mau jika dibangun Mako Brimob dan tidak ada lagi tempat untuk kami berlindung, untuk bekerja, dan mau mundur dan maju tanah lain milik orang," jelasnya.

Dalam jumpa pers, perwakilan dari wilayah Wouma, Jackson Ikinia mengatakan, tanah itu tidak diperjualbelikan karena lokasinya kecil, jika dijual berarti menurut orang tua akan menyengsarakan warga setempat.

 

"Kami tidak jualbelikan tanah itu, karena nanti orang tua marah. Jadi, kalau mau bangun sebaiknya di tempat lain saja," ujar Jackson.

 

Perwakilan Himpunan Mahasiswa dan Pelajar Jayawijaya (HMPJ) Alus Himan menegaskan, rencana pembangunan Mako Brimob itu sudah ditolak oleh mahasiswa.

"Entah itu mau bangun dimanapun, mahasiswa sudah sepakat menolak dengan alasan, ketika bangun Mako Brimob, efeknya akan buruk. Jadi, pokoknya kami sudah sepakat menolak," kata Himan tegas.

Selain itu, lanjut dia, masyarakat setempat akan dipersulit, dari berbagai aspek kehidupan dan juga membawa dampak negatif.

“Biasanya awalnya mereka datang baik-baik, tetapi pada akhirnya mereka menjadi pelaku kekerasan. Kita lihat bukti, dengan pengalaman-pengalaman dari orang tua kami dan sebagai penerus bangsa tak ingin terjadi lagi hal yang sama. Makanya, kami tolak pembangunan Mako Brimob di Wamena dan di seluruh wilayah di Pegunungan Tengah," ungkapnya lagi.

Senada dengan itu, Welis Doga dari Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) cabang Jayawijaya, mengungkapkan pendapat sama.

 

Kata Welis, pihaknya tolak dengan alasan Jayawijaya dalam keadaan aman terkendali.

"Seluruh masalah intinya hanya ada di minuman keras, sekarang bagaimana pihak aparat keamanan mau memutus mata rantai itu. Miras ini kan yang datang di Jayawijaya cuma lewat satu jalan, yaitu pesawat, dan kepolisian mampu atau tidak untuk memutus mata rantai itu. Selesaikan itu dulu, jangan polisi juga memperdagangkan minuman keras lalu menyalahkan masyarakat," tutur Welis.

 

Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua se-Indonesia (AMPTPI) DPC Jayawijaya, Abner Wetipo justru mempertanyakan, sebenarnya di Wamena ada apa?

 

"Karena kami tahu di Jayawijaya ini tidak ada masalah yang lebih urgen hingga harus ada Mako Brimob. Apa tujuannya?" tanya Wetipo.

Selain itu, wakil dari wilayah Hubikiak, Hubikosi, Kosilapok, Walilo-Hilapok, Pater Theo Kossay, OFM menyinggung berbagai dampak di kemudian hari jika rencana ini direalisasikan.

 

"Tempat ini lembah kecil, lalu umat saya mau ke mana semua. Saya minta kepada pihak-pihak yang mempunyai kebijakan agar lihat hal ini dan berpikir dengan baik untuk pembangunan mana yang bisa berpihak kepada umat atau masyarakat kita di lembah ini," kata Pater Theo.

Bagi Pater Theo, pembangunan Mako Brimob tidak memberikan sesuatu hal yang positif bagi pembangunan di daerah ini, termasuk di daerah Pegunungan Tengah Papua.

"Bisa-bisa pembangunan Mako Brimob ini buat masyarakat tidak aman. Jadi, kami tolak, entah di Molama, Hubikiak, maupun di lembah dan Pegunungan Tengah Papua," tegas Pater Theo.

Penolakan sama juga datang dari perwakilan Perempuan Jayawijaya, Milka S. Lanny.

 

"Rencana itu menjadi pertanyaan bagi kami kepada pihak kepolisian. Ada apa konsentrasi aparat keamanan berlebihan di pegunungan tengah?" tanya Milka.

Lanjut dia, tak ada alasan jelas untuk turunkan pasukan yang berlebihan di daerah ini. "Banyak ungkapan bahwa wilayah kami sering terjadi konflik horizontal, tetapi menurut kami, sebenarnya aman-aman saja," kata Milka.

Menurutnya, pergeseran pasukan bersenjata yang berlebihan akan membawa dampak negatif terhadap masyarakat. Artinya, dulu masyarakat di sini sudah punya memoria passionis akan berbagai pelanggaran HAM oleh aparat keamanan masih membekas.

Forum Solidaritas Rakyat Jayawijaya, Soleman Itlay juga menyatakan menolak. Jika tetap dipaksakan Mako Brimob dibangun, kata Soleman, pihaknya akan turunkan massa untuk melakukan aksi demo.

Soleman menilai pemicu konflik di Jayawijaya adalah miras. Tetapi selama ini aparat keamanan dan pemerintah tidak mau sikapi semua kejadian di Jayawijaya, malah mau bangun Mako Brimob.

 

"Padahal Perda Miras sudah ada, jadi mana fungsi kontrol terhadap Perda? Seharusnya ada tindakan di lapangan untuk atasi masuknya Miras," ujarnya.

 

Ditegaskan, mendatangkan Brimob dari Jayapura saja masyarakat tidak bebas untuk keluar malam. "Tolong pikirkan baik-baik, karena ini bukan daerah rawan seperti di daerah perbatasan RI," tegasnya mengingatkan.

 

Editor: Mary

ELISA SEKENYAP

Terkini

Populer Minggu Ini:

Desak Pelaku Diadili, PMKRI Sorong Minta Panglima TNI Copot Pangdam Cenderawasih

0
“Beberapa waktu lalu terjadi kasus penangkapan, kekerasaan dan penyiksaan terhadap dua pelajar di kabupaten Yahukimo. Kemudian terjadi lagi hal sama yang dilakukan oleh oknum anggota TNI di kabupaten Puncak. Kekerasan dan penyiksaan terhadap OAP sangat tidak manusiawi. Orang Papua seolah-olah dijadikan seperti binatang di atas Tanah Papua,” ujarnya saat ditemui suarapapua.com di Sorong, Papua Barat Daya, Rabu (27/3/2024).

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.