Warinussy: Menko Polhukam Bicara Tidak Berdasar Hukum

1
2410

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — “Persoalan pelanggaran hak asasi manusia di dalam konteks negara hukum Indonesia tidak bisa diselesaikan secara musyawarah dan mufakat, apalagi secara adat.”

Demikian ditegaskan Yan Christian Warinussy, Direktur Eksekutif LP3BH Manokwari yang juga Advokat dan Pembela HAM di Tanah Papua, menanggapi pernyataan Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto, sebagaimana dipublikasikan di sejumlah media massa, Kamis (6/10/2016) kemarin.

Wiranto dalam pernyataan pers menyatakan bahwa penyelesaian masalah pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Tanah Papua akan dapat ditempuh dengan jalan musyawarah dan mufakat.

“Pernyataan tersebut bersifat melanggar hukum,” tegas Warinussy, dalam keterangan tertulis yang diterima suarapapua.com, Jumat siang.

Menurut Yan, negara Indonesia telah memiliki landasan konstitusional dalam konteks penyelesaian pelanggaran HAM sebagaimana termaktub di dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28A, Pasal 28B ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (3), Pasal 28G ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 28I ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5).

ads
Baca Juga:  Beredar Seruan dan Himbauan Lagi, ULMWP: Itu Hoax!

Dibeberkan, UUD 1945 telah menjadi dasar utama dalam konteks perumusan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Khusus di Tanah Papua, tulis Yan, di dalam Pasal 44 dan 55 dari Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua sebagaimana dirubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008, sudah jelas diatur mengenai langkah-langkah hukum dalam konteks penyelesaian masalah pelanggaran HAM di Tanah Papua.

Baca Juga:  ULMWP Kutuk Penembakan Dua Anak di Intan Jaya

Ia menyebutkan langkah dimaksud adalah dengan membentuk Pengadilan HAM serta Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) di Tanah Papua, dimana Pengadilan HAM akan bertugas memeriksa dan mengadili berbagai bentuk tindakan pelanggaran HAM yang Berat yang terjadi semenjak Undang-undang Pengadilan HAM berlaku sah.

Sedangkan KKR, kata Warinussy, akan mendapat tugas untuk melakukan upaya klarifikasi sejarah Papua yang di dalamnya tentu akan bersentuhan dengan pelanggaran HAM, dan sekaligus akan mencari akar masalah dan merumuskan tawaran solusinya secara adil dan sesuai harapan para korban, yaitu rakyat Papua sendiri.

“Dengan demikian, saya justru menilai pernyataan Menko Polhukam Wiranto bahwa penyelesaian masalah pelanggaran HAM di Tanah Papua akan ditempuh dengan jalan musyawarah dan mufakat, adalah salah dan tidak berdasar hukum sama sekali,” ungkapnya.

Baca Juga:  Konflik Horizontal di Keneyam Masih Berlanjut, Begini Tuntutan IPMNI

Warinussy berpendapat, penyelesaian masalah pelanggaran HAM di Tanah Papua harus ditempuh melalui jalan yudisial, yaitu proses hukum sampai ke pengadilan HAM, dengan didasarkan pada Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua.

Yang kedua, menurutnya, jalur non-yudisial yakni dengan mekanisme rekonsiliasi melalui pembentukan KKR dan dijalankan sesuai amanat pasal 45 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsu Papua.

Karena itu, ia pertanyakan, “Dimanakah letak dasar hukum dari model penyelesaian pelanggaran HAM melalui jalur musyawarah dan mufakat versi Meno Polhukam Wiranto itu? Diatur di undang-undang dan atau peraturan mana?.”

Pewarta: Mary Monireng

Artikel sebelumnyaSelamat Jalan Sang Filsuf Mee
Artikel berikutnyaNatalius Pigai: Indonesia Bangsa Multiminoritas (1)