Terbentuknya Kelas Menengah (Baru) Papua: Sebuah Catatan Awal (Bagian 1)

0
2878

Oleh: I Ngurah Suryawan

Pendahuluan

Pada sebuah kesempatan mengunjungi Kota Sorong akhir Januari 2014, saya menyaksikan dan menangkap kesan yang sangat gamblang bagaimana wacana pemekaran menjadi pembicaraan yang sangat menggairahkan. Paling tidak itu yang saya saksikan di ruang depan dua hotel yang cukup besar di Kota Sorong. Para elit-elit lokal dengan berpakaian rapi dan bersepatu kulit sejak dari sarapan hingga melewati makan siang hari begitu asyik berdiskusi menghabiskan waktu mereka ditemani rokok dan sirih pinang. Saya perhatikan dan mendengarkan beberapa bagian pembicaraanya seputar persoalan pemekaran daerah di kawasan kepala burung Papua.

Saya merasakan pergunjingan dan gosip politik yang tidak jelas ujung pangkalnya tentang pemekaran daerah menjadi candu yang menggiurkan sekaligus memabokkan, khususnya bagi para elit local dan secara pelan namun pasti hingga ke masyarakat akar rumput. Berita media-media massa pun membahas tentang pro dan kontra seputar wacana pemekaran daerah yang terus-menerus terjadi tanpa henti. Wacana pemekaran telah menjadi konsumsi publik dan menjadi penegasan bahwa perbincangan tentang politik menjadi hal yang dominan tentang Papua melebihi hal yang lain.

Beberapa bagian masyarakat dan elit lokal terus memperjuangkan pemekaran, sebagian elemen masyarakat lainnya justru menolaknya dengan berbagai alasan.Mulai dari membuka peluang migrasi para pendatang, ketersingkiran orang asli Papua di tanahnya sendiri, hingga korupsi ekonomi dan politik yang melibatkan para elit lokal Papua dan beberapa elemen masyarakat yang menjadi kolusinya. Cita-cita luhur pemekaran untuk mensejahterakan masyarakat seakan pelan namun pasti menjadi jauh dari harapan.Kesejahteraan rakyat telah dirampas oleh sebagian kelompok masyarakat dalam komunitas mereka sendiri.Intinya terjadi keterpecahan yang akut di tengah masyarakat antara yang berapi-api memperjuangkan pemekaran dan menolaknya karena akhirnya menjadi candu yang melumpuhkan.

ads
Baca Juga:  Adakah Ruang Ekonomi Rakyat Dalam Keputusan Politik?

Artikel ini fokus mengelaborasi terbentuknya para elit Papua sebagai buah dari dinamika pemekaran daerah. Kehadiran para elit yang menjadi kelompok kelas menengah baru di Papua ini sangat berpengaruh besar dalam rangka perubahan sosial yang dicita-citakan di Papua. Sebagai sebuah studi awal, artikel ini akan mendiskusikan habitus kehadiran para elit dan siasat yang mereka praktikkan di tengah masyarakat. Kelompok kelas menengah baru ini memainkan peranan yang sangat penting diantara memenuhi keinginan negara dan kekuasaan serta berjanji untuk kesejahteraan masyarakatnya.

Jejak Pemekaran Daerah

Jika menelisik ke belakang, sejarah pemekaran di Tanah Papua berawal dari terpecahnya Provinsi Irian Jaya menjadi Irian Jaya Barat (kini bernama Provinsi Papua dan Papua Barat). Berdirinya provinsi baru yang nama sebelumnya adalah Irian Jaya Barat berawal dari dialog antara tokoh-tokoh masyarakat Irian Jaya Barat dengan pemerintah Indonesia pada 16 September 2002. Para tokoh-tokoh masyarakat Papua ini menyampaikan agar Menteri Koordinator Politik dan Keamanan dan Menteri Dalam Negeri segera mengaktifkan kembali Provinsi Irian Jaya Barat yang sudah ditetapkan pad 12 Oktober 1999. Provinsi Irian Jaya Barat didirikan berdasarkan Undang-Undang No. 45/1999 dan dipercepat dengan Instruksi Presiden (Inpres) No. 1/2003.Peresmian Kantor Gubernur Irian Jaya Barat dilakukan oleh Pejabat Gubernur Abraham Oktavianus Ataruri yang berlangsung pada 6 Februari 2003.

Baca Juga:  Freeport dan Kejahatan Ekosida di Wilayah Suku Amungme dan Suku Mimikawee (Bagian 4)

Terbentuknya kabupaten baru di Provinsi Papua Barat seperti Kaimana, Teluk Wondama, Sorong Selatan, Maybrat, dan dua yang terbaru yaitu Manokwari Selatan dan Pegunungan Arfak menggambarkan begitu bergairahnya keberlangsungan pemekaran daerah di wilayah Provinsi Papua Barat. Di tengah diversitas budaya yang tinggi di wilayah vogelkop (kepala burung) ini, selalu muncul keinginan untuk memecah wilayah kembali dalam bentuk kabupaten-kabupaten baru.Demam pemekaran sangat jelas terlihat dari keinginan beberapa elemen rakyat Papua untuk memekarkan daerahnya menjadi 33 DOB (Daerah Otonom Baru). Dari 10 DOB adalah hasil pemekaran di Provinsi Papua Barat. Hal ini sangat mencengangkan sekaligus mengundang keprihatinkan akan proses dan dampak yang akan terjadi di kemudian hari.

Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

Di tengah demam pemekaran daerah itulah muncul kelompok-kelompok di tengah masyarakat yang menjadi otak dan berada di lapisan atas dari kelompok pejuang pemekaran. Jika kita menelisik jauh ke belakang, kelompok-kelompok sosial politik ini adalah kumpulan orang-orang yang mempunyai pengaruh di tengah masyarakat maupun jaringan ke lingkaran kekuasaan negara maupun aparat keamanan. Orang-orang yang berpengaruh ini mempunyai modal sosial (tokoh agama, adat, politik, birokrat) dan modal ekonomi (pengusaha, pejabat, tuan tanah) sehingga sangat berpengaruh di tengah masyarakat. Kelompok orang-orang berpengaruh inilah yang sering disebut dengan “orang-orang kuat” lokal yang memainkan peranan sebagai broker (perantara) antara kepentingan kekuasaan dan masyarakat. Kelompok ini tidak akan pernah rugi karena orientasinya adalah menghisap kedua kelompok yang berusaha dijembataninya.

 

Penulis adalah Staf pendidik/dosen Jurusan Antropologi Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Papua (UNIPA) Manokwari, Papua Barat

 

 

Artikel sebelumnyaSaatnya Utamakan Ekonomi Kerakyatan
Artikel berikutnyaMinta PBB Tinjau Kembali Hasil Perjanjian New York, KNPB Akan Demo Damai