Sepenggal Kisah Neli Nawipa dan Marina Wandikbo

1
3227

Oleh: Andy Tagihuma

Sore itu Neli Nawipa mengisahkan pengalamannya sebagai guru di daerah terpencil, di Kabupaten Jayawijaya. Saya sangat termotivasi dengan suasana ini, karena dengan demikian, setiap pelajaran yang saya berikan, selalu diikuti dengan riang gembira. Ketika melihat anak-anak mulai jenuh di dalam kelas, saya ajak mereka keluar ruangan dan menggelar proses belajar-mengajar di halaman, diselingi permainan yang menyenangkan.

Saya memanfaatkan apa saja yang ada di pekarangan sekolah untuk bahan simulasi. Neli mengawali ceritanya sambil membayangkan situasi di tempatnya bertugas.

Sebagai seorang guru, saya sudah lama mendambakan penyegaran, terutama berkaitan dengan materi-materi pembelajaran dan metodologinya. Penyegaran ini saya butuhkan karena saya bertugas di sebuah wilayah yang sangat jauh dari pusat informasi. Terpencil.

Ternyata, menguasai metode pembelajaran yang baik itu sangat menyenangkan, bahkan suasana bisa menjadi sangat komunikatif antara saya sebagai guru dengan anak-anak. Bahkan, anak-anak sangat rindu akan kehadiran saya, sehingga ketika saya tidak hadir ke kelas untuk mengajar mereka, pada keesokan harinya, mereka selalu bertanya, “Ibu, kenapa ibu guru tra masuk sekolah kemarin?”

ads

Wamena, Kabupaten Jayawijaya, itulah tempat aku mengabdi, tepatnya di SD Negeri Wamena. Sebelum mengabdi di situ, saya ditempatkan di SD Inpres Yanengga. Kini 20 tahun sudah saya meniti karier sebagai guru.

Saya terpanggil menjadi guru karena terinspirasi oleh ayah saya yang juga seorang guru di Wamena. Ayah bagi saya adalah sang guru yang berwibawa. Apa yang diajarkan, selalu didengar oleh anak-anaknya. Karena itu, sejak kecil, saya terinspirasi dengan ayah dan bercita-cita menjadi guru. Saya ingin mendidik anak-anak Papua nun jauh di pegunungan, membimbing dan membentuk mereka menjadi pribadi-pribadi yang siap di kemudian hari untuk menghadapi masa depan penuh tantangan.

Baca Juga:  Politik Praktis dan Potensi Fragmentasi Relasi Sosial di Paniai

Jayawijaya adalah sebuah kabupaten di Pegunungan Tengah Papua yang sangat terisolir secara geografis. Untuk menjangkau kabupaten tersebut, saya harus menumpang pesawat dari Jayapura. Namun saya tidak gentar karena saya juga berasal dari wilayah Pegunungan Tengah Papua, tepatnya Paniai. Karena itu, dengan senang hati saya menerima tugas sebagai guru di Jayawijaya.

Seperti kebanyakan guru di pedalaman, tantangan memang luar biasa berat. Tidak hanya soal jarak, tetapi juga mentalitas masyarakat untuk menyekolahkan anak. Gedung sekolah, ruang kelas, dan buku-buku pelajaran masih sangat terbatas.

Setiap hari, selama dua jam, saya menghabiskan waktu di perjalanan dengan kendaraan roda empat dari rumah menuju tempat tugas saya di SD Inpres Yanengga, Distrik Bolakme. Bila terlampau sore, tidak ada kendaraan yang menuju Yanengga, semuanya parkir menunggu penumpang di Wosi, saya harus berjalan kaki 10 kilometer menuju Wosi untuk pulang ke Wamena.

Dari begitu banyak persoalan yang dihadapi, saya terus berusaha mencari metode paling ampuh untuk membuat murid-murid betah bersekolah. Saya juga terus menyadarkan para orangtua, agar mau menyekolahkan anak-anak mereka, terutama anak perempuan. Perhatian khusus terhadap anak-anak perempuan memang patut dilakukan, karena banyak orang tua memilih menikahkan anak-anak sejak masih remaja dan mengabaikan pendidikan bagi masa depannya.

Ada penggalan kisah yang jika saya ingat, selalu membuatku terharu dan meneteskan air mata. Kisah tentang seorang anak perempuan bernama Marina Wandikbo, murid saya yang cacat pada salah satu kakinya. Namun, saat baru naik kelas V SD, orangtuanya menikahkan anak itu. Kegetiran hidup pun mulai menghampiri gadis putus sekolah itu, ketika sang suami meninggalkannya.

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Penderitaan Marina kian memuncak. Sudah cacat fisik, menanggung status janda pula. Saat mendengar ada guru perempuan yang baru datang dari kota untuk mengajar di kampungnya, ia dengan bersusah payah berenang menyeberangi Sungai Baliem untuk bertemu saya. “Ibu, saya senang ada guru perempuan, di sini semua guru laki-laki, saya mau sekolah,” begitu pinta Marina pada saya.

“Kenapa kau berhenti sekolah?”

“Orang tua kasih kawin saya, tapi sa punya suami kasih tinggal saya.”

Saya katakan padanya, “Perempuan normal saja ditinggalkan para suami, apalagi kamu perempuan cacat. Kau masuk kembali ke sekolah. Kau pasti bisa dan akan menjadi orang yang berhasil!” Perempuan itu pun kembali ke bangku pendidikan SD sampai tamat.

Belakangan ini, hati saya berbunga-bunga, karena pada musim testing masuk Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) tahun ini di lingkup Kabupaten Jayawijaya, Marina lulus sebagai guru Bahasa Indonesia. Ketika ia datang menyampaikan warta kelulusannya, ia mengatakan dengan jujur tentang kekurangannya.

“Ibu dengan kondisi kaki saya yang cacat ini, saya tidak kuat berdiri di depan kelas.” Saya terharu. Saya langsung bergegas ke Kepala Dinas Pendidikan Jayawijaya, memohon agar Marina tidak ditugaskan sebagai guru, karena kondisi fisiknya. Kepala Dinas memahami dan memperbolehkan Marina bekerja di Dinas Pendidikan.

Kini Marina bangga menjadi CPNS. Sebuah perjuangan sukses telah ia raih setelah bangkit dari kejatuhannya.

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Apa yang saya lakukan mungkin dilihat sebagai tindakan sepele, tetapi dampaknya akan jauh ke depan. Perempuan itu akan bercerita bahwa ia pernah jatuh terjerembab dalam kungkungan adat istiadat, namun berhasil bangkit untuk meniti masa depannya sebagai perempuan karier. Apalagi ia perempuan cacat.

Saya merasa, Marina hanyalah satu dari begitu banyak gadis-gadis di seluruh Tanah Papua yang bernasib sama. Ada yang mirip sama sekali, tetapi dalam bentuk dan jubah yang berbeda. Namun, yang penting, harus ada keberanian untuk mendobrak kemapanan budaya, salah pandang dalam masyarakat dan kebijakan yang kurang memihak perempuan dan anak-anak, agar lebih banyak lagi “Marina-Marina” lain yang terselamatkan dari tindakan mengawinkan mereka saat masih gadis remaja, mempekerjakan mereka di ladang atau bentuk eksploitasi lain, tanpa memperhatikan pendidikan sebagai bekal hidup di kemudian hari.

Ketika mengingat, saya terus meneteskan air mata, mengenang perjuangan Marina dan keberanian saya mendobrak tradisi. Semoga hikmah dari cerita mengenai Marina ini bisa memotivasi perempuan-perempuan Papua lainnya untuk sekolah, maju dan berkembang seperti laki-laki.

Kedekatan saya dengan Marina, setipis kulit bawang, sampai-sampai dia memperlakukan saya tidak hanya sebagai guru, tetapi juga kawan sejati, teman curhat, sekaligus orangtua.

“Saya yakin, jika dengan metode pembelajaran yang baik, akan lebih banyak perempuan Papua yang betah di sekolah. Dan dengan bekal ilmu dan pengetahuan, mereka bisa merajut hari esok dengan pasti.” Neli mengakhiri ceritanya dengan mata berkaca-kaca.

Penulis adalah pegiat sastra di Papua.

Artikel sebelumnyaBagubau: Masyarakat Degeuwo Semakin Dimiskinkan
Artikel berikutnyaTimnas U-20 Vanuatu Lolos ke Final Piala Dunia