Pengalaman Seorang Pastor Philipin Soal Sukses, Gereja, dan Korupsi di Papua

0
15463

Hari-hari orang memanggilnya Billy. Ia seorang Pastor asal Philipina, Billy T. Veloso. Sebagian rambut di kepalanya telah habis dimakan usia, sisanya sudah memutih. Ia berjalan menunduk, sudah usia senja. Tetapi, suaranya keras, masih energik, dan suka diskusi dengan siapa saja tentang persoalan-persoalan hidup manusia.

Pastor Billy berada di Papua hampir 1 bulan terakhir ini, setelah sebelumnya di Bali dan kembali lagi ke Bali untuk pulang ke negaranya. Selama kurang lebih satu bulan di Papua, Pastor Billy mengamati banyak hal, kondisi ekonomi (kemiskinan), korupsi, gereja, kesehatan, pendidikan, budaya, hingga sampai persoalan sosial-politik.

Dalam sebuah diskusi spontan di Wisma P3W-GKI Padang Bulan, Jayapura, pada awal Juli 2016 bersama sejumlah jurnalis, Pastor Billy mendiskusikan pandangannya tentang sukses, gereja dan korupsi di Tanah Papua.

“Saya pastor, saya bicara soal bagaimana orang sukses, saya bicara soal bagaimana gereja berubah dan tentu saja soal korupsi karena gereja menentang korupsi,” katanya.

Soal sukses, kata Pastor Billy, orang paling miskin di dunia ini bukan orang yang tidak punya satu rupiah pun, tetapi orang yang  tidak punya mimpi atau cita-cita.

ads

“Kita hidup dalam dunia yang bebas dan setiap manusia memiliki kebebasan untuk memilih mau menjadi apa dan siapa dalam hidup ini. Apakah mau menjadi orang yang punya mimpi, harapan, cita-cita dan bergerak mengejar atau diam-diam saja. Ini semua kembali kepada kita sendiri, kitalah yang menentukan, orang lain hanya pelengkap, keputusan untuk menjadi baik, buruk, mau sukses atau mau gagal, semua kembali kepada kita sendiri, kembali pada komitmen kita, kerja keras kita, usaha kita. Pilihan kita hari ini,” tuturnya.

Baca Juga:  Freeport dan Kejahatan Ekosida di Wilayah Suku Amungme dan Suku Mimikawee (Bagian 4)

Jadi, Billy berpendapat, kalau hidup kita tidak sukses, kita tidak bisa salahkan orang lain, salahkan orang tua. “Kamu punya pilihan dan dunia ini ada pilihan. Maka, mari kita maju untuk hidup yang lebih baik. Bagi para petani tekun bekerja, anak-anak muda terus belajar banyak hal, membaca banyak dan bergurulah pada orang lain.”

“Tetapi, untuk itu kita harus mengerti apa itu sukses?  Sukses menurut standar dunia? Atau sukses menurut standar Tuhan?,” katanya.

Menurut Pastor Billy, sukses menurut standar dunia adalah kekayaan, jabatan, kekuatan dan pengakuan. Itu bukan berarti tidak baik. Tetapi dalam proses menuju ke sana, kita semacam berlomba-lomba sambil injak-injak orang lain, injak-injak hak orang, ambil hak orang, rebut kesempatan orang lain. Menuju ke sana, ke sukses, dengan cara yang tidak sehat dan itu sebenarnya menghancurkan kita.

“Tetapi, sebagai umat beragama, dari pandangan kristiani, mari kita lihat contoh Yesus sukses. Kita bisa lihat dari Injil Lukas 2 Ayat 52: ‘Dan Yesus makin bertambah besar dan bertambah hikmat-Nya dan besar-Nya, dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia.’ Yesus bertumbuh secara jasmani dan mendapatkan hikmat dari Allah. Ia melakukan kehendak Tuhan bagi manusia dengan penuh hikmat karena itu Ia kasihi Allah dan manusia hingga saat ini. Kita tidak bisa persis sama dengan Yesus, tetapi kita wajib belajar dari hidupnya,” tuturnya dalam diskusi itu.

Baca Juga:  Adakah Ruang Ekonomi Rakyat Dalam Keputusan Politik?

Pastot Billy menjelaskan, Yesus saat itu memperjuangkan keadilan, kebenaran dan kejujuran, kedamian. Itulah yang semestinya wajib kita lakukan di sini dunia ini, termasuk di Papua, dan di mana saja.

“Beda dengan Salomo. Salomo lebih pentingkan status, kekayaan, kekuatan, dan pengakuan. Tetapi Yesus, hikmat untuk membedakan baik dan yang buruk, baik, sempurna, dan menyenangkan hati Tuhan serta menyenangkan semua orang,” tuturnya.

“Kalau kita mencari status, kekayaan, kekuatan, dan pengakuan, maka kenapa Salomo tidak menjadi Tuhan kita? Ini bisa membuat banyak kecewa, tetapi kita harus bisa mengkritisi diri sendiri. Saya Pastor dan ini juga kritikan untuk saya juga,” kata Pastor Billy.

Pastor Billy memandang ada hubungan antara ajaran agama dengan korupsi. “Pilipina negara mayoritas Kristen, tetapi banyak korupsi. Saya melihat hal serupa di Papua. Papua wilayah mayoritas Kristen, tetapi banyak korupsi. Tetapi, kenapa di Bali hampir jarang ada korupsi dan kejahatan?”.

Di Bali, kata dia, agama mereka (agama Hindu) mengajarkan bahwa kehidupan hari ini akan membuat manusia sulit lahir kembali atau reinkarnasi. “Agama mereka mengajarkan perbuatan manusia hari ini akan mempengaruhi manusia di akhirat. Kalau manusia berbuat salah hari ini, maka akan sulit lahir kembali atau reinkarnasi”.

Tetapi, di dalam ajaran agama Kristen berbeda. “Kita banyak orang Kristen pikir, tiap hari minggu kita bisa mengaku dosa dan ada pengampunan. Jadi, hari Senin kita bisa buat dosa lagi. Ini termasuk soal korupsi, bisa korupsi lagi karena pada hari Minggu berikutnya kita bisa ke gereja dan mengaku dosa dan dosa minggu lalu telah habis. Minggu berikutnya kita bisa buat dosa baru karena bisa mengaku dosa pada Minggu berikutnya,” ucap Pastor Billy.

Baca Juga:  Indonesia Berpotensi Kehilangan Kedaulatan Negara Atas Papua

Sekarang, apa yang harus dilakukan? Menurut Pastor Billy, sembahyang harus bisa diterjemahkan dalam kehidupan nyata, orang-orang harus berubah, gereja harus berubah. “Manusia dan gereja harus berubah karena hanya dengan komitmen itu kehidupan pribadi maupun orang lain akan berubah menjadi lebih baik.”

“Sembahyang kalau tidak diterjemahkan dalam tindakan ya omong kosong. Sekarang, kita harus pikir bagaimana gereja berubah, gereja tidak bisa terus-menerus meminta umat atau jemaat berubah, tetapi gereja lebih dahulu berubah. Kalau gereja berubah, otomatis lama kelamaan umat akan berubah, termasuk para pejabat juga akan ikut sembahyang di gereja.”

“Sembahyang itu kudus, tetapi sembahyang itu kalau tidak mengubah cara hidup manusia, maka sembahyang gagal. Karena gereja adalah tempat untuk mengubah perilaku, maka setiap saat orang ke gereja. Dan itu tidak mengubah perilaku manusia, maka gereja gagal,” tuturnya.

Jadi, ia berpesan, gereja Papua harus berubah pelan-pelan, dapat mengubah manusia dan keadaan, sehingga dapat tercapai kemakmuran dan kesejahteraan bersama dan membuat hati Tuhan senang.

REDAKSI

Artikel sebelumnyaPara Bupati di Wilayah Meepago Wajib Larang Miras
Artikel berikutnyaOrang Asli Papua dalam Romantika Otsus