Hukum Manifestasi Egoisme Vs Kebenaran Papua

0
2793

Oleh: Mbagimendoga Uligi

Pertarungan antara hukum dan egoisme. Hukum sudah tidak berlaku di Papua. Egoisme menguasai dan ingin nikmat dan bahagia sendiri yang berlaku. Hukum yang menjamin kebahagiaan orang Papua akan Ketuhanan yang maha esa, kemanusiaan yang adil dan beradap, kedial sosial bagi seluruh rakyat Indonesia terabaikan.

Orang Papua yang hendak merealisasikan sila ke-Tuhan-an yang masa esa dalam aktivitas mereka, tetapi dibatasi. Ibadah-ibadah yang dibuat rakyat Papua dalam rangka memuji Satu Tuhan dalam perbedaan ideologi dijaga, dicurigai dan bahkan dibubarkan.

Kisah-kisah pendeta dicurigai. Pastor-pastor dikawal makin banyak. Bahkan terancam dibunuh. Pastor John Djongga, imam katolik, keuskupan Jayapura diancam dibunuh dan dikubur hidup-hidup di wilayah Keerom Papua dalam tahun 2007.

Kita belum tahu berapa banyak orang awam, aktivis yang menyuarakan kebenaran dan keadilan di Papua menghadapi ancaman. Kita katakan saja lebih dari ancaman para pastor dan pendeta.

ads

Usaha sang egois menguasai melalui jalur individu umat Tuhan tidak mempan. Pemilik ego menyusup masuk ke dalam tubuh organisasi gereja. Sinode-sinode dipecah bela menjadi dualisme kepemimpinan. Gereja Babtis menjadi dua sinode kepemimpinan Pdt. Socratez Sofyan Yoman dengan kantor Sinode di Padang Bulan Jayapura dan kepemimpinan Pdt. Perinus Kogoya dengan kantor Sinode di Kotaraja, Jayapura.

Kalau pewarta kebenaran, lembaga yang mengatur iman dan harapan yang menegakkan kebenaran orang dipecah bela, siapakah yang dimaksud ke-Tuhan-an yang maha esa itu? Apakah kekuasaan yang maha esa? Apakah egoisme yang maha kuasa? Apakah ketaatan buta yang maha kuasa? Apakah itu yang diharapkan dengan sila ketuhanan yang maha esa?
Apakah Rakyat diharapkan taat kepada egoisme atas nama ketuhanan yang maha esa? Ego manusia yang disembah bukan Tuhan. Lalu Tuhan di mana? Apakah ini yang orang bilang menjajah atas nama Tuhan atau menguasai dengan membaca ayat-ayat kitab suci?
Apakah demi maksud itu mengelar Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) digelar dimana-mana, di lapangan-lapangan terbuka?

Baca Juga:  Politik Praktis dan Potensi Fragmentasi Relasi Sosial di Paniai

Humm… kebaktian-kebaktian yang menghadirkan Benny Hin dari Amerikan dengan mengeluarkan milyaran rupiah itu tidak merubah perilaku manusia. Manusia malah makin tidak adil dan tidak beradab terhadap sesamanya.

Pejabat-pejabat menikmati anggaran otonomi khusus lebih banyak dari rakyatnya. Pejabat sudah dapat gaji, mengambil anggaran perjalanan, anggaran sisah kegiatan ini itu tiap bulan dan tiap tahun. Rakyat hanya dengar cerita, bahkan menjadi penonton pejabatnya merayakan kebahagiaan dengan keluarganya makan enak, naik mobil, pesawat, pergi pulang ibu kota Negara. Bahkan menonton kalau pejabatnya yang sakit berobat ke luar daerah bahkan ke luar negeri.

Orang-orang kota lebih merasakan akses pelayanan publik dari warga di pedalaman dan pedesaan. Orang di Jayapura bisa menikmati layanan kesehatan di puskesmas dengan lebih dari satu dokter, pelayanan pagi dan sore. Kalau butuh dokter spesialis, bisa RS Jayapura di dok II atau RS Umum Abepura.

Baca Juga:  Freeport dan Kejahatan Ekosida di Wilayah Suku Amungme dan Suku Mimikawee (Bagian 4)

Orang di pedalaman hanya bisa ke puskesmas, ketemu satu dokter, syukur kalau ada. Kalau tidak ada, mereka hanya bisa bermimpi bertemu dokter dalam hari-hari terakhir penderitaan mereka. Harapan bebas dari sakit penyakit tamat bersama ketika waktu ajal menjemput.

Orang di Jayapura bisa menikmati lampu listrik siang malam atau 24 jam. Kalau mati lampu satu jam atau 10 menit saja sudah mengeluh, maki-maki PLN. Orang di wilayah pedalaman, pedesaan tidak pernah mengeluh atas hari-hari mereka dalam kegelapan. Mereka menikmatinya dalam harapan dan kebencian terhadap penguasa yang selalu mengatakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Orang-orang di Jayapura bisa sekolahkan anak-anak di sekolah yang lengkap: guru kelas dan guru jurusan. Gedung-gedung yang lebih dari satu. Orang di pedalaman hanya bisa mimpi dan mimpi ada gedung sekolah yang layak dan guru yang betah mengajar tiap hari sekolah.

Memang tidak adil kalau dari dua dunia yang berbeda menyatu di universitas-universitas di kota. Anak dari dunia pendidikan dengan fasilitas terbatas butuh waktu lebih untuk menyesuaikan. Orang kota tidak pernah mengerti itu dua dunia yang beda itu. Orang kota hanya bisa menuduh anak dari wilayah pedalaman bodoh dan biadab. Siapa yang bodoh ka?
Orang kota memang tidak adil. Orang kota menuntut hak tanpa membicarakan keadilan untuk sesamanya di pedalaman. Teriak PLN yang mematika lampu lima menit untuk dirinya sendiri. Sesamanya yang mati lampu tiap hari di pedalaman dilupakan. Lalu dimana, kemanusiaan dan keadilan yang kita pupuk? Kemanusia kita sudah saat dipertanyakan? Apakah saya sudah menjadi manusia? Apakah hukum yang saya puja puji menghargai martabat manusia?

Baca Juga:  Adakah Ruang Ekonomi Rakyat Dalam Keputusan Politik?

Kalau bertanya, hukum yang kita taat, sudah tidak membatu lagi menghargai martabat manusia. Hukum sudah jauh dari substansinya di tagan egoisme yang menguasai. Hukum kebenaran digunakan untuk menguasai sesama daripada memanusiakan manusia. Hukum digunakan untuk merendahkan martabat daripada melindunggi martabat manusia.

Kalau begitu, hukum mana yang kita bisa taat. Hukum yang sudah sulit disangkal, dan sulit dimanipulasi itu hati nurani walupaun hati nurani bisa salah. Kini saatnya dengar bisikan suara hati daripada mendengar bisikan suara setan yang termanifestasi dalam hukum-hukum yang kita taat selama ini. Hancurkan hukum, buat hukum tandingan.

Penulis adalah buruh di pelabuhan Hollandia, Papua. 

Artikel sebelumnyaYakobus Dumupa-Oskar Makai Daftarkan Diri ke KPU Dogiyai
Artikel berikutnyaSidang Steven Itlay: Dari Intervensi Aparat Hingga Hakim Rasis