Orang Asli Papua dalam Romantika Otsus

0
3885

Oleh: Benyamin Lagowan

Orang Asli Papua (OAP) adalah orang yang berasal dari rumpun Melanesia. Dalam terminologi Otonomi Khusus 2001, disebutkan bahwa, OAP dapat juga merupakan orang yang diangkat dan diakui, oleh masyarakat adat di Papua. OAP identik dengan orang yang bekulit hitam dan berrambut keriting. OAP mendiami sebagian besar kawasan pelosok dan pedalaman Papua, mulai dari bagian kepulauan, pesisir pantai, lembah, rawa, hingga pegunungan.

Orang Papua memiliki budaya dan karakteristik khas, yang mampu menjadi pembeda dengan orang non Papua. Orang Asli Papua merupakan suku turunan ras Melanesia yang tersebar sepanjang pulau Papua bagian Barat hingga pertengahan Papua Timur (Papua New Guinea). Walaupun terminologi Orang Asli Papua kerap dinilai menjadi pembeda, karena mengkotakkan Orang Papua dan non Papua yang mempunyai kepedulian dan kecintaan terhadap Papua. Namun penulis akan tetap menggunakannya untuk menyatakan penekanan tentang keaslian Orang Papua, sebagaimana tertuang dalam UU Otsus Nomor 21 Tahun 2001.

Sejak menurunnya intensitas gejolak politik Papua merdeka, pada dekade 2001-an, Papua memasuki era baru, yaitu era Otsus Papua. Isu kemerdekaan yang laju disuarakan sebelumnya, mulai melambat dan memasuki fase mati suri. Dengan perasaan yang masih terkekang dan trauma, Orang Papua diperhadapkan pada paradigma pembangunan, untuk menuju sebuah kesejahteraan.

Kehadiran Otsus menjadi sebuah polical win-win solution, guna menangkal perjuangan rakyat Papua, untuk menentukan nasib sendiri. Awalnya banyak yang tidak menghendaki dan menolak Otonomi Khusus ini dengan berbagai cara. Ada yang menolak dengan tidak mengindahkan sama sekali pengetahuan terkait Otonomi Khusus. Ada pula yang menerima, dengan maksud untuk memperbaiki kualitas hidup dan menjamin kehidupan keluarga, dalam sebuah situasi yang sulit. Ada pula rakyat yang melakukan demonstrasi untuk menolaknya.

ads
Baca Juga:  Freeport dan Fakta Kejahatan Kemanusiaan Suku Amungme dan Suku Mimikawee (Bagian 3)

Jika dilihat, ketika Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua diberlakukan, terdapat dua hal yang barangkali terjadi di Papua. Pertama, yang menerima dan mengelola dan bahkan menikmati anggaran Otonomi Khusus, di awal-awal pemberiannya adalah hanya pada tingkatan pemerintah daerah (kepala daerah, dan lain-lain).

Kedua, seluruh rakyat Papua, tidak langsung menerima, disebabkan minimnya informasi terkait undang-undang baru tersebut. Setelah mendekati tahun 2005-2006, barulah kemudian produk hukum Otonomi Khusus tersebut mulai banyak diketahui oleh sebagian rakyat Papua, karena sosialisasinya semakin ditingkatkan.

Hal itu terbukti dengan semakin gencarnya pemekaran daerah yang terjadi di tahun-tahun itu. Pemekaran beberapa kabupaten seperti Kabupaten Tolikara, Lanny Jaya, Yahukimo, Nduga hingga Yalimo dan beberapa di wilayah Papua lain adalah buktinya.

Pemerintahan modern semakin menjamur, seiring bertambahnya pemekaran Daerah Otonomi Baru. Orang Papua mulai membentuk tim kerja, guna persiapan-persiapan pemekaran. Setiap suku, klan hingga wilayah adat, berlomba-lomba meminta pemekaran ke pemerintah pusat, dengan dalih mengejar ketertinggalan, membuka keterisolasian, ada pula yang mendesak dengan alasan merupakan amanat UU Otsus Papua, dan sebagainya.

Alhasil, sejak pemberlakuan UU Otonomi Khusus pada tahun 2001, di Provinsi Papua terbentuk sebuah provinsi baru yakni Provinsi Papua Barat dan 29 Kabupaten/Kota di Papua. Belum ditambahkan jumlah kabupaten dan kota di Provinsi Papua Barat tadi.

Pemekaran Daerah, di sisi lain mendatangkan dampak positif yang patut diakui, seperti: membantu membuka keterisolasian, membuka dan mempercepat pembangunan fisik, dalam rangka mengejar ketertinggalan dan mengutamakan pemberdayaan, proteksi dan keberpihakan sebagai tujuan dan goal standar UU Otsus itu.

Namun pemekaran juga turut memberikan dampak negatif yang cukup besar. Diantaranya OAP terpecah belah. Tercipta gap atau jurang pemisah yang menyolok, dimana terdapat blok-blok suku yang tercipta. Fanatisme suku dan klan menjadi dominan. Persatuan dan kesatuan menjadi memudar. Berbagai konflik sosial, politik dan ekonomi tak dapat terhindarkan. Orang Papua saling membunuh, merampok dan mencuri.

Baca Juga:  IPMMO Jawa-Bali Desak Penembak Dua Siswa SD di Sugapa Diadili

Parahnya adalah munculnya kecemburuan sosial antara sesama. Jurang-jurang pemisah antar kelas-ekonomi pun semakin besar. Bagi kaum rakyat kelas bawah, kehidupan stagnan tanpa sedikitpun berubah. Yang lebih memprihatinkan adalah rusaknya nilai-nilai hidup dan budaya di Papua. Rusaknya tatanan adat, tanah dan wilayah adat disertai maraknya penjualan tanah hingga eksploitasi Sumber Daya Alam secara besar-besaran, demi kepentingan perusahaan-perusahaan asing (kapitalis) dan domestik (PT/BUMN).

Otonomi Khusus juga dijadikan proyek bagi segelintir penguasa yang membayar untuk dipilih dan melunasi kerugiannya dengan uang Otonomi Khusus, yang bukan haknya. Tak jarang, banyak pemimpin membayar untuk mengikuti pemilihan kepala daerah yang pada akhirnya menjadi pembunuh berdarah dingin yang terus menguras dan menyedot uang darah Otonomi Khusus, demi kepentingan pribadi dan kelompok tertentu.

Orang Papua memasuki suasana romantika dan waham kebesarannya. Ironinya, disuguhi kemegahan dan kemasyhuran, sebagian Orang Papua mulai melupakan latar belakang hadirnya Otonomi Khusus itu sendiri. Mereka menjadi arogan, menjadi bisu dan buta terhadap dinamika sosial-politik, demokrasi, hukum bahkan pelanggaran Hak Asasi Manusia sesama Orang Asli Papua lainnya. Dari situasi di atas, yang mendominasi akhir-akhir ini adalah situasi pelanggaran HAM dan pembungkaman demokrasi sebagai akibat paradigma sejarah integrasi yang kontraproduktif.

Sebagian Orang Papua, bersikap apatis dan acuh tak acuh atas berbagai situasi represifitas yang dialami yang lain. Bahkan ada pula yang terkesan saling menjual, menuduh, menjatuhkan hingga bahkan saling mencurigai dan membunuh. Sebagian orang Papua dengan status kemapanan yang disandang, merasa tidak relevan lagi membicarakan, membahas dan mendiskusikan kelompok aktivis perjuangan, yang hingga kini masih konsisten berada di jalur kiri perjuangan Papua Merdeka.

Baca Juga:  Pelajar dan Mahasiswa Papua di Salatiga Sukses Hadirkan HIPMAPA

Mereka ini merasa bahwa tidak perlu lagi berbicara dan menuntut kemerdekaan, karena Orang Papua sudah merdeka dalam Indonesia pada tahun 1969 melalui pelaksanaan PEPERA. Namun, anehnya mereka ini sering berlidah dua. Yang pada pihak lain berbicara pro dan di pihak lain berpihak kontra.

Itulah situasi romantika berlebih yang menyebabkan Orang Papua kini memasuki fase penentuan depopulasinya karena sulit sadar dan bersatu.

Sebagai contoh konkrit, dapat kita saksikan berbagai fenomena sosial, ekonomi, politik pragmatis yang kini menggerogoti kehidupan masyarakat Papua. Pada beberapa waktu lalu, kita baru menyaksikan kasus pembantaian 4 siswa dan belasan warga sipil di Enarotali, kasus kematian misterius 70-an balita di Kabupaten Nduga, kita juga baru saja melihat konflik suku di Timika yang selalu terjadi, konflik antar suku di Jayapura, konflik dualisme kepengurusan KNPI Pusat, Papua dan Jayapura dan perdebatan pengangkatan 14 kursi Otsus melalui mekanisme pengangkatan serta masih banyak lagi.

Semua fenomena di atas, menjelaskan secara detail proses romantika pragmatis kalangan elit dan non elit apatis yang terus berupaya mengorbankan rakyat sipil (sesama). Ironisnya, walaupun sudah demikian, masih banyak yang tidak peduli dan seakan membiarkan peristiwa-perstiwa buruk itu terjadi, tanpa berusaha untuk mencegahnya. Orang Papua benar-benar telah kehilangan pegangan dengan hadirnya konsep pembangunan yang salah dan tanpa melalui sebuah filter dan tahapan yang baik.

Sebagian orang Papua terus bersuara diantara banyaknya orang Papua yang tertidur pulas, walaupun di hadapannya masih saja terjadi pembungkaman, intimidasi, diskriminasi, penculikan, teror dan bahkan pembunuhan dengan keji. Kapankah semua romantika ini akan berakhir? Mari berpikir sejenak.

Penulis adalah mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Cenderawasih, Jayapura, Papua.

Artikel sebelumnyaPengalaman Seorang Pastor Philipin Soal Sukses, Gereja, dan Korupsi di Papua
Artikel berikutnyaSoal Pemberantasan Miras, KNPI Dogiyai Prihatin dengan Sikap Pemkab Dogiyai