Pembiaran Pembunuhan di Amungsa

0
3336

Oleh: John NR. Gobai

Kota Timika tak pernah sepi dari konflik. Karena itu, Timika bahkan diplesetkan menjadi: “Tiap Minggu Kacau”. Pembunuhan antarsesama orang Papua, atau dengan warga pendatang, sudah tak terhitung jumlahnya. Selama ini terkesan akar persoalannya tak pernah serius dicabut. Lantas, haruskah situasi tersebut terus dibiarkan berlanjut di Amungsa? Saya kira, tidak. Dan, memang, ini tidak boleh terjadi.

Pembiaran Pembunuhan

Konflik di Timika agak berbeda dalam upaya penanganan jika dibandingkan dengan sejumlah kasus di daerah lain di Tanah Papua. Contoh, tahun 2012 markas TPN/OPM di Paniai diserang oleh pasukan bersenjata. Konon katanya karena mengambil 2 pucuk senjata. Dalam penyerangan itu ada korban jiwa.

Contoh lain, ketika Komite Nasional Papua Barat (KNPB) demonstrasi, seringkali Polisi dan Brimob hadapi massa dengan kekerasan, bubarkan secara paksa, hingga kadang korban jiwa.

ads

Lalu, kenapa Timika dibiarkan? Masyarakat saling membunuh tanpa ada upaya membubarkan paksa, seperti pernah dilakukan di Eduda, atau saat demo KNPB?. Ingat, bukan dengan aksi demo dan ada markas langsung Papua Merdeka. Orang Papua tahu ini masih perjuangan.

Sebagai putra asli Papua yang sedikit paham kebiasaan perang orang Moni, Dani, dan lain-lain, saya mau pesan satu hal kepada saudara-saudaraku, Suku Moni, bahwa dalam kebiasaan perang selalu berusaha agar korban perang seimbang, itu mesti ditinggalkan. Kepada orang Moni, saya turut berduka, saya juga sedih, saya minta maaf, saya tahu kamu sakit hati, saya tahu kamu marah.

Tetapi, saya mau pertegas kata-kata orang tua di kampung; biasa ada kata-kata dari orang tua di kampung, begini: “Di atas ko punya harta itu ko akan mati bodoh-bodoh”. Dalam bahasa Mee: “Akiya makiiwado akime miyoboka”.

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Saya berpesan, mari tolong pikir baik-baik.

Kepada saudara-saudaraku suku Dani, saya mau pesan, mari tinggalkan sikap arogan. Ingat, hari ini yang pimpin Papua adalah kitong punya saudara berdua: Lukas Enembe dan Klemen Tinal (Lukmen). Jadi, jangan bikin nama jelek beliau berdua. Saat ini Gubernur dan Wakil Gubernur sedang bekerja sungguh-sungguh.

Alangkah baiknya jika kita tak membuat Lukmen, seperti analogi ini: seorang yang mau pergi untuk jaga kebun baru di kampung sebelah karena buahnya bagus-bagus, sampai di puncak bukit, ada orang lihat dan beritahu bahwa pagar rumahnya terbakar, dan bapak ini kembali ke kampung melihat pagar Honai-nya terbakar, terpaksa dia pulang untuk melihat kebakaran itu; dan karena lama, dia lupa dengan kebun baru yang sudah banyak buah.

Hari ini Lukmen ibarat tukang kebun itu. Maka, jangan saudara-saudara jadi seperti orang di kampung yang bakar pagar, supaya orang kritik Lukmen, biarkan mereka jalan terus, kalian harus hentikan perang dan jaga pagar perdamaian, jangan kamu bakar. Biarkan Lukmen jalan untuk mengurus kebun yang bisa menghasilkan buah yang berguna bagi banyak orang.

Tangan Tak Kelihatan

Sangat lain dalam kasus Timika, adanya pembiaran yang lama terhadap warga negara Indonesia saling membunuh, saling dendam dan saling balas hingga korban berjatuhan. Ada apa sebenarnya? Mengapa orang tega saling membunuh?

Ingat, mengambil nyawa haknya Tuhan. Dosa bagi orang yang menyuruh melakukan karena itu haknya Tuhan. Dosa juga bagi mereka yang membiarkan orang saling membunuh, padahal tugas mendamaikan dan menertibkan adalah amanah dari Tuhan kepada TNI/Polri.

Baca Juga:  Freeport dan Kejahatan Ekosida di Wilayah Suku Amungme dan Suku Mimikawee (Bagian 4)

Ingat, tidak ada adat yang mengajarkan orang saling perang dan membunuh.

Di sini saya hendak mengangkat dua cerita yang kiranya amat penting bagi kita semua.

Pertama: ketika perang di Ilaga, Kabupaten Puncak Papua. Simon Alom dan Elvis Tabuni, kedua-duanya pejabat dimasukkan ke dalam sel, lalu aman. Dalam peperangan itu ada korban dari kedua belah pihak. Mungkin karena otak konflik kelihatan, sehingga mudah dipegang dan akhirnya aman.

Cerita kedua: dulu jaman Belanda, ada perang di Paniai. Perang terjadi antar kampung. HPB kumpulkan masyarakat dan meminta damai, lalu ada pihak yang tidak mau. Nah, yang tidak mau damai itu depan masyarakat dipotong, dan beliau katakan siapa lagi yang mau perang terus saya akan potong seperti dia. Sejak itu aman, tidak ada perang lagi.

Dua cerita ini mau menggambarkan kepada kita adanya peranan pemerintah dan polisi dalam menciptakan perdamaian serta keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas) yang kondusif.

Nah, dalam kasus Timika, perlu segera ada tindakan tegas dengan melakukan penangkapan terhadap pelaku, orang yang menyuruh melakukan, juga penyuplai barang, dan sebagainya.

Saran

Terjadinya rangkaian kekerasan yang telah mengarah kepada pembunuhan di Timika, perlu dilakukan, mungkin akan aman, adalah Gubernur Papua meminta kepada Kapolda dan Pangdam untuk menangkap Kepala Perang. Pihak keamanan jangan melakukan pembiaran, karena penegakkan hukum positif saat ini wajib diterapkan.

Baca Juga:  Freeport dan Fakta Kejahatan Kemanusiaan Suku Amungme dan Suku Mimikawee (Bagian 3)

Kami menyarankan, Gubernur membentuk Tim Perdamaian Masyarakat Pegunungan Papua, selesaikan konflik, tugaskan Pemda Mimika cari Tokoh Agama, Tokoh Adat yang bisa didengar lalu laksanakan perdamaian, pada saat itu semua pihak tandatangan pernyataan tidak lagi akan lakukan pembunuhan dan tidak akan selesaikan secara adat; selanjutnya jika ada masalah akan diserahkan kepada hukum positif. Bila pertama telah mengamankan pemimpin perangnya, lalu ada otak lain, maka otak yang ditangkap ini yang akan membuka jaringan itu, lalu pelakunya dihukum penjara, kemudian pengikutnya dibubarkan.

Kepada Pemda Mimika dan Gubernur Papua agar secara berkelanjutan dapat membuat orang Papua berpengetahuan, lewat pendidikan dan pelatihan tergantung sasarannya. Dan tingkatkan kesejahteraan mereka, pengetahuan tentang hukum positif perlu juga diberikan, karena sebenarnya masyarakat ini taat hukum, tetapi belum diberitahu secara kontinu.

Kepada PT Freeport Indonesia, mesti programkan dana untuk Kabupaten Puncak Jaya, Puncak Papua, Intan Jaya, Paniai dan Deiyai agar orang dari daerah-daerah ini yang sedang nganggur di Timika, bisa pulang untuk membangun kampungnya. Mereka datang ke Timika juga karena adanya dana 1%.

Akhirnya, kepada TNI/Polri di Tanah Papua, saya mau ulangi lagi: kalau membubarkan demo KNPB yang mengekspresikan pikirannya dan markas TPN/OPM yang adalah rumah tinggal bisa dibumihanguskan, tetapi membubarkan orang yang membunuh kok sangat susah; ada apa ya?.

Alangkah bijak bila tidak katakan silakan bertanya pada rumput yang bergoyang, tetapi jawablah dengan tindakan nyata. Juga, jangan bilang: masalah kompleks, masalah rumit, dan alasan lainnya.

Penulis adalah Sekretaris I Dewan Adat Papua dan Ketua Dewan Adat Daerah Paniyai.

Artikel sebelumnyaKekalahan Kajian Budaya Papua? (Bagian 3 – Habis)
Artikel berikutnyaYan Warinussy: Perlu Dibentuk KKR Untuk Selesaikan Pelanggaran HAM di Papua