Antropologi dan Gerakan Sosial: Perspektif Papua (Bagian 2)

0
3751

Oleh: I Ngurah Suryawan

Pengantar

Bagian kedua dari artikel ini akan memfokuskan jejak-jejak awal konsolidasi gerakan rakyat sipil di Tanah Papua merespon reformasi yang terjadi di sebagian besar wilayah Indonesia 1998. Di Tanah Papua, demam reformasi direspon dengan meluapnya kebebasan untuk mengeluarkan pendapat untuk menentukan nasib sendiri. Totalitas kegairahan menunjukkan identitas budaya dan politik terpancar di seluruh wilayah di Tanah Papua yang ditandai dengan rangkaian demonstrasi dan pengibaran bendera Bintang Kejora, sebagai salah satu simbol identitas politik rakyat Papua.

Pada bagian kedua ini saya secara khusus akan memberikan porsi terhadap munculnya gerakan-gerakan sipil untuk memfasilitasi kebebasan ekspresi yang terjadi di Tanah Papua. Kelompok gerakan civil society ini menyadari dengan penuh bahwa pada saat itulah waktu yang tepat untuk mengkonsolidasikan gerakan perlawanan dan penunjukkan ekspresi identitas sosial politik orang Papua. Gerakan ini diorganisir oleh kelompok-kelompok elit terdidik di Tanah Papua yang memperoleh pendidikan justru dari negara Indonesia. Kelompok-kelompok inilah yang di kemudian hari menjadi cikal bakal kelompok kelas menengah Papua yang heterogen, fragmented (terpecah-pecah), dan penuh dengan berbagai kepentingan bernegosiasi dengan akses-akses ekonomi politik.

 Benih Gerakan Sipil

ads

Periode 1998 – 2000 adalah masa tumbangnya kekuasaan otoritarian rezim Soeharto. Namun  di Tanah Papua pada bulan Mei 1998 berbagai tindak kekerasan dilakukan oleh aparat keamanan terhadap rakyat Papua Barat yang melakukan hak kebebasan berekspresi dengan berdemonstrasi dan mengibarkan bendera Papua Barat (Bintang Fajar) di berbagai kota di Tanah Papua.

Melihat begitu maraknya pelanggaran HAM di Tanah Papua, maka hadirlah Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia (ELSHAM) Papua yang menjadi jawaban atas situasi kekerasan kemanusiaan yang begitu massif. Konflik dan kekerasan yang terjadi di Tanah Papua, telah mendorong terjadinya rangkaian pelanggaran HAM secara sistematik dan meluas di Papua.

Meningkatnya eskalasi kekerasan yang disertai dengan pelanggaran HAM, telah menimbulkan kekhawatiran terhadap eksistensi orang Papua, termasuk di dalamnya upaya penyelesaian konflik secara komprehensif.

Berawal dari diskusi terbatas yang dilakukan oleh beberapa individu yang peduli dengan situasi HAM di Papua, dibentuklah Irian Jaya Working Group for Justice and Peace (IWGJP) 1995. Kehadiran IWGJP telah berhasil untuk melakukan monitoring dan investigasi terhadap serangkaian kasus pelanggaran HAM yang terjadi di daerah Asmat, Bade dan Tembagapura. Melalui kerja sama dengan ACFOA di Australia, Herman Münninghoff, OFM (Uskup Jayapura), mengirimkan laporan situasi pelanggaran HAM yang terjadi di sekitar areal konsesi PT. Freeport Indonesia, tepatnya di kampung Arwanop dan Banti. Laporan tersebut menjadi langkah awal dari pengungkapan sejumlah kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Papua, yang sejak tahun 1963, tidak terungkap ke publik.

Memandang pentingnya pemantauan, penyelidikan dan publikasi secara lebih efektif dan kontinyu, maka sejumlah individu bersepakat untuk membentuk lembaga independen yang secara permanen bekerja untuk melakukan advokasi yang lebih intensif terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM di Papua. Akhir 1997, bertempat di Honai Yayasan Pengembangan Masyarakat Desa (YPMD), IWGJP memprakarsai pertemuan yang dihadiri oleh beberapa individu, seperti: Pdt. Herman Saud, M.Th, Uskup Herman Münninghoff, OFM, Zadrak Wamebu, Edison Giay, Barend Rumaikeuw, John Rumbiak, Aloysius Renwarin, Johanes Bonay, Fien Jarangga, Yan Christian Warinussy, Demianus Waney, Robert Mandosir, Silvester Wogan, Deny Yomaki, Yoseph Bawen, dan Ferry Marisan. Pertemuan tersebut kemudian memberikan rekomendasi untuk mendirikan lembaga yang kini dikenal sebagai ELSHAM Papua. [1]

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Berlangsungnya kejahatan terhadap kemanusiaan di Tanah Papua inilah yang mengakibatkan tumbuh suburnya gerakan nasionalisme Papua dan menyemaikan gerakan-gerakan sosial baru dari kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), perempuan, organisasi pembebasan Papua, dan Gereja.

Masa-masa penting dalam pembentukan identitas ke-Indonesia-an (1945-1963) sama sekali tidak melibatkan rakyat Papua. Papua juga tidak pernah ikut (diikut-sertakan) dalam peristiwa historis seperti Sumpah Pemuda 1928.  Maka, konsepsi dan wacana lokal Papua berkembang sendiri  untuk jangka waktu lama dan kemudian dibebani pula oleh pemerasan dan kebiadaban Orde Baru. Singkatnya, nasionalisme Papua berkembang dari kesadaran-lokal, kesadaran etnik dan menjadi kental akibat pengalaman pahit dan tragis di bawah Orde Baru.

Mengutip antropolog dan agamawan Dr. Benny Giay, Santoso (2001) mengungkapkan pada hakekatnya nasionalisme Papua terdiri dari tiga unsur: kesadaran etnik ke-Papua-an; protes besar terhadap Orde Baru; dan protes terhadap permainan dunia luar. Di bawah Orde Baru, untuk pertama kali dalam sejarah, Papua  mengalami suatu kolonialisme yang bukan cuma menyerap sumber daya alam ke wilayah lain, tetapi juga memperkenalkan pembantaian manusia oleh aparat negara. Itulah pasal pokoknya, kata orang di sini. Dalam kaitan itu, ada permainan dunia internasional terhadap Papua. Yang terakhir ini merujuk pada peranan Belanda, Indonesia, PBB dan Amerika Serikat yang akhirnya melahirkan kompromi Perjanjian New York 1962 dan Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) 1969. Amerika, dengan obsesi Perang Dingin kala itu, membantu Presiden Soekarno menuntut hak atas Irian Barat. Adalah ulah jendral-jendral Orde Baru seperti Ali Moertopo yang tak pernah hormat pada demokrasi dan hak hak bangsa lain, yang kemudian memanipulasi Pepera tersebut, dengan memperdaya 1026 wakil Papua pada 1969. Sekarang, orang Papua tidak mau dipecundangi lagi. [2]

Sementara gerakan sosial pasca nasionalisme etnik tersebut bertransformasi menjadi gerakan-gerakan sosial berbasis pada LSM dan Gereja. Adalah pada tahun 1980 ketika dilakukan diskusi di Biara APO dan Keuskupan Jayapura. Tujuan dari diskusi itu adalah untuk melihat kemungkinan bagaimana cara mengangkat permasalahan-permasalahan HAM di Papua ke permukaan, termasuk ke tingkat Internasional. Maka, terbentuklah KKO (Kelompok Kerja Oikumene) yang kemudian membentuk IRJADISC yang berbasis di lembaga Antropologi Uncen, sehingga sangat dekat hubungannya dengan kurator Museum Uncen yaitu Arnorld Ap maupun Ketua Lembaga Antropolodi Uncen, Dr. Daniel Ajamiseba. IRJADISC menjadi lembaga hukum yang solid dengan diberi nama Yayasan Pengembangan Masyakat Desa(YPMD).

Tahun 1984, gerakan masyarakat sipil ini dalam situasi yang rumit. Karena Arnold Ap dituduh otak dibalik eksodus 10.000 orang ke Papua New Guinea dan dituding sebagai Menteri Kebudayaan Republik Papua Merdeka dibawah Komando Brigjen Zet Rumkorem. Ia ditangkap oleh Kopasanda, dijebak dan melarikan diri dan dibunuh di Pasir 6. Ini tentu menjadi pukulan yang sangat berat bagi IRJADISC.

Baca Juga:  Politik Praktis dan Potensi Fragmentasi Relasi Sosial di Paniai

Berita dari kampung pun terbit yang kemudian berubah nama menjadi Kabar Dari Kampung (KdK). KdK selalu diasuh dalam Bahasa Indonesia populer dan bahasa Indonesia-Papua. Waktu itu KdK merupakan majalah yang banyak dibaca oleh masyarakat desa dan masyarakat di Papua. Itulah spiritnya Arnorld Ap, termasuk yang lainnya yaitu pentingnya mengetahui struktur budaya, sistem budaya, sistem sosial masyarakat di berbagai di Papua sebagai entri-point sewaktu introduksi sosial. Tetapi ketergantungan IRJADISC pada Universitas Cenderawasih (Uncen) itu berat.

Uncen mulai takut karena soal-soal kritis yang dilontarkan oleh IRJADISC dan YPMD. IRJADISC Uncen kemudian ditinggalkan dan orang-orangnya masuk ke YPMD plus KdK hingga mulai dikenal di luar negeri. Pada tahun ini juga LBH didirikan di Papua. Gereja Katolik dan GKI meminta kepada YLBHI agar LBH didirikan di Papua. [3]

Mulai berkembangnya gerakan masyarakat sipil, perempuan, dan Gereja direspon dengan dingin dan hati-hati oleh Pemerintah Indonesia. Catatan yang menarik dilakukan oleh SKP (Sekretariat Keadilan dan Perdamaian) Jayapura (2001).[4] Gaya penanganan pemerintah sejak 1998 hingga 2000 boleh disebut kebijakan menebar jala. Mula-mula segala ungkapan hati, kejengkelan, demo-demo, reaksi anti militer/polisi, teriakan M(erdeka) dibiarkan tanpa ada pelarangan, apalagi penangkapan. Seluruh lapisan masyarakat Papua seakan-akan mendapat ruang hidup seluas-luasnya. Tim 100 boleh bertemu dengan Presiden BJ. Habibie. Boleh diadakan Mubes dan Kongres. Boleh dikibarkan bendera Papua dan dinyanyikan lagu “Hai, Tanahku Papua”. Boleh didirikan Satgas Papua berikut posko-poskonya. Jala ditebarkan dalam-dalam hingga akhirnya ikan masuk dan jala ditarik. Inilah yang terjadi dengan instruksi penurunan bendera Papua tanggal 29 September 2000 dari Kapolri yang menjadi gebrakan awal untuk melakukan langkah represi luar biasa.

Terhadap gerakan massa, represi dilakukan dengan begitu mudahnya masyarakat dianiaya, ditangkap, disiksa, dan ditembak mati, sedangkan pemimpin-pemimpin rakyat ditahan. Represi ini mendatangkan dampak yang tidak sederhana: [1] kekerasan antar kelompok masyarakat seperti telah terbukti di Wamena (6 Oktober), Merauke (2 Desember); [2] pengungsian baik warga Papua maupun non-Papua; [3] ketakutan yang bersifat sistemik di tingkat masyarakat; [4] kecurigaan antar berbagai kelompok dalam masyarakat; [5] kebingungan karena kehilangan kepemimpinan; [6] makin menipisnya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah di segala tingkat. Nada dasar dari semua ini adalah diciptakannya suasana konflik dan kekerasan yang pelan-pelan diidentikkan sebagai ciri perjuangan orang Papua. Semua tindakan ini sangat tidak proporsional mengingat bahwa seluruh perjuangan rakyat Papua dijalankan secara damai, maka sangat sinis bahwa aparat negara hanya tahu menjawab dengan menahan “tokoh-tokoh perjuangan damai”, dan hanya tahu turut mengubah suatu iklim damai menjadi suatu iklim kekerasan.

Dalam konteks budaya, masyarakat dong juga menjadi korban dengan pemaksaan nilai “keberadaban” yang dilakukan dalam program-program pemerintah. Salah satunya adalah Operasi Koteka. Identitas kolektif orang asli Papua sebagai sebuah masyarakat yang modern dan beradab dipaksakan melalui program pemerintah tersebut. Tahun 1971-1973, pemerintah Indonesia melaksanakan Operasi Koteka (penutup penis dari sejenis labu, sebagai pakaian tradisional di dataran tinggi Papua) yang terdiri atas elemen-elemen Angkatan Bersenjata dan Pemerintah Sipil. TNI/Polri dan aparat birokrasi bergabung dalam kegiatan-kegiatan yang dirancang untuk membuat masyarakat pedalaman Papua beradab dan untuk mengembangkan serta menciptakan kondisi-kondisi sosial, budaya, ekonomi dan politik, yang akan digunakan untuk pengembangan Papua lebih lanjut, dengan tujuan utamanya menciptakan ide-ide nasional (dalam perspektif Indonesia) yaitu, masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Operasi Koteka adalah kampanye militer Indonesia yang bertujuan untuk mempengaruhi orang asli Papua di pegunungan untuk meninggalkan aspek-aspek dari kebudayaan asli mereka, bersekolah, menjadi modern secara ekonomi, dan mengadaptasi identitas Indonesia yang lebih umum. Para pejabat berusaha untuk memaksa masyarakat suku Dani sebagai orang Pegunungan Papua untuk menukar Koteka mereka dengan pakaian bergaya Indonesia. Dengan demikian, strategi mempermalukan (humiliation strategy) digunakan dalam proses pembangunan di kalangan masyarakat Dani untuk membuat mereka lebih terlibat dalam perubahan sosial.

Ketidakberimbangan kekuasaan tercermin dalam persepsi terhadap penduduk asli melalui pelecehan terhadap budaya-budaya tradisional lokal dan melabel budaya tersebut sebagai “terbelakang” dan “tidak beradab”. Atas nama pembangunan modern dan kemajuan, strategi mempermalukan yang meyakinkan masyarakat atas ketidakberhargaan diri dan budaya mereka tidak berharga, sehingga mereka merasakan inferiority complex dan dipaksa untuk terlibat dalam perubahan sosial.

Akumulasi keputusaan penduduk asli Papua dilanjutkan dengan pengabaian hak-hak budaya sebagai cerminan martabat kolektif mereka. Masyarakat asli Papua merasa martabat dan identitas mereka tidak diakui (contoh: proses yang tidak melibatkan mereka dalam kebijakan seperti program transmigrasi, penolakan pengakuan terhadap tanah ulayat atau wilayah nenek moyang, eksploitasi sumber daya alam, kurangnya kesempatan bagi masyarakat lokal untuk berpartisipasi dalam administrasi negara, dan lain-lain). Masyarakat asli Papua mengekspresikan kefrustasian mereka yang sudah terakumulasi sejak lama melalui pelbagai demonstrasi damai (Sugandi, 2008:5-6).

Baca Bagian Pertama di sini: Antropologi dan Gerakan Sosial: Perspektif Papua (Bagian I)

Bersambung…

Penulis adalah staf pendidik/Dosen Jurusan Antropologi Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Papua (Unipa) Manokwari, Papua Barat.

________

[1] Seluruh bagian ini diambil dari “12 Tahun Penegakan Hak Asasi Manusia di Tanah Papua: Catatan Refleksi 12 Tahun Kehadiran ELSHAM di Tanah Papua” (elshamnewsservice). Diakses 14 Agustus 2011.

[2] Seluruh bagian ini dikutip dari Aboeprijadi Santoso, “Bintang Kejora Nasionalisme Etnik Papua Berkembang Alamiah”. Radio Hilversum, 26 Januari 2001.

[3] Seluruh bagian ini saya kutip dari Simone Baab dan Victor Mambor, wawancara dengan George Junus Aditjondro, “Gerakan Masyakarat Sipil di Papua” (fokerlsmpapua.org). Diakses 10 April 2011.

[4] Catatan SKP Jayapura (044/SKP/01/1.5.) “Papua, Ko Mau Kemanakah?” (2001).

Artikel sebelumnyaNara itu Topeng Pemimpin Indonesia
Artikel berikutnyaNara Masista Rakhmatia dan Pembohongan Publik Atas Nama Kedaulatan Negara