ArtikelGKI di Tanah Papua: Bertumbuh dari Pekabaran Injil

GKI di Tanah Papua: Bertumbuh dari Pekabaran Injil

Oleh: Yan Christian Warinussy

Pada tanggal 26 Oktober 2016 yang akan datang, Gereja Kristen Injili (GKI) di Tanah Papua sebagai salah satu gereja besar dan tertua di Tanah Papua akan bertambah usianya menjadi 60 tahun.

Itu terhitung sejak Sidang Sinode yang pertama kali dilaksanakan pada tanggal 18 sampai dengan 29 Oktober 1956 bertempat di Gedung Gereja GKI Harapan, Abepura (Hollandia Binnen).

Sesungguhnya GKI di Tanah Papua adalah sebuah Gereja Kristen yang bertumbuh seiring dengan datangnya Kabar Baik atau Injil yang dibawa dari Benua Eropa dan tiba pertama kalinya di pantai pasir putih Pulau Mansinam, di bibir Teluk Doreh, Kabupaten Manokwari pada tanggal 5 Februari 1855 oleh dua zendeling, Carl Willem Ottow dan Johann Gottlob Geissler.

Semenjak itu, mereka berdua bekerja keras dalam menumbuhkan Injil itu menjadi nyata, dengan berupaya membangun kumpulan orang-orang percaya yang keluar dari muka bumi untuk menyembah Yesus Kristus, Sang Khalik sendiri.

Pekerjaan yang sudah dirintis oleh Ottow dan Geissler, kemudian diteruskan oleh sejumlah pendeta-pendeta dari Negeri Belanda seperti J. L. van Hasslet dan anaknya F. J. F. van Hasslet, G. L. Bink, Mosche, Wolders, Jens dan lain sebagainya hingga menumbuhkan Gereja Kristen, yang kala itu masih banyak menggunakan liturgi berbahasa Belanda dan sedikit Melayu, maupun beberapa bahasa lokal seperti Numfor, Wandamen maupun Tabi.

Inilah wujud awal dari apa yang kemudian saat ini disebut sebagai Gereja Kristen Injili (GKI) Di Tanah Papua. Itulah yang ditulis oleh mantan Ketua Sinode GKI di Tanah Papua yang pertama, yaitu Domine Filep Jacob Spener (F. J. S) Rumainum dalam buku “Sepuluh Tahun GKI Sesudah Seratus Satu Tahun Zending di Irian Barat” (kini : Tanah Papua).

Baca Juga:  Adakah Ruang Ekonomi Rakyat Dalam Keputusan Politik?

Dia (F.J.S. Rumainum) menulis seperti ini: …”Pembentukan Bakal GKI Di Irian Barat dilaksanakan. Sejak dahulu pekerjaan pendeta Zending tiap-tiap hari dilakukan di dalam sebuah bilik dari rumah pendeta yang disebut kantor pendeta. Sesudah organisasi bertambah besar dan meluas, dan dengan pengangkatan wakil pendeta serta juru tulis yang membantu pekerjaan-pekerjaan tiap-tiap hari, maka perlu dibangunkan kantor yang dipergunakan sebagai kantor bakal sinode resor atau kantor sinode resor.”

Rupanya hal ini yang ikut mendasari dilaksanakannya Konperensi Pendeta-pendeta utusan pada tahun 1950 di Serui yang antara lain memutuskan akan memanggil suatu Bakal Sinode atai Sinode Persediaan (Proto-Synode).

Kemudian pada tanggal 13 sampai dengan 24 September 1954 (kurang lebih 2 tahun sebelum berdirinya GKI di Tanah Papua), dilangsungkan Sidang Pleno Sinode Persediaan (Proto-Synode) di Serui.

Di dalam Sidang Pleno Sinode Persediaan (Proto-Synode) tersebut, konsep Tata Gereja (GKI DI Tanah Papua) dibicarakan oleh para utusan bakal GKI. Dan juga pada waktu itu diresmikan Sekolah Pendeta yang telah dibuka di Serui.

Adapun daftar keanggotaan pada Proto-Synode di Serui tahun 1954 tersebut adalah sebagai berikut: 1. Resor Hollandia/Nimboran, 2. Resor Sarmi, 3. Resor Japen/Waropen, 4. Resor Biak/Numfor, 5. Resor Miei, 6. Resor Manokwari, 7. Resor Sorong, 8. Resor Teminabuan, 9. Resor Inanwatan, 10. Urusan Umum Persekolahan Kristen, 11. Sekolah Theoligia, 12. Persekolahan, 13. Abepura (Kota baru Dalam), 14. Utusan pihak Zending, 15. Kesehatan, 16. Pertanian, 17. Penasihat-penasihat, dan 18. Tamu-tamu.

Pimpinan sinode saat itu terdiri dari: Pdt. R.G.t en Kate S.H sebagai Ketua, Pdt. A. M. Middag (Sekretaris I), Pdt J. Tenlima (Sekretaris II) dan Dr. G.P.H. Locher sebagai Penasihat.

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Susunan pimpinan sinode tersebut di atas menunjukkan kepada kita betapa GKI di Tanah Papua saat itu adalah orang-orang non Papua, tapi diterima oleh semua utusan yang hadir dalam sidang tersebut tanpa protes yang berbau etnis maupun rasial.

Itu semata-mata sejalan dengan alasan GKI di Irian Barat, yaitu mengaku bahwa ialah persekutuan segala jemaat Kristen yang menurut panggilan Tuhan dibangunkan di atas alas segala Rasul dan Nabi-nabi dan yang batu penjurunya ialah Yesus Kristus sendiri (Efesus 2 : 20).

Suatu hal yang merupakan catatan sejarah yang seharusnya senantiasa diingat oleh semua warga jemaat GKI DI Tanah Papua, termasuk dan terutama para Pemimpinnya di tingkat Sinode, Klasis hingga Jemaat adalah bahwa di dalam suasana yang tidak seperti jaman komputerisasi dan internet bahkan WhatsApp dewasa ini, tapi para pemimpin gereja di saat itu telah mampu bersehati dalam menyusun Konsep Tata Gereja yang terdiri dari enam Bab.

Keenam Bab dati Tata Gereja tersebut memuat hal-hal mengenai pengakuan, amanat dan tugas-tugas dari pendeta, guru jemaat, penginjil, penatua dan penatuati, syamas-syamaset serta susunan organisasi. Juga soal-soal tentang Jemaat, Klasis, Resor dan Gereja (Sinode Umum) dan satu bab mengenai usul-usul perubahan dan sebagainya, yang antara lain mengenai Peraturan Klasis berbahasa Belanda dan Peraturan pemilihan.

Konsep Tata Gereja yang telah disusun dan disetujui dalam sidang pleno Sinode Persediaan (Proto-Synode) di Serui tersebut, kemudian diperbanyak dan dikirim kepada semua majelis jemaat dan bakal jemaat untuk dibahas lagi di dalam persidangan majelis jemaat. Kemudian dibahas lagi di dalam persidangan Klasis. Hasil pembicaraan di dalam klasis dikirimkan kepada persidangan Sinode Resor untuk dibahas pula di sana.

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Dengan demikian, konsep Tata Gereja sudah dibahas oleh semua organisasi secara bertangga naik, sebagaimana ditulis Domine F.J.S. Rumainum pada halaman 48 dari buku “Sepuluh Tahun GKI Sesudah Seratus Satu Tahun Zending di Irian Barat”.

Jadi seorang warga jemaat GKI yang pernah saya temui mengatakan bahwa ini adalah bukti dari pelaksanaan demokrasi yang tidak bisa dibantah oleh siapapun.

Sebab, untuk membangun sebuah organisasi besar termasuk negara, maka yang pertama harus dilakukan adalah merumuskan konstitusi dari negara itu, seperti halnya Tata Gereja tersebut dan kemudian disepakati bersama sebelum memilih dan mengangkat sedikit orang terpilih dari banyak yang dipanggil untuk memimpin organisasi seperti GKI Di Tanah Papua sebagai sebuah Gereja Kristen yang Independen dan Mandiri serta memiliki sebuah Batu Penjuru yaitu Tuhan Yesus Kristus sendiri sebagai Kepalanya.

Inilah yang menurut pandangan saya sebagai sekretaris Komisi Hak Asasi Manusia, Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (HAM dan KPKC) Badan Pekerja Klasis GKI Manokwari, perlu kiranya diresapi oleh semua umat GKI Di Tanah Papua.

Terlebih khusus saudara-saudara yang telah dipilih dan dipercayakan saat ini sebagai Pemimpin Gereja Tuhan ini dalam mengarungi perkembangan global dan situasi sosial-politik dan supremasi hukum serta perlindungan hak asasi manusia dari umat Tuhan di seluruh Tanah Papua dewasa ini.

Ini sangat penting, karena ada tugas GKI yang terpenting antara lain adalah menggembalakan anggota jemaat dengan sabda Allah dan sakramen serta melakukan penggembalaan menurut teladan Kristus sendiri.

Penulis adalah sekretaris Komisi HAM dan KPKC pada Badan Pekerja Klasis GKI Manokwari. Direktur Eksekutif LP3BH Manokwari dan peraih Penghargaan Internasional di Bidang HAM “John Humphrey Freedom Award” Tahun 2005 dari Canada.

Terkini

Populer Minggu Ini:

Freeport Setor Rp3,35 Triliun Bagian Daerah atas Keuntungan Bersih 2023

0
“Keberhasilan kami sebagai perusahaan adalah ketika masyarakat di lingkungan sekitar area operasional meningkat taraf hidup dan kesejahteraannya. Kami terus bertumbuh dan berkembang bersama Papua hingga selesainya operasi penambangan pada 2041,” kata Tony.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.