BeritaKomnas HAM RI Rilis 8 Dugaan Pelanggaran HAM Terhadap Mahasiswa Papua di...

Komnas HAM RI Rilis 8 Dugaan Pelanggaran HAM Terhadap Mahasiswa Papua di Yogyakarta

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Setidaknya terdapat delapan dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dalam peristiwa pengepungan di Asrama Mahasiswa Papua Kamasan I, Jalan Kusumanegara, Yogyakarta, 14-16 Juli 2016.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) merilis hasil pemantauan dan penyelidikan langsung di Yogyakarta selama tiga hari (19-21/7/2016).

Komnas HAM juga mendengarkan keterangan dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, mahasiswa Papua di Yogyakarta selaku pihak korban, Gubernur DIY, Kapolda DIY didampingi Kapolres Yogyakarta bersama jajarannya.

Natalius Pigai, komisioner Komnas HAM menjelaskan, selain itu, tim juga telah menghimpun sejumlah data, fakta dan informasi yang diperoleh dari mitra-mitra Komnas HAM di lapangan sehubungan dengan tindakan yang menimpa mahasiswa Papua di Yogyakarta pada Jumat (15/7/2016) lalu.

Tindakan aparat keamanan membubarkan paksa rencana aksi damai mendukung United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) menjadi anggota penuh Melanesian Spearhead Group (MSG) pada 13-14 Juli 2016 di Honiara, Kepulauan Solomon, disertai pengepungan bersama organisasi kemasyarakatan (Ormas) intoleran.

Dari proses pemantauan dan penyelidikan berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Ratifikasi Kovenan PBB tentang Hak Sipil dan Politik, serta Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnik, Komnas HAM membeberkan hasilnya ke publik, Jumat (22/7/2016) di Jakarta.

Berikut isi Keterangan Pers Nomor 021/Humas-KH/VI/2016 tentang Hasil Penyelidikan Komnas HAM Atas Peristiwa Pengepungan Asrama Mahasiswa Papua di Kota Yogyakarta.

Pertama, terjadi pembatasan kebebasan berekspresi dan berpendapat.

Negara dalam hal ini Pemerintah Daerah dan Kepolisian seharusnya memberikan ruang dan perlindungan atas kebebasan tersebut karena merupakan hak kodrati yang melekat pada setiap orang individu dan menyangkut kedaulatan individu. Negara tidak mempunyai kewenangan mutlak untuk membatasi hak kebebasan berekspresi dan berpendapat.

Baca Juga:  Mahasiswa Papua Minta Presiden Jokowi Copot Jabatan Pangdam XVII/Cenderawasih

Adanya tindakan pembatasan kebebasan berekspresi dan berpendapat tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak Sipil dan Politik, dan UU Nomor 9 Tahun 2008 tentang Kemerdekaan Menyatakan Pendapat di Depan Umum.

Kedua, adanya tindakan kekerasan yang dilakukan oleh oknum aparat Kepolisian terhadap mahasiswa Papua di luar lingkungan Asrama Kamasan I.

Tindakan penganiayaan dan penyiksaan secara sadar dan sengaja merupakan tindakan pelanggaran hak asasi manusia yang melekat pada setiap orang dan tidak dapat digantikan (Non Derogable Rights) sebagaimana ketentuan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak Sipil dan Politik, dan UU Nomor 5 Tahun 1998 tentang Ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan.

Ketiga, adanya tindakan hate speech berupa kekerasan verbal yang mengandung unsur rasisme dari oknum Ormas intoleran saat pengepungan, seperti Monyet, biadab dan hitam.

Tindakan tersebut bertentangan dengan UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.

Keempat, adanya fakta peristiwa dimana kelompok Ormas intoleran yang datang ke depan asrama mahasiswa Papua lalu berorasi dan melakukan tindakan hate speech rasis. Kejadian ini disaksikan oleh aparat keamanan. Tidak adanya pencegahan atas kedatangan Ormas yang berkumpul dan berorasi tanpa ijin di depan aparat keamanan merupakan suatu tindakan pembiaran.

Baca Juga:  Berlakukan Operasi Habema, ULMWP: Militerisme di Papua Barat Bukan Solusi

Komnas HAM menyatakan peristiwa ini sebagai suatu pelanggaran hak asasi manusia melalui tindakan pembiaran oleh aparat (by omission). Tindakan tersebut bertentangan dengan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Kelima, Komnas HAM RI memastikan Pemerintah Daerah Provinsi Istimewa Yogyakarta belum memberikan jaminan kebebasan dan jaminan rasa aman bagi Mahasiswa Papua melalui langkah-langkah kongkret diantaranya Peraturan Daerah, Instruksi Gubernur, dan pernyataan-pernyataan untuk mencegah dan mengatasi tindakan rasisme terhadap warga Papua.

Hal ini penting mengingat 5 tahun terakhir telah terjadi stigma negatif terhadap Mahasiswa Papua dan adanya Papua phobia di kalangan Ormas dan masyarakat DIY.

Keenam, adanya fakta terjadinya penangkapan dan penahanan terhadap 8 orang Mahasiswa Papua oleh Aparat Kepolisian, dan satu diantaranya ditetapkan sebagai tersangka.

Tindakan penangkapan dan penetapan sebagai tersangka terhadap Mahasiswa Papua tersebut dilakukan tanpa menunjukkan dua alat bukti yang kuat. Tindakan tersebut bertentangan dengan prinsip penegakkan hukum yang berkeadilan dan non-diskriminasi sebagaimana ketentuan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia serta UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak Sipil dan Politik.

Ketujuh, adanya tindakan excessive use of power oleh Aparat Kepolisian, ditunjukkan dengan adanya pengerahan jumlah aparat yang berlebihan, penggunaan senjata dan tembakan gas air mata yang diarahkan ke dalam Asrama Kamasan I.

Kedelapan, terkait pernyataan Gubernur DIY tentang separatisme tidak boleh ada di Yogyakarta. Komnas HAM menilai pernyataan tersebut sangat multi-tafsir karena tidak ditujukan kepada individu yang melakukan separatisme, namun dapat dimaknai bahwa pernyataan separatisme tersebut ditujukan kepada orang Papua (yang sedang menjalani studi di DI. Yogyakarta).

Baca Juga:  Konflik Horizontal di Keneyam Masih Berlanjut, Begini Tuntutan IPMNI

Sri Sultan Hamengku Buwono sebagai Gubernur DIY, harus memastikan adanya penghormatan terhadap HAM (to respect) dan memastikan perlindungan Warga Negara (to protect). Sri Sultan Hamengku Buwono sebagai Raja Jawa bagi masyarakat DIY yang feodal dapat dicerna sebagai sebuah titah/sabda Raja oleh Masyarakat Yogyakarta yang di kemudian hari dapat dimanfaatkan oleh 25 Ormas di DIY dan masyarakat untuk melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan hak asasi manusia.

Dikemukakan, selanjutnya Komnas HAM akan merekomendasikan kepada pihak-pihak terkait khususnya Pemerintah Pusat, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta dan para pihak yang terkait, untuk melakukan tindakan hukum dan langkah pencegahan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

“Hal ini merupakan kewenangan Komnas HAM sebagai Lembaga Negara yang bertugas menjalankan fungsi pengawasan terhadap pemajuan dan penegakan hak asasi manusia sebagaimana dimandatkan oleh Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.”

Komnas HAM menyatakan, upaya tersebut dilakukan dalam rangka mendorong upaya bersama menciptakan kondisi yang kondusif bagi pemajuan, perlindungan dan penegakan hak asasi manusia di Indonesia.

Sekadar diketahui, delapan dugaan pelanggaran HAM tersebut diumumkan setelah Komnas HAM turun langsung ke lokasi kejadian dan meminta keterangan dari sejumlah pihak terkait, juga setelah dianalisis dengan didukung sejumlah dokumen bukti berupa rekaman video dan foto kejadian.

Pewarta: Mary Monireng

2 KOMENTAR

Terkini

Populer Minggu Ini:

HRM Releases 2023 Annual Report On Human Rights and Conflict In...

0
HRM revealed that the human rights situation in West Papua strongly differs from that in other regions in Indonesia. The decades-old and unresolved armed conflict has intensified since December 2018, leading to a spike in extrajudicial killings, enforced disappearances, and torture by security forces, especially in the highlands.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.