Kekerasan dan Persoalan Rakyat Papua Menuju Pembebasan

1
4651

Oleh: Bernardo Boma

Kompleksitas sejarah dan manipulasi status politik adalah akar persoalan Papua menjadi masalah yang meninggkat sejak 1 Mei 1963 ketika  wilayah Papua dianeksasi kedalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pendudukan Indonesia di wilayah Papua membawah malapetaka dalam kehidupan rakyat Papua. Persoalan akut dan paling membekas dalam sejarah perjalanan hidup orang Papua adalah kekerasan militer terhadap orang asli Papua dengan berbagai macam dalil dan stigam serta marginalisasi yang menjadi bagian dari kehidupan rakyat Papua sehari-hari

Namun, Penderitaan hingga kini masih berlanjut dan ditutupi oleh rezim otoritarian negara yang penuh dengan pendekatan kekerasan, memarginalisasi orang Papua. Penderitaan rakyat Papua adalah sebuah ancaman serius yang distigma “separatis”, “terbelakang”, “OPM”, “Gerakan Pengacau Keamanan” dan “tidak berbudaya” untuk membenarkan tindakan kekerasan dan diskriminasi.

Dari berbagai segi kehidupan, baik dari aspek ekonomi, politik dan kebudayaan tidak terlepas dari sejarah perkembangan kehidupan Rakyat Papua. Jika kita menyimak bagaimana awal gagasan pembentukan Bangsa Papua oleh kaum intelektual Papua pada dekade 1960-an tentunya mereka memiliki cita-cita agar Rakyat Papua dapat membangun Bangsa dan Tanah Airnya dengan lebih baik, lebih demokratis, lebih adil dan lebih manusiawi serta lebih sejahtera di negerinya.

Keinginan dan tentang rumusan negara yang dikehendaki para pengagas Bangsa Papua, untuk memerdekakan Rakyat dan membentuk suatu negara adalah wujud cita-cita yang mulia karena menghendaki agar Rakyatnya terbebas dari sebuah penjajahan. Salah satu gagasan dari Resolusi Kongres Nederland Nieuw Guinea Raad (Dewan Niuew Guinea) pada tanggal 19 Oktober 1961, yang memiliki arti penting bagi Rakyat Papua saat ini adalah semboyan “One People One Soul” yang artinya Satu Rakyat Satu Jiwa. Semboyan ini mengartikan persatuan dari seluruh rakyat Papua yang beraneka ragam suka, bahasa, tradisi, adat dan kehidupan ekonominya.

ads

Saat itu Indonesia yang dipimpin oleh Soekarno yang egois dan angkuh telah melancarkan sebuah usaha untuk menggagalkan lahirnya negara Papua Barat. Yang mana setelah deklarasi kemerdekaan Bangsa Papua Barat 1 Desember 1961, kemudian pada tanggal 19 Desember 1961 Indonesia melalui Soekarno mengumandangkan TRIKORA. Yang diikuti oleh mobilisasi militer dan para militer untuk menguasai Papua dari tangan Belanda. Dengan alasan membebaskan Papua dari penjajahan Belanda, gagasan membentuk sebuah negara Papua Barat adalah murni kehendak Rakyat Papua yang dipelopori oleh kaum intelektual Papua pada waktu itu, diantaranya:  N. Jouwe, M.W. Kaiseppo, P. Torei,  M.B. Ramendey, A.S. Onim, N. Tanggahma, F. Poana dan Andullah Arfan.

Sejak TRIKORA 19 Desember 1961 dan penyerahan administrasi dari pemerintahan sementara PBB (UNTEA) kepada Indonesia pada 1 Mei 1963. Indonesia selalu mengunakan militer (TNI-Polri) sebagai tameng untuk menghadapi perlawanan Rakyat Papua yang tidak menghendaki kehadiran  Indonesia.

Baca Juga:  Politik Praktis dan Potensi Fragmentasi Relasi Sosial di Paniai

Realisasi dari isi Trikora itu Presiden Soekarno sebagai Panglima Besar Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat mengeluarkan Keputusan Presiden No. 1 Tahun 1962 yang memerintahkan kepada Panglima Komando Mandala, Mayor Jendral Soeharto untuk melakukan operasi militer ke wilayah Irian Barat untuk merebut wilayah itu dari tangan Belanda.
Operasi lewat udara dalam fase infiltrasi seperti Operasi Banten Kedaton, Operasi Garuda, Operasi Serigala, Operasi Kancil, Operasi Naga, Operasi Rajawali, Operasi Lumbung, Operasi Jatayu. Operasi lewat laut adalah Operasi Show of Rorce, Operasi Cakra, dan Operasi Lumba-lumba             dan lain-lain.

Tidak hanya sampai di situ dalam sejarah Indonesia, pada rezim pemerintah Soeharto yang otoriter militeristik, Propinsi Papua dijadikan Daerah Operasi Militer (DOM), sehingga beberapa kali terjadi Operasi Militer yang dilakukan oleh ABRI atau sekarang disebut TNI. Pada tanggal 1 Mei 1963, pemerintah Indonesia menempatkan TNI dalam jumlah besar di seluruh Tanah Papua dan dilakukan operasi besar-besaran terjadi dan menewaskan rakyat Papua dalam jumlah besar. Operasi Militer yang dimaksudkan adalah Operasi Sadar (1965–1967), Operasi Bhratayuda (1967–1969), Operasi Wibawa (1967–1969), Operasi Pamungkas (1969–1971) Operasi militer di Kabupaten Jayawijaya (1977), Operasi Sapu Bersih I dan II (1981), Operasi Galang I dan II (1982), Operasi Tumpas (1983–1984) dan Operasi Sapu Bersih (1985), Operasi Militer di Mapenduma (1996). Kemudian masih terus melakukan kekerasan setelah pemberlakukan Otonomi Khusus adalah pelanggaran HAM di Wasior (2001).

Pada 10 November 2001, tepatnya 13 tahun yang lalu, Pemimpin Besar Bangsa Papua Barat, Dortheys Hiyo Eluay, ditemukan tewas dalam mobilnya di Kilo Meter 9, Koya, Muara Tami, Jayapura. pada 08 Desember 2014. 4 (empat) orang Pelajar mati ditembak oleh aparat keamanan (TNI/Polri) dilapangan Karel Gobay pada pagi hari, Namun hingga kini belum ada kejelasan Pemerintah dalam upaya penyelesaian kasus Paniai Berdarah walaupun Komnas HAM sudah merekomendasikan dan sudah membentuk Panitia Ad Hock dan banyak kasus-kasus pelanggaran HAM yang belum diselesaikan oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)

Hingga saat ini, dapat kita saksikan sendiri bagaimana kekerasan dan marginalisasi terhadap Rakyat Papua dari segi ekonomi, kesehatan dan pendidikan terjadi di depan mata kita, bagaimana perilaku aparat militer Indonesia terhadap Rakyat Papua, bagaimana tanah-tanah adat dijadikan lahan investasi perusahaan milik negara-negara Imperialis, Ekonomi rakyat seperti Pasar, kios, toko dan ruko dikuasai oleh bukan orang asli Papua sehingga orang asli Papua dimarginalkan dari atas tanahnya sendiri adalah salah satu bentuk diskriminasi rasis di Papua yang dibangun oleh negara melalui pendekatan pembangunan Pos-pos militer, penambahan pasukan militer Organik maupun Non Organik pembukaan lahan bagi perusahan asing yang tidak sesuai dengan kebutuhan rakyat Papua membawa malapetakan bagi orang Papua dari segi Ekonomi, Sosial dan Budaya yang dulunya kehidupannya alamiah

Baca Juga:  Pemkab Yahukimo dan PGGJ Diminta Perhatikan Keamanan Warga Sipil

Tidak cuma itu, tingginya kematian di Papua khususnya kematian Ibu dan Anak ,Tenaga dan prasarana, Tenaga medis sangat minim, bagaimana lapangan pekerjaan yang ada cuma PNS dan buruh perusahaan milik negara-negara imperialis, bagaimana minimnya tenaga guru dan prasarana pendidikan di daerah-daerah pelosok dan masih banyak lagi persoalan lain yang sedang membelenggu Rakyat Papua saat ini.  Hal yang demikian terjadi diseluruh Papua dan tetap akan dipertahankan, guna kepentingan penguasaan terhadap Tanah Papua. Sehingga kesejahteraan menjadi alasan rasional Indonesia terhadap gejolak konflik di Papua yang sebenarnya berkaitan dengan Identitas suatu bangsa yang hendak memerdekakan diri.

Terbelenggunya Rakyat Papua dalam sebuah penjajahan, penindasan dan diskriminasi dikarenakan kita diperhadapkan pada musuh bersama seluruh Rakyat Papua cengkraman maut yang mematikan dari yang namanya Kolonialisme Indonesia, Imperialisme, dan Militerisme.

Kolonialisme Indonesia di Papua Barat dimulai ketika adanya invasi militer ke Papua sejak TRIKORA 1961 dengan pembentukan Komando Mandala untuk melancarkan operasi “Mandala” yang dipimpin oleh Letjend. Soeharto. Ini bertujuan untuk melakukan ekspansi (peluasan wilayah kekuasaan) negara Indonesia.  Ini dilakukan berdasarkan klaim yang tidak logis dan sepihak dari Soekarno, bahwa jauh sebelum Indonesia lahir, papua adalah bagian dari kerajaan  majapahit dan beberapa klaim lainnya.

Hingga kini, untuk menjalankan kolonisasi dan mempertahankan kekuasaannya atas Tanah Papua, mesin birokrasi, sistem politik seperti pemilu  dan militer (TNI-Polri) digunakan untuk melegitimasi keberadaan Indonesia di Papua. Birokrasi merupakan mesin legal Indonesia untuk menjadikan Papua bagian dari NKRI dan militer merupakan alat reaksioner yang digunakan untuk mempertahankan Papua apapun caranya. Dan sistem politik seperti pemilu untuk menunjukkan kalau Rakyat Papua patuh terhadap sistem politik yang berlangsung di Indonesia.

Hal sama seperti yang pernah dilakukan Belanda terhadap Indonesia dan Papua, kembali dilakukan oleh Indonesia terhadap bangsa Papua.

Kolonial Indonesia dengan Sistem politik dan militer, kebijakan politik seperti UU NO 21 Tahun 2001 tentang Otsus, UU Pemekaran Daerah Otonom Baru (DOB), UP4B dan kebijakan lain hanya merupakan upaya untuk mempertahankan Papua tetap dalam kekuasaan Indonesia.

Imperialisme, dengan penandatanganan Kontrak Karya PT. Freeport milik Imperialis Amerika dengan pemerintahan Soeharto pada tahun 1967 menunjukan bahwa Papua saat ini sedang berada dalam cengkraman negara-negara Imperialis. Hal ini ditunjukan dengan masuknya berbagai perusahaan-perusahaan berskala Multy National Coorporation (MNC) seperti BP di Bintuni dan LNG Tangguh di Sorong Selatan serta pembukaan perkebunan skala luas seperti MIFEE di Marauke dan Corindo dan Medco yang sudah ada jauh sebelumnya. Untuk mengamankan keberlangsungan aktifitas eksploitasi perusahaan-perusahaan milik imperialis ini, militer (TNI-Polri) selalu digunakan untuk menghalau perlawanan Rakyat pemilik hak ulayat.  Nyatanya, keberadaan perusahaan-perusahaan tersebut tidak dapat mensejahterakan seluruh Rakyat Papua yang berjumlah kurang lebih tiga juta jiwa.

Baca Juga:  Indonesia Berpotensi Kehilangan Kedaulatan Negara Atas Papua

Militerisme, di Papua awal mulai dengan masuknya penjajah Belanda, baru kemudian sifat reaksionernya muncul ketika Indonesia hadir di Papua. Militerisme Indonesia memulai aksinya di Papua paska TRIKORA 19 Desember 1961 dengan adanya seruan untuk memobilisasi umum rakyat Indonesia untuk membebaskan Papua Barat dari Belanda oleh Soekarno. Katanya membebaskan namun faktanya hari ini sedang menjajah.

Penerapan kebijakan operasi militer yang pertama yaitu Operasi Mandala tahun 1961 dan berbagai operasi lain untuk melakukan teror, intimidari, pengejaran, pemenjarahan, pemerkosaan, pembunuhan, pembakaran fasilitas umum dan kampung, dan aksi kejahatan militer yang lainnya. Selain itu, Daerah Operasi Militer (DOM) melalui Operasi Koteka pada tahun 1970-an, Rakyat Papua dipaksa untuk mengenakan pakaian ala orang Indonesia yang terbuat dari kain.

Penyelesaian persoalan Papua  melawan sistem yang sudah sekian lama menghisap, menindas dan menjajah rakyat Papua, untuk penyelesaian status Politik rakyat Papua adalah Menentukan Nasib Sendiri (The Right to Self Determination) bagi rakyat Papua merupakan satu-satunya tawaran solusi demokratis, adil dan bermartabat yang lahir dari rakyat Papua dalam penyelesaian persoalan Papua sebagai tahapan rakyat Papua untuk menentukan sikap hidup secara, sadar dan demokratis, apa tetap bersama Indonesia atau merdeka sendiri. Melalui mekanisme internasional yang dikenal dengan nama referendum.

Penulis adalah aktivis Mahasiswa Papua di Semarang.

Referensi :

  1. Rinto R Kogoya, Persoalan pokok rakyat Papua dan Jalan keluarnya (http://komitepusatamp.blogspot.co.id/2013/04/persoalan-pokok-rakyat-papua-dan-jalan.html)
  2. Socratez Sofyan Yoman, Kami Berdiri Di Sini, (Jayapura; ETM Press,).
  3. Yorrys Th. Raweyai, 2002. Mengapa Papua Ingin Merdeka, Presidium Dewan Papua, Jayapura, 16.
  4. Rudiyanto,S.Th, M.Th, 2015 Sejarah Papua Akar Persoalan Masalah Papua Materi dalam seminar Demokrasi, Kebebasan, dan Kemanusiaan Era Reformasi Indonesia di Papua, yang diadakan di Kampus UNWAHAS Semarang
  5. Tri Komando Rakyat Pembebasan Irian Barat (TRIKORA), Markas Basar Angkatan Bersenjata Republik Indonesia Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI, Jakarta

 

Artikel sebelumnyaKegagalan Negara dan Keadilan
Artikel berikutnyaMemikirkan Gerakan Subaltern Papua