Maklumat Kapolda Papua, Langgar HAM OAP

2
3856

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — “Tindakan Kapolda Papua, Irjen Pol. Drs. Paulus Waterpauw mengeluarkan Maklumat tanggal 1 Juli 2016 tentang Kebebasan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum adalah salah satu bentuk Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang serius saat ini. Terutama dalam konteks pelanggaran hak asasi Orang Asli Papua (OAP).”

Demikian ditegaskan Yan Christian Warinussy, salah satu Advokat dan Pembela HAM di Tanah Papua, dalam press release yang dikirim melalui surat elektronik ke redaksi suarapapua.com, Minggu (24/7/2016) malam.

Direktur Eksekutif LP3BH Manokwari ini menjelaskan, Maklumat tersebut jelas-jelas melanggar amanat pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi: “… kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”.

Selanjutnya sudah cukup ada Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum yang menjadi regulasi dasar dari amanat pasal 28 UUD 1945.

“Dalam implementasinya, pihak Kepolisian termasuk Kapolda Papua dan juga Papua Barat harus mendalami dan memahami sungguh prinsip dasar bahwa negara tidak memiliki kewenangan mutlak dalam membatasi kebebasan berpendapat dan berekspresi, juga kebebasan berkumpul dan berserikat, tetapi hanya mengaturnya saja,” tandasnya.

ads

Warinussy menyatakan, pengaturan tersebut tak boleh sampai mencapai suatu bentuk yang memberi kesan bahwa negara sedang membatasi hak kebebasan berserikat dan berkumpul, menyampaikan pendapat dengan lisan dan tulisan sebagaimana diamanatkan di dalam aturan perundangan yang berlaku, seperti UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, serta UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional mengenai Hak-hak Sipil dan Politik menjadi Undang-undang.

Baca Juga:  Vince Tebay, Perempuan Mee Pertama Raih Gelar Profesor

“Kekuatan hukum Maklumat tersebut sama sekali tidak boleh melanggar amanat konstitusi negara dan prinsip-prinsip hak asasi manusia yang berlaku universal dan telah diadopsi negara dalam regulasi perundangan nasional Indonesia sendiri,” tegasnya.

Lebih lanjut dikatakan, isi Maklumat itu jelas-jelas sudah menjadi sebuah bentuk tindakan pelanggaran HAM yang bersifat struktural yang dilakukan oleh negara melalui institusi Polda Papua yang secara sadar telah melanggar amanat konstitusi dan juga UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua sebagaimana dirubah dengan UU Nomor 25 Tahun 2008, juga bagi Provinsi Papua Barat.

“Pelanggaran mana jelas mengenai hak asasi OAP sebagai bagian penting dalam konteks kebijakan Otonomi Khusus itu sendiri yang hendak ditujukan untuk memberi penghormatan dan perlindungan terhadap hak-hak dasar OAP sebagai bagian rakyat Indonesia yang amat dilindungi secara hukum di dalam amanat pasal 28 UUD 1945,” beber Warinussy.

Baca Juga:  Jelang Idul Fitri, Pertamina Monitor Kesiapan Layanan Avtur di Terminal Sentani

Sebelumnya, Laurenzus Kadepa, anggota DPRP, menyatakan tak setuju dengan adanya Maklumat Demo dari Polda Papua.

“Maklumat itu bertentangan dengan keinginan kami DPRP. Kami justru ingin ruang demokrasi dibuka seluas-luasnya kepada siapapun yang ingin menyampaikan pendapatnya di muka umum,” ujarnya, dilansir tabloidjubi.com belum lama ini.

Menyampaikan pendapat di muka umum, kata Kadepa, adalah hak setiap warga negara tanpa memandang siapa atau kelompok dari mana mereka.

Terpisah, sekretaris II Dewan Adat Papua, John NR Gobai menduga maklumat tersebut bagian dari strategi negara dalam hal ini Kepolisian Republik Indonesia membungkam ruang demokrasi di Tanah Papua.

Aksi massa yang kerapkali dimediasi Komite Nasional Papua Barat (KNPB) dianggap merongrong kedaulatan NKRI, karenanya Polda Papua keluarkan maklumat untuk batasi orang Papua menyampaikan aspirasi di muka umum.

“Sebaiknya ruang demokrasi dibuka, berikan kesempatan kepada kelompok manapun untuk menyampaikan aspirasi di muka umum. Indonesia negara demokrasi, tidak perlu larang orang demo, yang penting sesuai mekanisme dan tidak anarkis,” ujar John.

Jika ruang demokrasi di Papua terus dibatasi, bukan tak mungkin akan mendapat perhatian serius dari dunia luar. “Kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat di muka umum tidak perlu dibatasi kalau negara tidak mau terus menerus disoroti dunia internasional,” lanjutnya.

Baca Juga:  Mahasiswa Papua Minta Presiden Jokowi Copot Jabatan Pangdam XVII/Cenderawasih

Hal lain menurut John, dalam hirarki hukum Indonesia, Maklumat bukan satu dasar regulasi. Itu justru langgar perundang-undangan yang berlaku di negara ini.

Septer Manufandu, anggota Jaringan Damai Papua (JDP), menegaskan, maklumat tentang demo yang dikeluarkan Kapolda Papua sangat tidak relevan karena tidak lebih dulu lakukan uji publik dengan diskusi publik melibatkan berbagai pihak untuk menelaah isinya lebih mendalam.

“Selain itu, Maklumat Kapolda Papua tidak relevan karena dalam isi maklumat itu disertakan pula dua pasal yang sudah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 06 Tahun 2017,” ujar Manufandu.

Dua pasal itu adalah pasal 154 dan 155 yang tak relevan karena sudah dicabut, tetapi tetap dimuat dalam Maklumat.

Septer menyebut ini terjadi lantaran tiadanya konsultasi publik dan tak meminta masukan dari pakar hukum, praktisi HAM dan pihak terkait lain. Maka, kata dia, wajar bila kemudian muncul pro dan kontra di publik.

Pewarta: Mary Monireng

Artikel sebelumnyaPSSI Nabire Apresiasi Turnamen IPMANAPANDODE Cup
Artikel berikutnyaGadget Sedang Membunuh Para Kutu Buku