Papua: Reformasi Rezim Istilah

0
4866

Oleh: Nikolaus Ageng Prathama

Persoalan Papua merupakan salah satu problematik nasional. Oleh karena itu, diperlukan perubahan dalam beristilah bahwa masyarakat Papua bukan Mereka, tetapi adalah Kita.

Sebagai daerah yang disebut memiliki kekayaan sumber daya alam berlimpah, Pulau Papua dikenal dengan sejumlah kosakata yang menyenangkan seperti surga kecil, tempat eksotis-romantis di Raja Ampat, tambang emas, salju abadi, wisata laut, dan lain sebagainya. Namun demikian, dalam perkembangannya, sejumlah persoalan muncul secara beriringan pada daerah yang bernama Provinsi Irian Jaya di masa Orde Baru tersebut.

Dimulai dari persoalan politik dengan pemerintah pusat, persoalan ekonomi yaitu pembangunan infrastruktur yang relatif masih tertinggal, pertengkaran antarsuku asli, sosial-budaya, sampai persoalan yang rumit yaitu pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu. Bahkan, pada tahun 2015, konflik antarpemeluk agama juga pernah terjadi di Tolikara. Kasus terakhir yaitu penembakan guru honorer secara misterius dan gempa bumi, semakin menambah penderitaan dan persepsi pesimistis masyarakat terhadap Papua.

Penulis mengamati dalam sejumlah diskusi informal dan formal yang membahas persoalan-persoalan tentang Papua. Sebagian besar diskusi cenderung dilakukan dengan dahi berkerut dan intonasi tinggi oleh para peserta dan pembicara.

ads

Namun dari diskusi itu, penulis dapat melihat bahwa persoalan-persoalan yang muncul dan tersampaikan secara implisit maupun eksplisit tentang Papua, dapat ditemukan solusinya.

Jangka Pendek dan Jangka Menengah

Solusi untuk ‘menjinakkan’ persoalan-persoalan yang paling mendesak dan esensial di Papua terdiri dari dua jenis yaitu Solusi Jangka Pendek dan Solusi Jangka Menengah. Pertama, solusi jangka pendek dapat langsung diterapkan yaitu dengan menggunakan Teori Pedekate Gebetan dan Konsep Logika Terbalik, yang bertujuan untuk menjawab persoalan yang paling mendesak yaitu merubah cara berpikir kita.

Teori Pedekate Gebetan merupakan langkah pertama yang harus dilakukan yaitu dengan mencari kesamaan dari kedua pihak yang ingin disatukan, dalam konteks ini adalah masyarakat daerah Papua dan dari daerah-daerah lain. Analoginya, kalau kita melakukan pendekatan dengan seorang gebetan, pasti akan mencari hal-hal yang disukai dari kedua pihak, misalnya suka jalan-jalan, koleksi perangko, nonton film, ataupun hobi berwisata kuliner. Tidak mungkin kita akan mencari perbedaan-perbedaannya, karena pasti akan berkelahi. Selain itu, secara mendasar kedua pihak juga sudah berbeda, yaitu laki-laki dan perempuan.

Baca Juga:  23 Tahun Otsus, Orang Asli Papua Termarginalkan

Kemudian Konsep Logika Terbalik, yang diadopsi dari pemikiran Wakil Presiden Jusuf Kalla, digunakan untuk melihat kenyataan dibalik sejumlah pujian dan julukan yang ditujukan untuk Papua, terutama pendapat yang menyatakan bahwa ‘Papua Kaya’. Apakah benar pendapat itu? Bagaimanakah kebenarannya?

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2015, angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Provinsi Papua dan Papua Barat berada di tingkat satu dan dua paling rendah, yaitu 57.25 dan 61.73, atau berada dalam status IPM Menengah Bawah. Data ini menunjukkan bahwa pandangan ‘Papua Kaya’ belum sepenuhnya benar. Oleh karena itu, diperlukan kejernihan berpikir untuk menyadari dan memahami kenyataan-kenyataan yang terkait dengan Papua.

Penulis setuju dengan gagasan Anies Baswedan yang menyatakan bahwa kekayaan terbesar sebuah bangsa adalah manusianya. Dengan demikian, filosofi yang tepat adalah ‘Rumah Orang Kaya’, bukan ‘Rumah Kaya’, sehingga slogan baru yang dibutuhkan oleh Papua untuk meningkatkan semangat intelektual manusianya adalah ‘Kita Belum Kaya’.

Kedua, solusi jangka menengah diterapkan untuk persoalan yang paling esensial dengan manusianya yaitu solusi dalam bidang pendidikan dan budaya. (1) Terkait dengan pendidikan, terdapat dua persoalan yang mendasar yaitu sistem pemberian beasiswa dan prioritas jenis pendidikan yang dibutuhkan daerah, terutama bagi mereka yang melakukan studi di luar pulau Papua.

Pemberian beasiswa sekolah dan kuliah terkait dengan ‘komitmen’ para penerima beasiswa ini untuk bersedia kembali ke daerah asal dan membangun Papua. Terdapat sejumlah anak yang tidak bersedia kembali ke Papua, karena merasa nyaman untuk tinggal dan bekerja di daerah lain. Persoalan ini perlu menjadi bahan kajian yang dapat dipertimbangkan dalam evaluasi sistem pemberian beasiswa.

Baca Juga:  Politik Praktis dan Potensi Fragmentasi Relasi Sosial di Paniai

Berikutnya adalah prioritas jenis pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan daerah. Hal ini juga menjadi poin penting bagi para pengambil kebijakan di Papua, karena untuk mencapai filosofi ‘Rumah Orang Kaya’, yang telah dianugerahi hasil bumi tambang dan memerlukan pembangunan infrastruktur, diperlukan manusia yang memiliki pemahaman mengenai teknik pertambangan dan teknik sipil.

Dengan demikian, anak-anak Papua seharusnya lebih banyak diarahkan untuk bersekolah di sekolah menengah kejuruan dan perguruan tinggi yang memiliki jurusan pertambangan dan teknik sipil, dengan iming-iming hak istimewa serta beasiswa dari pemerintah daerah, sehingga mereka menjadi semakin terpacu untuk mengambil dan mengoptimalkan peluang tersebut. Khusus untuk hak istimewa, hanya diberikan bagi mereka yang telah kembali ke daerah dan berkomitmen untuk membangun Papua.

Selanjutnya, (2) persoalan yang menonjol pada bidang budaya, terkait dengan pengakuan dan ekspresi identitas kultural individu manusia dari Papua. Dalam perspektif komunikasi antarbudaya, Turnomo Rahardjo (2005) menjelaskan bahwa identitas kultural yang melekat pada diri individu merupakan elemen mendasar dari eksistensinya sebagai manusia. Tanpa pengakuan identitas, manusia tidak dapat dapat menjawab pertanyaan ‘Siapa saya?’, sehingga eksistensinya dalam pergaulan hidup sehari-hari perlu dipertanyakan.

Eksistensi identitas ini berhubungan dengan pemahaman kita mengenai konsep nation. Jika menyadari, sebenarnya konsep nation kita yang dirasakan oleh sebagian masyarakat Indonesia dalam hidup sehari-hari adalah berdasarkan perspektif budaya kesukuan, terutama etnis-etnis yang terbingkai dalam satu ras besar Mongoloid saja. Konsep ini berbeda dengan konsep nation yang dibingkai oleh Thailand yang memiliki beragam suku native dan migrants, namun dapat beridentitas sebagai orang Thai.

Adanya perbedaan secara fisik dengan ras Mongoloid yang berjumlah besar di Indonesia, membuat masyarakat Papua cenderung menjadi merasa terasing di rumah sendiri ketika bertemu saudara-saudara sebangsanya yang lain. Begitupun sebaliknya, sebagian dari warga Indonesia yang beretnis lain masih memandang warga Papua adalah orang dari ‘luar’ NKRI ketika mereka bertemu.

Baca Juga:  Indonesia Berpotensi Kehilangan Kedaulatan Negara Atas Papua

Meskipun salah satu upaya kultural telah dilakukan oleh pemerintah dengan melakukan penggantian nama Irian Jaya menjadi Papua, namun ikhtiar tersebut belum menyentuh aspek esensial dari individu manusianya. Nama Papua dan Papua Barat mengarah pada nama wilayah provinsi, bukan manusianya.

Persoalan-persoalan mengenai identitas pada akar rumput ini, perlu untuk segera ditemukan rumusan pemahamannya, sehingga kita dapat melakukan pembaharuan dalam cara pandang konsep nation demi tercapainya kesejahteraan dalam keragaman.

Seorang etnografer dan penggiat ekowisata, Evi Aryati Arbay Mabel, juga menyatakan bahwa pendekatan budaya merupakan salah satu cara humanistik yang perlu dilakukan untuk meningkatkan hubungan baik antara masyarakat Papua dan suku-suku lain di Indonesia. Oleh karena itu, dengan melakukan riset komunikasi antarbudaya di Papua dan mengoptimalkan peran media massa serta media sosial, dapat membuka peluang terjadinya perubahan yang lebih konstruktif.

Konstruksi Kebersamaan

Gagasan yang dipaparkan oleh penulis, berdasarkan pandangan bahwa persoalan di Papua bukanlah persoalan dalam level provinsi. Namun kita yang hidup di pulau lain, terutama yang tinggal di wilayah Indonesia barat, yang dekat dengan pusat kekuasaan dan publikasi dari media, perlu aktif berkontribusi memandang bahwa ini adalah persoalan nasional dan berperan serta membantu mengatasi persoalan bangsa ini, sekecil apapun peranannya. Mengapa? Karena persoalan tersebut berkaitan dengan kualitas intelektual manusia dan kemajuan perekonomian yang berhubungan positif dengan ketahanan domestik.

Pada akhirnya, sinergi kesadaran dan pemahaman antara masyarakat dan pemerintah untuk konsep kebangsaan dalam arti luas, perlu dibangun dengan cermat. Pembangunan konstruksi pemikiran mengenai Negara Indonesia yang bersatu namun berbeda-beda komposisi yang ada di dalamnya merupakan salah satu komoditasnya. Dampaknya, supaya pemikiran dan pemahaman mendalam tidak hanya dimiliki oleh para elit dan kaum cendekiawan saja, melainkan juga dapat dimiliki secara lebih meluas oleh masyarakat tingkat akar rumput.

Penulis adalah Peneliti dan Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Jawa Tengah.

Artikel sebelumnyaMasyarakat Papua Pertanyakan Promosi Pembunuh Theys Eluay Jabat Ka BAIS
Artikel berikutnyaDewan Gereja-gereja Pasifik Tetap Mendukung West Papua Kembali ke Keluarga Pasifik