“Kawan, Hanya Satu Kata”

0
2790

Oleh: Mbagimendoga Uligi

Kata Kawan, “Penjajahan di atas dunia harus dihapuskan/ Kolonialisme harus dibasmi. Kapitalisme harus diusir. Pembunuhan atas nama pembangunan harus diakhiri”.

Saya yang berfikir soal otonomi khusus, pemekaran wilayah dan anggaran pembangunan kampung bingung. Saya mencegahnya sebelum dia lanjut bicara.

“Apa lagi yang ko bicara kawan? Apakah benar ada penjajahan, kolonialisme, kapitalisme di Papua?”

Kawan, dia nampak marah. Wajahnya memerah. Ia marah atas komentar bodoh itu, tetapi karena teman baik, dengan nada datar, ia menutur.

ads

 “Ah kawan, ko jangan pura-pura tanya begitu. Ko su tahu baru”.

“Ah kawan, benar ni. Ko jangan fikir begitu. Ko jangan anggap saya sudah sekolah tinggi-tinggi jadi tahu semuanya. Belum tentu saya tahu kawan,”ungkapku serius.

Ia mengambil kamus lalu membaca…. baca buku juga… Kolonialisme itu kata dasarnya koloni. Koloni berarti daerah penempatan penduduk.  Pendudukan dengan maksud memperluas wilayah kekuasaan.

Ia membuka halaman lain. Katanya, Kapitalisme itu kata dasarnya capital. Kapital berarti modal dalam usaha jual beli dalam rangka mencari untung. Kata untung  menjadi basis etika dari kapitalisme. Kapitalis akan menimpu, merampas, mengklaim dan bahkan membunuh  kalau itu menguntungkan dirinya.

Kolonisasi Wilayah

Kawan! Kita diskusi lebih serius lagi ee…  Koloni, dalam konteks politik, berarti kelompok orang yang bermukim di daerah baru yang merupakan daerah asing, sering jauh dari tanah air dan tetap mempertahankan ikatan dengan  tanah air atau Negara asal.

“Kawan begitu. Orang-orang asing yang menempati wilayah kita dalam rangka pemerataan penduduk. Pemerintah dong bilang transmigrasi itu pendudukan wilayah,” ungkapnya.

Ia mulai litani panjang daerah trans di Papua. Ada di Keerom, Timiks, Jayapura, Nabire, Merauke, Manokwari dan Sorong. Pemerintan mendatangkan penduduk ke wilayah itu sejak tahun 1970, 1980 dan 1990 an. Mereka sudah beranak cucu di sana. Ada yang mulai klaim diri anak adat.

Pasca trans resmi, migran gelap pun banjir. Mereka mulai menduduki wilayah-wilayah kabupaten kota hingga kampung. Jumlah mereka makin bertambah. Jumlahnya melebihi penduduk setempat dari waktu ke waktu.

Usaha-usaha ekonomi mereka berkembang pesat. Orang asli belum mengalami perubahan sistem ekonomi. Orang asli masih berfikir ada hari ini, habis hari ini. Tidak berfikir masa depan, lebih dari yang diperoleh.

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Indokator eksisnya pendudukan secara ekonomi dan demografi terlihat jelas dalam pertarungan politik pemilihan kepala daerah. Pencalonan pemilihan kepala daerah satu dekade terakhir, demi suara dan dana, orang setempat berpasangan wakil pendudukan.

Cara mainnya sangat logis demi sebuah kemenangan. Kalau tidak berpasangan, celaka. Tidak mendapat dukungan suara dan finansial. Orang migran dipasang untuk mensuplai dana tetapi juga suara.

Pegaturan macam ini berdampak ketika terpilih. Orang nomor dua menjadi pegendali finansial daerah. Orang nomor satu tidak lebih dari simbol politik atas nama otonomi khusus Papua. Pembangunan macet. Orang Papua yang dipersalahkan.

“Kawan itu sudah. Itu pusat-pusat koloni pemerintah Indonesia sudah lama dibentuk dan makin eksis. Mereka eksis secara politik dan ekonimi dapat menghancurkan secara pelan tetapi pasti,” tegasnya sambil kunya pinang dan sirih.

“Oh jadi pemerintah menempatkan penduduknya supaya menguasai daerah kita atas nama pemerataan penduduk dengan maksud memperluas wilayah negaranya,”.

“Ah kawan ini semakin pandai saja membuat kesimpulan. Logikanya semakin tajam menilai realitas yang sedang lama berlangsung atas nama pembangunan nasional,”.

Kapitalisme Koloni

Kawan kita beralih bicara kapitalisme koloni. Kapitalisme dari kata dasar capital. Modal dalam perniagaan (jual beli barang untuk memperoleh keuntungan lebih). Modalnya bersumber pribadi atau perusahaan swasta.

Etika dari pemilik modal itu untung. Karena itu, demi keuntungannya, pemodal bisa melakukan apa saja. Termasuk, pemodal, baik itu individu maupun kelompok koloni melegalkan pembunuhan. Karena itu, ko lihat, Mereka datang membawa uang dan senjata.  Uang, mereka hamburkan kepada masyarakat demi menghasilkan uang lebih. Moncong senjata ditunjukan untuk menakut-nakuti dan membungkam masyarakat yang menolak.

“Coba ko lihat saja. Mereka ancam tembak, dan tidak segan-segan menembak mati pemilik hutan dan tanah mereka ambil,” katanya.

Hutan-hutan rimba hasil rebutan itu mereka babat dan mulai habis. Lahan-lahan perkebununan kelapa sawit makin meluas. Sungai-sungai mulai tercemar limba perusahaan. Ikan-ikan dalam air mulai mati keracunan.   Manusia yang mengkonsumsi ikan dan air yang tercemar terancam terserang penyakit.

Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

“Kawan ko benar sekali. Hasilnya, ko bisa lihat. Mereka bisa membeli mobil mewah, membangun rumah mewah, makan enak. Ada waktu untuk jalan-jalan mengunakan uang. Lalu ko dapat apa ?” tanya dia.

Di gedung-gedung mewa yang dibangun, mereka menajikan menu-menu hiburan yang stress dan depresi. Pemilik hak ulayat, yang mendapat uang sedikit dari pemodal, menikamti hiburan di bar-bar pemilik modal. Uang dia kembali ke sana dengan membeli alkohol dan hiburan lain. Alkohol yang mengadung zat methanol dan ethanol yang berbahaya pun dikonsumsi atas nama menghibur diri.

“huff…pembunuhan sistematis” dia menarik nafas panjang. “Ko tinggal di gubuk-gubuk, makan enak dan sehat ka tidak e… waktu olahraga ada ka tidak. Ko yang punya hutan luas baru. Kasihan ko tidak dapat apa-apa. Ko hanya mendapat penderitaan”.

Hapus  Kapitalisme Koloni

Penderitaan itu tidak akan pernah berakhir. Penderitaan maki eksis kalau tidak ada upaya meminimalisir masalah hingga upaya mengakhiri cerita buruk. Karena itu, perlu menempuh langkah-langkah kongkrit.

Pertama, proses penyadaran? Penyadaran terhadap individu-individu yang terjebak dalam sistem ‘kebenaran’ kolonialisme dan kapitalismes. Penyadaran ini sangat penting lantaran sistem penjajahan yang menahu sudah dianggap masyarakat umum sebagai kebenaran mutlak.

Karena itu, masyarakat akan merasa terancam kalau ada upaya baru penghancuran kebenaran semu. Masyarakat atau indvidu-individu yang sudah lama dengan sistem kapitalisme koloni akan menentang dengan anggapan tidak ada kebaikan diluar sistem lama. Karena itu, aktivis pro perubahan harus kerja ekstra untuk mengikis kepercayaan kebenaran sistem kapitalis yang menindas, memeras dan membunuh itu.

Karl Marx mengatakan perubahan satu sistem yang menjajah yang sudah mendarah daging tidak semuda membalik telapak tagan. Perubahan sistem membutuhkan perjuangan panjang. Kaum revolusioner, saran Marx, harus menempuh jalang pajang untuk merubah sistem lama yang mendarah daging.

“ Perjuangan utama yang harus ditempuh kaum revolusioner itu mereformasi kesadaran penuh dan menyeluruh dengan basis perubahan rakyat proletar,” tulis Georg Lukacs dalam Dialektika Marxis, Sejarah dan Kesadaran Kelas.

Baca Juga:  Adakah Ruang Ekonomi Rakyat Dalam Keputusan Politik?

“Reformasi kesadaran tidak lain adalah mendorong dunia untuk menyadari kesadarannya sendiri, menyadarkannya dari mimpinya tentang dirinya sendiri, menjelaskan tindakan-tindakannya kepada dirinya sendiri… akan terlihat bahwa dunia sudah lama terbuai mimpi tentang sesuatu yang untuk memilikinya di dalam kenyataan, hanya harus memilikinya di dalam kesadaran”.

Kedua, penyatuan nasional. Orang-orang yang sadar itu otomatis akan bersatu dalam kesadarannya. Karena itu, kerja penyadaran harus lebih focus dan serius. Penyadaran yang serius akan membawa kepada penyatuan individu-individu ke dalam satu kesadaran bersama.

Ketiga, orang-orang yang sadar dengan ruang dan waktu keberadaan masa lalu dan ke depan akan menentukan tindakan yang tepat. Satu tindakan yang bakal tepat adalah mengangkat satu bendera “Lawan” untuk mengahiri cerita buruk kapitalisme dan kolonialisme.

“Kawan, Hanya Satu Kata”

Kata Kawan, “Penjajahan di atas dunia harus dihapuskan/ Kolonialisme harus dibasmi. Kapitalisme harus diusir. Pembunuhan atas nama pembangunan harus diakhiri”.

Saya yang berfikir soal otonomi khusus, pemekaran wilayah dan anggaran pembangunan kampung bingung. Saya mencegahnya sebelum dia lanjut bicara.

“Apa lagi yang ko bicara kawan? Apakah benar ada penjajahan, kolonialisme, kapitalisme di Papua?”

Kawan, dia nampak marah. Wajahnya memerah. Ia marah atas komentar bodoh itu, tetapi karena teman baik, dengan nada datar, ia menutur.

 “Ah kawan, ko jangan pura-pura tanya begitu. Ko su tahu baru”.

“Ah kawan, benar ni. Ko jangan fikir begitu. Ko jangan anggap saya sudah sekolah tinggi-tinggi jadi tahu semuanya. Belum tentu saya tahu kawan,”ungkapku serius.

Ia mengambil kamus lalu membaca…. baca buku juga… Kolonialisme itu kata dasarnya koloni. Koloni berarti daerah penempatan penduduk.  Pendudukan dengan maksud memperluas wilayah kekuasaan.

Ia membuka halaman lain. Katanya, Kapitalisme itu kata dasarnya capital. Kapital berarti modal dalam usaha jual beli dalam rangka mencari untung. Kata untung  menjadi basis etika dari kapitalisme. Kapitalis akan menimpu, merampas, mengklaim dan bahkan membunuh  kalau itu menguntungkan dirinya.

Penulis adalah tukang angkut barang di pelabuhan Hollandia.

Artikel sebelumnyaVictor Mambor: Aparat Masih Arogan Hadapi Pers dan Aktivis Sosial di Papua
Artikel berikutnyaBupati Intan Jaya dan Polda Papua Akan Tiba di Sugapa Hari Ini