Bujuk-Bujuk Kolonial Menerimakan Rasisme

0
2346

Oleh: Benny Mawel

Ayah saya sangat pandai membujuk, mengalihkan perhatian, pembicaraan yang dianggap mengganggunya. Apa lagi ayah tidak inginkan ketidakmampuannya diketahui orang lain. Ayah akan berargumen aneh-aneh dan tidak masuk akal adanya demi membujuk saya.

Ayah akan berbicara gula-gula ketika saya minta kue donat. Ayah mengatakan minum ketika saya minta makan. Ayah akan mengatakan desa lebih baik dari kota ketika saya ngotot ke kota. Ayah akan mengatakan makan nasi ketikan saya mau makan petatas.

Pembicaraan memang tidak menyambung, namun ayah sangat benar berusaha mencari kemudahan. Ia berusaha berpikir sesuatu hal yang lebih gampang dan murah tanpa berpikir bahwa yang murah meriah itu besar resikonya.

Ayah berpikir gula-gula gampang dan murah meriah, daripada kue donat. Gula-gula bisa dibeli dengan satu rupih daripada donat yang membutuhkan uang dua ribu untuk membeli satu. Ayah bisa menjelaskan kehidupan desa dengan mudah, gampang daripada kehidupan kota yang kompleks. Beras (yang katanya makanan nasional) lebih gampang didapat di pasaran daripada petatas yang dianggap makanan lokal (kelas dua). Padahal beras dan petatas sama-sama mengandung karbohidrat.

ads

Kisah-kisah itu terjadi dua puluh tahun lalu. Waktu saya masih kecil. Pasti, anak-anak kecil masa kini masih mengalami itu. Penyakit ayah masih dalam rangka membujuk anak kecil itu terlintas lagi ketika seorang kawan mengomentari artikel “Mengakhiri Rasisme Indonesia Terhadap Papua” di media online Suara Papua.

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Kata dia,“Kalau bisa (isu rasisme) jangan dibesar-besarkan,” tulis kawan. Saya tidak mengerti maksud dari kawan itu. Apakah maksudnya isu rasis tidak mau menjadikan wajah buruk negeri ini tidak dibicarakan? Atau apakah dia hendak mengatakan, lupakan saja atau terima saja pembedaan itu?

Soal lagi, mana ada manusia yang bisa menerima begitu suatu masalah yang menyingung perasaannya tanpa memprotesnya? Apa lagi merendahkan martabatnya. Kalau masih ada manusia yang bermodel mau terima saja, sangat bersyukur sekali. Syukur juga kalau menerima hinaan itu bukan karena keterpaksaan.

Kata kawan itu, lalu memberikan alasan mengapa dirinya berargumen melupakan saja isu rasisme. Ia mengatakan, Indonesia tidak terlalu parah dengan isu rasisme. Rasisme hanyalah isu kecil dari kehidupan bangsa Indonesia, tetapi dengan sadar juga mengatakan isu rasisme mesti dibicarakan dalam kebersamaan.

Karena itu, dia dengan sadar mengatakan, “Indonesia ini jauh lebih damai bila saling mengerti”. Persoalan saling mengerti yang dimaksudkan pun menjadi kabur. Kalau saling mengerti itu, mestinya kehendak orang Papua, (mahasiswa Papua) yang dikepung di Yogyakarta pada 14 Juli 2016 saat menyampaikan pendapat yang menjadi kehendak politiknya mesti mendapat tempat.

Karena, selain saling mengerti, kehendak orang Papua itu bukan sesuatu yang bertentangan dengan konstitusi negara. Konstitusi Indonesia mengajarkan untuk menghargai kebebasan semua bangsa dengan tegas dan jelas. “Kemerdekaan ialah hak segala bangsa”.

Baca Juga:  Politik Praktis dan Potensi Fragmentasi Relasi Sosial di Paniai

Penjabaran dari konstitusi itu, UU 1945, pasal 28 menjamin setiap orang menyampaikan pendapat yang menjadi hak kemerdekaannya. “Setiap orang bebas menyampaikan pikiran pedapat di depan umum secara tertulis dan lisan.”

Komentar tidak mengerti atau mengerti hanya pura-pura tidak tahu dalam rangka membujuk orang Papua. Kalau bujuk-bujuk orang Papua supaya menerima begitu saja, sudah masalah klasik. Orang Papua sudah pernah dibujuk dengan berbagai cara. Bujuk rayu sejak awal Papua dipaksakan untuk menjadi bagian dari Indonesia hingga kini.

Pertama, ketika orang Papua berusaha (berjuang mempersiapkan diri) untuk menentukan nasib sendiri, lepas dari pemerintah Belanda, Jakarta bujuk rayu orang Papua menjadi Indonesia. Jakarta membujuk orang Papua dalam Pelaksaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969 disamping tekanan militer Indonesia.

Kata Sejarahwan Belanda, J.P. Droglever, dengan alasan, orang Papua belum siap, masih terbelakang, sejumlah perwakilan, “… berminggu-minggu sebelumnya (para wakil) dikumpulkan di barak-barak atau gedung-gedung sekolah”. Mereka mengikuti arahan-arahan hingga diberikan barang-barang yang tidak bernilai sama sekali.

“Mereka tidak boleh berhubungan dengan dunia luar. Untuk mengambil hati mereka, semua memiliki radio transistor, sebuah lampu senter, pakaian dan sedikit uang,” tulis Droglever dalam bukunya “Tindakan Piliha Bebas: Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri Belanda J.P. Droglever (hal 745).

Kedua, ketika orang Papua mendesak Jakarta untuk Papua keluar dari Indonesia melalui tim seratus pada 1999, Jakarta menggulirkan UU Otonomi Khusus Papua Nomor 21 tahun 2001. Realisasi melalui kucuran dana, pemekaran wilayah hingga bagi-bagi jabatan atas nama putra asli tanpa pertibangan profesionalismenya.

Baca Juga:  Freeport dan Kejahatan Ekosida di Wilayah Suku Amungme dan Suku Mimikawee (Bagian 4)

Ketiga, sejumlah individu-individu dengan konsisten memperjuangkan kemerdekaan, Jakarta membujuk dengan sejumlah harapan kesejahteraan. Beberapa oknum pentolan organisasi Papua Merdeka yang bergerak di wilayah Pasifik dan Belanda berbalik mendukung pendudukan Indonesia di Papua dengan alasan Papua makin maju melalui realisasi Otonomi Khusus tanpa melihat realitas realisasi Otsus.

Kalau berbicara jujur, realisasi Otonomi Khusus Papua jauh dari harapan. Mantan Gubernur Papua, Barnabas Suebu pernah menyimpulkan realisasi Otsus begini: “Pembangunan Papua carut marut,” tegasnya melalui media lokal di Jayapura.

Neles Tebay, dalam bukunya “Dialog Jakarta-Papua:Sebuah Prepektif Papua” membuat kesimpulan yang sama. “Implementasi UU Otsus Gagal Mensejahterakan Rakyat Papua,” tulis Tebay (hal 3).

Kesimpulan itu tidak berarti bagi mereka yang dibisik. Bisikan disertai dengan pemenuhan kebutuhan harian keluarga dapat melupakan perjuangan untuk menyelamatkan orang banyak. Bahkan hinaan yang diterimanya pun dilupakan. Dianggap biasa.

Sudahlah, pemerintah pendudukan berhasil bujuk, tetapi soalnya begini. Saat ini, kalau sudah bujuk rayu Papua menjadi bagian dari NKRI, mengapa masalah pembedaan warna tidak pernah berakhir? Ataukan ini hanya satu pesan bahwa Papua masih menjadi wilayah koloni Indonesia yang mesti dihapus?

Penulis adalah Wartawan di Koran Jubi dan www.tabloidjubi.com

Artikel sebelumnyaLaurenzus Kadepa: Sudah Empat Kali DPRP Terima Aspirasi Rakyat Papua di Jalan
Artikel berikutnyaKNPB Mengucapkan Selamat Hari Proklamasi RI Ke-71