Bendera Merah Putih dan Upacara Bendera “Epen?”

0
4203

Oleh: Arnold Belau

Hari ini, 17 Agustus 2016, usia Indonesia 71 tahun sejak diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Dulu, waktu saya SD, setiap pagi kami harus ikut upacara bendera. Kalau tidak ikut, pasti dihukum. Entah apa pun hukumannya. Sampai di bangku SMP, juga sama. Tetap saja setiap hari Senin upacara. Entah cuaca buruk atau tidak. Kecuali memang benar-benar hujan besar. Sampai di bangku SMA, tetap sama, setiap Senin ada upacara. Tetapi kali ini di SMA tradisinya berbeda. Sebulan dua kali. Format upacara bendera pun tidak beda. Semua sama, yaitu formatnya sama dan tak beda jauh dengan yang biasa dilakukan di saat 17-an, ialah format upacara militer (mungkin kita dibina untuk bela negara dengan menjadi anggota militer).

Mulai dari jadi penggerek bendera, pengibar bendera, pembaca UUD 1945, pembawa teks Pancasila, pimpin lagu, dan pemimpin upacara, semua sudah saya pernah cobai, semasa sekolah dulu. Tujuannya apa, tidak tahu. Selain untuk memulai pekan yang baru, dengan arahan dari kepala sekolah atau guru yang menjadi pembina upacara. Terlepas dari itu, tradisi upacara bendera setiap hari Senin, hanya di Papua. Di tempat lain, terutama di pulau Jawa, tidak setiap Senin harus upacara bendera. Bedanya dengan Papua apa? Jawabannya: hanya dewa yang tahu!

Saya ingat. Dulu, di saat SD, sebelum pergi ikut upacara 17 Agustus, pasti kami akan dibagikan seragam sekolah, hanya baju putih dan topi merah serta dasi. Itu saja. Supaya saat menghadiri upacara, harus seragam dan tampil dengan seragam sekolah (SD). Lagi, saat jalan ke tempat upacara, harus jalan dalam keadaan rapi. Dengan baris berbaris, rapi dan satu komando tentunya. Sambil menyanyikan lagu-lagu nasional.

Terlepas dari upacara ini, kalau melihat dan membaca sejarah proklamasi Indonesia, hari proklamasi kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945 itu bukan hari Senin. Tetapi hari Jumat. Dan seharusnya upacara itu dilakukan pada hari Jumat. Kalau upacara dilakukan untuk mengenang kemerdekaan Indonesia agar (mungkin) jangan sampai lupa. Tetapi, ya entahlah. Saya berpendapat, tak lain, upacara bendera yang selalu dilakukan di sekolah-sekolah adalah bagian dari strategi negara untuk tanamkan dan salurkan nasionalisme Indonesia di hati dan pikiran anak-anak sekolah. Terutama di Papua. Ya, nasionalisme Indonesia yang murahan itu. Ya, begitulah kira-kira.

ads

Tetapi, itu harus dimaklumi. Kalau pun demikian, tidak heran. Dan tidak perlu bertanya. Karena sejarah negaranya ini saja banyak yang tak benar. Semua disulap. Semua diputarbalik. Jadilah Indonesia bayangan. Terus mau apalagi. Tidak ada. Dan tidak ada yang benar dan patut dibanggakan.

Lalu, kalau untuk menanamkan nasionalisme Indonesi, perlukah upacara bendera dilakukan setiap Senin? Atau haruskan setiap hari Senin adakan upacara bendera? Apa bedanya kalau bikin upacara sebulan sekali, dengan setiap hari Senin? Maknanya sama. Tidak ada yang lebih dan tidak ada yang kurang. Pesan dari prosesi upacara itu tidak berarti apa-apa.

Terus, upacara bendera setiap hari Senin di sekolah ‘epen ka?

Sekarang, selain tradisi upacara bendera di sekolah-sekolah, mari kita lihat sama-sama apa yang biasa dilakukan dan terjadi berulang, setiap tahun di Papua ini. Terutama pada dua momen khusus di Papua. Bagi kebanyakan orang, itu lucu. Bagi sebagian orang, itu kewajiban. Kewajiban untuk menunjukkan bahwa Papua adalah benar-benar bagian dari Indonesia. Dan karena ‘dianggap’ sudah benar-benar bagian dari Indonesai, maka di Papua ini tidak ada masalah apa pun. Termasuk bendera Merah Putih di atas Tanah Papua.

Baca Juga:  Politik Praktis dan Potensi Fragmentasi Relasi Sosial di Paniai

Dua momen yang khusus di Papua, yang bagi sebagian orang lucu karena terlalu memaksa dan bagi sebagian orang adalah kewajiban. Dua momen itu adalah momen 1 Mei dan momen 17 Agustus.

1 Mei, oleh Indonesia dianggap sebagai hari kembalinya Irian Barat ke pangkuan RI. Iyo ka, tuan, sabar dulu, ini Irian Barat setelah kemana, lalu kembali ke Indonesia? Atau kembali ke Indonesia setelah bepergian kemana ya? Hahaha…. Dan momen yang kedua, adalah 17 Agustus sebagai hari proklamasi kemerdekaan Indonesia.

Pertama, 1 Mei di Papua adalah hari yang kontroversional. Di samping hari Buruh Internasional, di Papua pada 1 Mei ada dua pandangan yang saling bertolak belakang. Pertama, oleh Indonesia setiap 1 Mei diperingati sebagai hari kembalinya Irian Barat ke Indonesia. Dan bagi orang Papua, tanggal 1 Mei adalah hari aneksasi Papua ke Indonesia.

Misalnya, 1 Mei tahun ini, TNI bersama KNPI Keerom dan beberapa masyarakat bentangkan bendera berukuran 120×80 meter di lapangan kampung Skofro, Arso Timur, Papua. Di kampung inilah yang setahun lalu dikabarkan dua (pencuri) tukang kayu yang hari-hari bekerja sebagai penebang kayu diculik (katanya oleh OPM. OPM siapa dan dari mana?).

Atau misalnya, sekelompok warga yang mengatasnamakan orang Sentani bakar bendera Bintang Fajar di kantor bupati Gunung Merah, Sentani. Sekelompok orang ini, mengaku setia kepada NKRI dan menolak KNPB, ULMWP dan lainnya. Hal yang sama dilakukan juga di kantor DPR Papua.

Selain itu, mereka juga melakukan pawai bendera Merah Putih di Abe – Jayapura. Anehnya, yang melakukan pawai, bakar bendera dan lain-lainnya ini adalah orang non Papua dan sedikit orang Papua (binaan Jakarta). Kalau saya mau bilang, ini seperti seorang tamu yang dengan tak tahu malunya demo tuan rumah. Tuan rumah yang dengan terbuka selama bertahun-tahun selalu memberikan apa pun yang dicari. Mulai dari cari makan untuk perut sampai memperkaya diri. Juga, pembakaran bendera Bintag Fajar dan menolak KNPB ini dilakukan di beberapa kota di Papua, antara lain Keerom, Wamena dan Merauke. Tak lain yang melakukan ini adalah kelompok Barisan Merah Putih, Lembaga Masyarakat Adat dan kelompok-kelompok binaan Jakarta lainnya.

Pada tanggal dua Mei, rakyat Papua, yang memiliki pandangan bahwa 1 Mei adalah hari aneksasi Papua ke Indonesia, terjadi penangkapan besar-besaran di Jayapura. Ribuan orang ditangkap dan dibawa ke Markas Brimob Polda Papua. Mereka ditangkap saat hendak menuju ke kantor DPR Papua. Ada satu wartawan Suara Papua, Ardi Bayage tidak luput dari penangkapan itu.

Setiap tahun, dua kegiatan memperingati satu momen. Tetapi karena dasarnya berbeda pandangan, membuat peringatan 1 Mei selalu menjadi tanggal kontroversional. Indonesia, sejak bertahun-tahun lamanya, sadar bahwa bagi orang Papua, tanggal 1 Mei sangat bermasalah. Karena bagi orang Papua, ia adalah hari aneksasi atau hari pemaksaan terhadap orang Papua agar ikut Indonesia. Tetapi, bagi Jakarta, semuanya telah selesai. Dan tidak ada masalah. Sehingga tidak pernah secara terbuka melihat bahwa sejarah Papua dipaksakan bergabung dengan Indonesia perlu dilihat lagi letak kedudukan persoalan sesungguhnya. Jadinya, Jakarta selalu mengabaikan tuntutan orang Papua untuk pelurusan sejarah. Jakarta selalu diam dan membatu. Sehingga, yang ada adalah perbedaan pandangan dan itu tentu dan pasti terus berlanjut. Sampai kapan pun!

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Atau setiap tahun melakukan kegiatan apa pun. Entah bagi-bagi bendera, atau tanam bendera Merah Putih dari Sentani sampai Jayapura, atau bentangkan bendera, atau kibarkan berapa banyak bendera. Semuanya dilakukan dengan maksud ‘yang penting Papa Presiden dan papa Panglima senang’ dan orang di luar Papua tahu kalau orang Papua benar-benar merasa nyaman dengan Indonesia. Pertanyaannya, benarkah orang Papua merasa nyaman di dalam (bersama) Indonesia?

Kedua, momen 17 Agustus. Pada momen ini, segala cara dilakukan. Mulai dari gelar upacara bendera di dalam tanah, seperti yang dilakukan di PT Freepot, kibarkan bendera di dalam air. Kibarkan bendera di udara. Itu sudah biasa. Sudah kehabisan cara, sehingga mencari cara lain. Yang dilakukan pada tahun ini, antara tanggal 16 dan 17 adalah selain seperti biasa gelar lomba-lomba.

Tahun ini, maksud saya pada momen 17 Agustus 2016, contohnya, di Tembagapura, TNI bagi-bagi bendera kepada warga, di Sorong Papua Barat, salah satu calon kandidat gubernur melalui tim suksesnya bagi-bagi bendera sejumlah 4.0000 helai kain bendera jadi, di Raja Ampat, bentangkan bendera (katanya) raksasa dan cetak rekor MURI, juga di Pegunungan Bintang, TNI dorang bentangkan bendera yang cukup besar di salah satu bukit di sana.

Seorang kawan, beberapa hari lalu bilang, di kompleknya, dua hari sebelum ujian, ada yang jalan dengan mobil dan berikan pengumuman untuk pasanh bendera di setiap rumah. Selain itu, ikut lomba tarik tambang, gigit telur, gigit sendok eh salah, maksudnya gigit keripik. Seperti itulah yang selalu dilakukan setiap tahun tanpa bosan dan bosan.

“Nasionalisme Indonesia memang nasionalisme ‘pengumuman’, nasionalisme umbar rekor dan ‘pamer-pamer’-an dan nasionalime karnaval,”. Begitulah kata kawan saya, kemarin sore, saat mendengar ada orang jalan dengan mobil dan toa di tangan sambil berikan pengumuman untuk warga ikut berpartisipasi.

Bendera Merah Putih ‘epen ka?’

Lalu, pertanyaan berikut. Benarkah orang Papua merasa 17 Agustus adalah hari kemerdekaan orang Papua? weitss… tak cukup hanya dengan berikan jawaban ya atau tidak.

Untuk memastikannya, datanglah dan jalanlah ke rumah-rumah milik orang asli Papua. Sangat kecil kemungkinannya bahwa kamu akan mendapati sebuah tiang dengan bendera Merah Putih tergantung dan sedang berkibar di tiang itu. Kalau di jalan-jalan, kamu akan lihat ada bendera berkibar. Itu adalah rumah-rumah milik orang non Papua. Ya, karena merekalah yang menguasai perekonomian dan tempat-tempat strategis. Sehingga, rumah-rumah yang ada di depan jalan besar, sudah pasti rumahnya milik orang non Papua.

Baca Juga:  Indonesia Berpotensi Kehilangan Kedaulatan Negara Atas Papua

Sabar… masih ada lagi. Kalau ada bendera berkibar di depan rumah orang Papua, berarti bisa dipastikan, bahwa ia adalah pejabat birokrasi atau pejabat swasta yang setia pada negara. Atau, jangan jauh-jauh. Datanglah ke Waena Kampung di Waena, markas Barisan Merah Putih, tempat di mana paitua Rambo alias Ramses Ohee, ketua Barisan Merah Putih Provinsi Papua berkantor dan bermarkas. Kamu tak akan terkejut, karena memang di sana ada bendera yang dipasang di tiang-tiang kecil lalu ditanam di depan rumah mereka.

Ikut upacara pengibaran bendera merah putih setiap 17 Agustus, ikut pasang bendera Merah Putih di depan rumah ‘epen ka?’

Sobat, saya mau kastau. Sudah satu abad lebih Papua dipaksa untuk bergabung dengan Indonesia. Satu abad tidak cukup untuk meng-INDONESIA-kan orang Papua? Satu abad, waktu yang cukup lama. Dari waktu ke waktu, klaim ini dan itu. Dari waktu ke waktu, kekerasan terhadap orang Papua terus dilakukan oleh negara, melalui aparatnya. Dari waktu ke waktu, SDA Papua dikeruk habis-habisan. Dari waktu ke waktu, hutan Papua terus dibabat. Kayu-kayu Papua terus di’curi’. Dan masih banyak lagi.

Lalu, tuan tidak malu? Di sini, kelakuan negara makin hari makin busuk. Terus, tuan kampanyekan di sana, bahwa Papua aman, Papua tidak bermasalah, Papua baik-baik saja. TIDAK…! Saya bilang tidak! Papua sedang hancur-hancuran. Sudah begitu, tuan di hadapan rakyat tuan sendiri, dan di hadapan tamu-tamu tuan yang rata-rata orang ‘asing’, tuan kampanye pembangunan, kesejahteraan, dan lainnya.

Jadi, sama sekali tidak ada cerita orang Papua bangga menjadi bagian dari Indonesia. Sekali lagi, orang Papua tidak pernah merasa bangga menjadi bagian dari Indonesia. Bersama Indonesia, harapan hidup orang Papua makin pendek. Orang Papua makin habis. Titik!

Benny Mawel, jurnalis Jubi, dalam artikelnya berjudul ‘1 Mei Indonesia VS 1 Mei West Papua’, mengatakan, pembangunan Papua tidak bisa dilihat dari berapa banyak Jakarta melahirkan UU untuk Papua. Berapa besar anggaran yang dikucurkan Jakarta ke Papua. Berapa banyak wilayah yang dimekarkan, berapa banyak ruko-ruko yang dibangun atau berapa banyak anak Papua yang menjadi pejabat. Pejabat Papua itu segelintir orang saja. Mereka itu hanya penerima manfaat atas penderitaan orang Papua.

Karena itu, pembangunan Papua harus menyeluruh, merata dan menyentuh semua lapisan orang Papua di segala lini, di semua wilayah. Papua Gunung sampai Pantai. Papua kampung sampai Papua yang ada di kota. Semua harus menikmati akses politik, sosial, budaya, pendidikan, kesehatan dan ekonomi yang sama.

Kalau tidak, semua menjadi tong kosong, nyaring bunyinya. Korban akan terus berjatuhan. Sebelum korban lebih banyak, lebih baik mencari solusi yang manusiawi, solusi terbaik, sebagaimana yang ditawarkan orang Papua saat ini: Referendum atau Dialog Jakarta – Papua.

Pertanyaannya, Indonesia sudah merdeka 71 tahun. Apakah orang Papua sudah merasa nyaman berada dalam Indonesia dan apakah orang Papua sudah merasa bahwa mereka (orang Papua) adalah benar-benar (bagian dari) Indonesia?

Selamat hari proklamasi kemerdekaan Indonesia ke-71.

Penulis adalah jurnalis di suarapapua.com

Artikel sebelumnyaHUT Kemerdekaan Indonesia ke-71, KNPB Lantik Pengurus KNPB Wilayah Port Numbay
Artikel berikutnyaDi Dogiyai, Miras Dilarang Dijual