Kita Semua Bangsa Pendatang dan Multiminoritas Penghuni Gugusan Kepulauan Nusantara

2
8509

Oleh: Natalius Pigai

Saya menjadi anggota di 5 group WA yang di dalamnya terdiri dari tokoh-tokoh nasional yang sangat tenar, Menteri, mantan Menteri, bahkan Menko, Gubernur, Pejabat dan mantan pejabat tinggi negara, mantan Jenderal Bintang 4, Politikus, aktivis senior, mantan ketua umum partai, calon Gubernur yang kalau dijumlahkan dari 5 group WA tersebut mencapai 1200 orang.

Tiap saat membaca komentar, ulasan, kritikan, analisa mereka sangat kontras bila dilihat dari kebesaran figur, ketenaran nama mereka. Bahkan jika ada pembaca yang belum siap mental bisa jantungan. Kok bisa? Mengapa? Apa yang terjadi?, semua isinya Rasis, Diskriminatif, kekerasan verbal yang didorong atas rasa kebencian Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan.

Ahok, China, dan Kristen, kafir, pendatang adalah kosa kata utama mereka. Sekali saya beri komentar dikritik balik (kick back) rame-rame: “Natalius membela dan mendukung Ahok karena sama-sama Kristen dan kaum minoritas”. Berkali-kali baik di TV, Koran, Seminar, juga berbagai tempat telah saya katakan bahwa ke-bhinneka-an bangsa Indonesia adalah suatu wahyu, sabda, titah yang tertulis sebagai adagium persatuan dan kesatuan, kebinnekaan bangsa sudah final dan mengikat sanubari tiap orang. Menjamurnya beraneka etnik, ras, budaya harus diterima sebagai kondisi kekinian, realitas bangsa bahkan keanekaragaman adalah suatu niscaya.

Kita terlalu naif dan terjebak dalam sektarianisme, eksklusivisme yang naif dan bahkan chauvinistik seakan-akan sebagai pemilik negeri ini, chauvinistik kitalah yang menjadi pahlawan. Sedangkan suku Cina, Arab, India bukan pejuang dan pahlawan. Barangkali tidak lupa bahwa perjuangan bangsa Indonesia dilakukan secara sporadis, berjuang sendiri-sendiri di wilayahnya masing-masing dengan tujuan mengusir penjajah.

ads

Diponegoro tidak pernah memimpin perang dari Sabang sampai Merauke, tapi hanya wilayah Jawa Tengah. Laksamana Malahayati berjuang hanya di Aceh, Sisingamangaraja berjuang hanya di Tanah Batak, demikian pula pahlawan Patimura hanya di Ambon, dan lain-lain.

Jasmerah, jangan sekali-kali lupa sejarah bahwa kemerdekaan Indonesia juga diperjuangkan orang-orang yang saat ini kita sebut sebagai pendatang. Kemerdekaan ini juga diraih karena adanya kontribusi 7 orang pahlawan keturunan China: Jhon Lie, Koen Hian anggota BPUPKI dll., keturunan Arab; Baswedan dll., bahkan juga keturunan bule Belanda yang kita sebut penjajah seperti “Ijon Jambi” tokoh Kopassus, Pahlawan besar beragama Katolik di Jawa Tengah tidak bisa diragukan lagi, nama-nama jalan protokol seperti Jos Sudarso, Adi Sutjipto, Adi Marmo, Slamet Riyadi, I.J Kasimo, dll.

Kalau demikian apakah kita harus menafikan nama  dan peran mereka dalam eksistensi Republik ini? Jangan kita bersifat kerdil karena hal-hal bersifat kerdil hanya dapat dipikirkan oleh orang-orang yang berjiwa kerdil.

Persoalan Pendatang dan Pribumi, Mayoritas dan Minoritas tidak perlu lakukan fragmentasi yang tajam karena kita semua di nusantara ini adalah bangsa pendatang, di masa lalu nusantara hanya dihuni oleh Homo Soloensis, Homo Wajakensis, Homo Phitecantropus Erektus, Homo Floresiensia yang akhirnya diketahui sebagai manusia Ebugogo.

Mereka adalah manusia pigmeus ataun pigmen yang merupakan manusia modern pemilik bumi nusantara telah punah di masa lampau, termasuk juga yang punah bersamaan dengan adanya jaman pleistosen jaman es yang membelai Sumatera dan semenanjung Malaya, Nusa Jawa, Bali, Lombok, Nusa Nipa sampai di Timur Timor, Sulawesi dan Kalimantan, Papua dan Australia. Pada jaman itu pulalah penduduk pribumi yang menghuni bumi nusantara ikut punah.

Karena itu, mereka bukan keturunan atau nenek moyang orang Indonesia jika merujuk pada asal-usul manusia lewat DNA mitokondria, Max Ingman, doktor genetik asal Amerika Serikat dalam tulisan bertajuk “Mitochondrial DNA Clarifies Human Evolution” pernah mengungkapkan bahwa gen manusia modern ini tidak bercampur dengan gen spesies manusia kuno.

Kita semua bangsa pendatang, bukan bangsa asli, Negeri ini Negeri Indonesia dihuni oleh bangsa-bangsa pendatang (imigran) yang berisi gugusan pulau-pulau yang jumlahnya 17 ribu secara beraneka ragam. Negeri ini tidak ada penduduk pribumi. Pulau Jawa, Sumatera, dan Sulawesi adalah bangsa Proto Melayu dan Deutero Melayu yang berasal dari bangsa Mongoloid asal muasal dari Juan di China yang menelusuri melalui Indochina atau Austro Asiatik, memasuki kawasan selatan, baik melalui Teluk Benggali, juga Laut China Selatan serta melalui jalan darat yaitu Jala, Patani, Naratiwat dan masuk ke semenanjung Malaya dari barat memasuki Penang sampai Malaka menyeberang selat Malaka masuk ke Sumatera dan yang ke arah selatan memasuki  pulau Jawa, Kalimantan dan ke timur menuju Sulawesi dan Nusa Tenggara.

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Bangsa Aceh di sebelah Barat adalah suku Lamno keturunan Eropa bermata biru, Aceh Pidie dan Aceh Besar keturunan Tamil dan keling India serta suku Benggali, sebagian keturunan Arab.

Bangsa Proto Melayu atau Melayu tua di Indonesia seperti suku Batak, suku Sakai, suku Anak Dalam di Sumsel, Jambi dan Riau, suku Dayak di Kalimantan, suku Badui di Jawa Barat, suku Bali Age di Bali, suku Sasak di Lombok, suku Toraja dan Suku Bugis di Sulawesi dan sebagian besar lainnya termasuk Melayu Deli, Riau, Minang, Jawa, Bali Mojo dll adalah bangsa Melayu Muda atau Deutero Melayu.

NTT dan Maluku masih bangsa Melayu bahasa Maluku adalah bahasa Melayu, Jawa dan Bugis, Maluku Utara adalah keturunan Arab, Manggarai  NTT orang Makassar serta keturunan Bima di pinggiran atau pesisir namun 70 persen lebih adalah dari suku Minangkabau. Bahawa keturunan India, Ende orang Arab, Sikka Portugis dan Rote, Sabu, Raijua dan Sumba adalah Arab campur India, jaman dulu disebut India belakang. Bahkan bahasa Flores Timur adalah bahasa Melayu Kuno, Maluku Utara memang sebagian keturunan Polinesia bukan Melanesia seperti  Nuku, Pasifik ada juga sebutan Nuku Alofa dll tapi sedikit saja.

Ingat baik-baik, bahkan ada ikatan yang kuat antara kerajaan-kerajaan nusantara dengan Maluku khususnya Ternate dan Tidore bahkan Radja Biawae di Ngada itu keturunan India, Budaya tenun di Sumatera, Jawa dan NTT adalah budaya India. Secara antropologi ragawi sampai hari ini hanya membuktikan bahwa Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku  dan NTT adalah suku bangsa yang masuk kategori Ras Mongoloid, yang asal muasal dari Juan di China menyebar ke selatan bertemu bangsa Sino Tibetian atau dikenal sebagai bangsa  Austro Asiatik menyusuri pantai barat semenanjung Malaka, masuk ke Sumatera, Jawa dan Nusa Tenggara.

Sebutan Austro adalah Selatan, Melayu adalah sebutan bangsa sehingga menjustifikasi bangsa Melayu yang tinggal di bagian selatan Asia Tenggara. Kecuali Bangsa Papua yang tidak termasuk Ras Mongoloid tetapi Ras Melanesoid yaitu sebuah Ras yang mendiami kepulauan Pasifik Selatan yang disebut “Aquatic Zone”. Pembagian flora dan fauna oleh Wallace yang membagi dua bagian yang ditandai oleh Garis Wallace yang melintasi Kalimantan, Sulawesi, Ngada di Flores dan Sumba tidak membagi rumpun etnik tapi hanya flora dan fauna.

Kalau mau membuktikan sebuah rumpun bangsa, maka ada beberapa indikator yang harus dijawab:

  1. Aspek antropologi ragawi, feno tipus, ciri-ciri ragawi: Di Indonesia tes DNA Mitokondria dipakai untuk melacak jejak gen manusia dan Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Jakarta, Juni 2001 Wuryantari dalam tesis berjudul “Haplotipe DNA Mitokondria Manusia Prasejarah Jawa dan Bali”, ternyata, manusia prasejarah dari dua situs itu merupakan keturunan ras Asia atau Mongoloid dengan ciri Polinesia. Hal ini hanya menunjuk Orang Indonesia dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, NTT dan Maluku dan Bukan Papua. Ciri-ciri ragawi Orang Melayu Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi bergelombang dan ikal, sama seperti yang kita temukan di Semenanjuang Malaya, Thai, Vietkong, Sino Thibetian juga orang Juan Thibet dan Monggol. Untuk suku-suku di Indonesia Timur oleh Wallace dalam ras manusia dijelaskan bahwa orang Maluku adalah Melayu, Ternate, Tidore, Bacan  dan Jailolo serta pulau Buru, berbahasa kombinasi Jawa dan Bugis, sedangkan orang pulau Obi, Bacan dan semenanjung Jailolo tidak memiliki penduduk asli, semenanjung Jailolo utara suku Alfuru dari Sahu dan Galela, mereka bukan ras Melayu juga bukan ras Melanesia, berwajah seperti orang Papua dikelilingi bulu-bulu namun kulit mereka seperti orang Melayu artinya mereka bangsa Melayu Polinesia. Sedangkan Papua adalah bangsa Melanesoid, Melanesia. Pada tahun 1832 seorang Perancis yang bernama Jules Dumont d’Urville yang menjajah pulau-pulau kecil di tepian Samudra Pasifik menyebut sebuah kelompok etnis dan pengelompokan pulau-pulau yang berbeda dari Polinesia dan Mikronesia dengan sebutan ras Melanesia istilah yang diambil dari bahasa Yunani, Melano-nesos “nusa-hitam” atau “kepulauan hitam”. Menyatakan berdasarkan ciri fisik dari etnis tersebut karena berambut keriting dan kulit hitam.
  2. Antropologi linguistik, adanya kesamaan bahasa: Bahasa yang digunakan di Sumatera, Jawa, Kalimantan juga Sulawesi adalah Bahasa Melayu yang berinduk pada bahasa Sanskerta India dan dikombinasikan dengan bahasa-bahasa daerah yang dianut yang mencapai 800 bahasa. Bahasa Aceh adalah kombinasi dari bahasa Arab, India dan Melayu, Bahasa Minang kombinasi bahasa Melayu, orang Deli, Riau, Jambi, Palembang hingga Bengkulu adalah berbahasa dan berdialek Melayu, demikian pula Bahasa Sunda dan Jawa serta Bali yang kombinasi tiga bahasa Sansekerta, Kawi dan Melayu. Kalimantan Barat berbahasa Melayu Dayak, Kalimantan Tengah berbahasa Melayu, Dayak, Jawa dan Madura, Kalimantan Selatan berbahasa Banjar dan Jawa, Kalimantan Timur Bahasa Dayak, Jawa, Bugis dan Makassar. Demikian pula pulau Sulawesi bagian selatan berbahasa Bugis, Makassar dan Buton yang dipengaruhi oleh kerajaan Goa dan Talo, sedangkan Sulawesi Utara dan Gorontalo berbahasa dan berdialek Tagalok dari Mindanau serta kejaraan Sulu di Philipina Selatan. Manggarai di NTT sedikit mirip ke bahasa Bugis dan Makassar (Kraeng) Minang, Flores Timur adalah Melayu tua, Rote Sabu sedikit bahwa India dan sebagian besar dipengaruhi oleh Kawi (Jawi), juga Melayu pada umumnya kecuali di Timor berbahasa Tetun dan Porto seperti di Belu, Melaka, Kefa dan Soe. Sedangkan Maluku secara keseluruhan dipengaruhi bahasa Melayu. Contoh: kata beta, paci, maci, itu panggilan akrab Melayu yang sering digunakan oleh orang Malaysia, Jala, Patani maupun Naratiwat di Semenanjung Malaya. Tidak dapat dipungkiri bahwa banyak pula orang keturunan Kepulauan Formosa yang menyebar sampai di selatan termasuk suku bangsa Moro dan Sanger, Talaut, pulau Halmahera dan sebagian juga menggunakan bahasa Tagalok. Ada kesamaan signifikan antara Jolo, Mindanao, dan Maluku Utara sama-sama agama Islam.
  3. Antropologi Budaya, Nusantara, Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan NTT dikenal budaya tenun, bangsa berbudaya tenun di dunia adalah bangsa India, industan menyebar ke Timur melalui teluk Benggali memasuki kepulauan nusantara, kecuali orang Papua Melanesia tidak mengenal tenun, orang Ayamaru justru menjadikan tenun atau kain Timor  menjadi mahal karena diimpor dan dianggap barang langka bukan produk asli. Demikian juga tenun Maluku, berbudaya sirih dan pinang tidak bisa dijadikan dasar karena orang Jawa dan Melayu justru makan sirih dan pinang bahkan sirih dan pinang merupakan budaya hidup orang-orang pesisir pantai apakah itu Jawa, atau di Timur. Demikian pula berbudaya makan Sagu sebagaimana di Maluku dan di Papua juga kita temukan pada suku Tolaki di Kendari Sulawesi Tenggara yang mereka sebut “Sinonggi”, demikian pula budaya Sagu juga kita temukan pada masyarakat Melayu di Kepulauan Meranti di Selat Panjang Malaka Riau. Budaya bernyanyi di Sumatera terbagi 2 bagian yakni bernyanyi keras dengan musik keras seperti Batak dan Nias lebih banyak dipengaruhi oleh lagu-lagu modern Eropa non lagu rohani, sementara Aceh, Minang dan Malayu cara bernyanyi dan gaya busana mirip India dan China khususnya Chino Thibetian, demikian pula di pulau Jawa Bali, Sulawesi dan Kalimantan bernyanyi dengan menampilkan kemolekan tubuh wanita dan lelaki bersenjata sabit atau badik berinduk pada budaya India. Bernyanyi yang sama kita jumpai pada masyarakat Vietnam, Laos, Kamboja juga Thailand. Bernyanyi dalam bangsa Melanesia adalah suatu ritus, maka dikenal juga elegi bernyanyi kisah sedih tidak seperti Maluku dan NTT lebih untuk mengungkapkan kegembiraan. Bangsa Melanesia tidak mengenal budaya Kapak dan Parang, Tembikar, berbeda dengan pedang di Maluku, dan NTT, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Sumatera.
  4. Historiografi, Jaman Timur Purba sebutan pulau Flores adalah Nusa Nipa atau Nusa Nive untuk Maluku atau bahasa Sansekerta sebutannya menjadi Nusa Tutur artinya pulau-pulau lainnya untuk Papua dan Melanesia adalah daerah terbayang hal ini diperkuat dalam buku Negara Kertagama, karya Mpu Tantular NTT dan Maluku masuk dalam wilayah 8 kita lihat syair 14, bait ke 5: ”Inkang sakasanusan Makasar Butun Banggawi, Kuni Ggaliyao mwang i(ng) Salaya Sumba Solot  Muar muwah tikang i Wandan Ambwan athawa Maloko Ewaning ri Sran in Timur makadi ning angeka nusatutur”.  Sementara Wilayah 1 sampai ke 7 adalah dari Madagaskar sampai nusantara dan utara formosa. Saya harus tegaskan bahwa berdasarkan penelusuran ilmiah yang saya lakukan ternyata Majapahit tidak pernah menguasai seluruh wilayah nusantara, tetapi Majapahit hanya memiliki hubungan transaksi jual beli atau dagang dengan saudagar-saudagar di nusantara, hal ini ditunjukkan dengan Artefak atau Tembikar dan barang-barang berharga yang ditemukan di bekas kerajaan Majapahit karena kerajaan Majapahit bukan asli nusantara tetapi datang dari India dan kerajaan Hindu. Papua dan Melanesia hanya daerah terbayang (Terra incognita). Di Jaman modern pun Sumatera dipengaruhi oleh Arab, India dan Belanda, kecuali Bengkulu serta Kepulauan Meranti dan Tanjung Balai Karimum oleh Kekuasan Ratu Inggris dibawah komando Jenderal Mauntbatten berpusat di Singapura. Pulau Jawa daerah pendudukan Belanda, Arab dan India, demikian pula NTB oleh Arab dan Bugis. Pesisir Utara Sumatera, Jawa dan pesisir Kalimantan khususnya bandar-bandar adalah dihuni oleh orang-orang China, kita lihat bandar-bandar di pesisir bagian Timur Sumatra  Medan, Tanjung Balai, Dumai, Setpanjang, Bagansiapi-api, Jambi, Palembang, Banten, Tangerang, Batavia sampai ke Jawa Timur meskipun di pulau Jawa bagian utara ada kombinasi China, Arab dan India. Pelayaran Laksamana Cheng ho membuktikan penetrasi China di pesisir utara. NTT dipengaruhi bangsa Portugis banyak nama-nama dipengaruhi  Portugis, contoh, Pareira, da gomes, da cunha, da silva, fernandez, di Sikka maupun juga Flores Timur dan sebagian NTT bahkan orang-orang Lamaholot adalah oleh gajah mada disebut orang Solot (solor), atau jaman purba atau bahasa Sansekerta namanya Nusa Solot atau pulau air, dalam Lamaholot air adalah solot.
Baca Juga:  Freeport dan Kejahatan Ekosida di Wilayah Suku Amungme dan Suku Mimikawee (Bagian 4)

Oleh karena itu, saya tegaskan bahwa Indonesia bangsa Pendatang dan Multiminoritas penghuni gugusan pulau pulau nusantara. Tidak ada penduduk asli dan Pendatang, Pribumi dan non Pribumi. Orang minoritas bisa menjadi presiden RI, apalagi hanya gubernur. Mari kita sudahi dikotomi asli dan pendatang, pribumi dan non pribumi, tok tulisan ini telah membuktikan kita semua adalah: Pendatang dan Orang Asli adalah Bangsa Pigmen atau Pigmeus yang telah punah. Dan asal-usul manusia lewat DNA mitokondria, Max Ingman, doktor genetik juga pernah mengungkapkan, bahwa Gen manusia modern ini tidak bercampur dengan gen spesies manusia kuno jadi kita semua Pendatang.

Baca Juga:  Kegagalan DPRD Pegunungan Bintang Dalam Menghasilkan Peraturan Daerah

Penulis adalah Komisioner Komnas HAM RI.

Tulisan ini berdasarkan berbagai referensi buku dan pengalaman pribadi mengelilingi 34 Provinsi dan hampir 70% Kabupaten/Kota di Indonesia selama 16 tahun. Sebagai Staf Khusus Menteri Transmigrasi, Tenaga Kerja, juga Komnas HAM RI, juga sebagai Peneliti telah mendatangi dan mengelilingi daerah terpencil di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, NTB, NTT, Maluku dan Papua. Mengelilingi Negara-negara Asia Tenggara dan Asia Selatan, India, Banglades, Myanmar, Thailand, Kamboja, Laos, Vietnam, Malaysia semenanjung juga Timur melalui Entikong juga Tawau, China, Monggolia dan Tibet melalui darat, naik turun bis, kereta, becak, bajaj, andong sebagai peneliti juga pelancong.

Satu-satunya Peneliti bidang Migrasi Nasional dan Internasional di Kementerian Tenaga Kerja RI, Penulis Buku: Evolusi Nasionalisme dan Sejarah Konflik, Migrasi Sirkuler Perkotaan Jakarta, Transmigrasi dan Pembangunan, Migrasi Tenaga Kerja Internasional, Arus Balik Kependudukan (Terbitan Pustaka Sinar Harapan Jakarta). Juga Penulis Karya Ilmiah berjudul “Dagang Manusia” Traficking dan Smugling di Indonesia dan Asia Tenggara (Jurnal Ilmiah LIPI). Saat ini menangani 60% pengaduan kasus yang masuk di Komnas HAM RI.

Artikel sebelumnyaPembangunan SDM Harus Didahulukan Daripada Infrastruktur
Artikel berikutnyaPemkab Dogiyai Diminta Serius Tangani Sampah