Negara Dibonsai Cara Pandang Sektarian dan Eksklusif (Bagian 2)

0
2247

Oleh: Natalius Pigai

Kami mengikuti secara cermat perkembangan dinamika kondisi sosial masyarakat akhir-akhir ini  terganggu dengan menguaknya intensitas sentimen negatif terkait suku, agama, ras antar golongan. Aktor-aktor sipil non negara dengan perilaku intoleran berbasis agama berpengaruh pada fragmentasi sosial saat momentum Pilkada sebagaimana yang terjadi di DKI Jakarta, tetapi juga berpengaruh pada aspek yang lain termasuk pengelolaan negara.

Adanya penolakan terhadap penunjukan Kombes Sigit Pranowo sebagai Kapolda Banten yang oleh para sekelompok komunitas Muslim hanya karena beragama non muslim sangat tidak beralasan.

Terkait dengan gangguan ketertiban dan keamanan dalam pengelolaan pemerintahan dan politik khususnya dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah sebagai momentum pelaksanaan hak asasi manusia, khususnya hak untuk ikut memilih (right to vote) dan dipilih (right to a part of), pelaksanaan pemilu yang jujur dan adil (free and fair election) tidak boleh dibiarkan.

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Presiden sebagai kepala negara tidak boleh kalah melawan kelompok sipil intoleran, negara memiliki power untuk memaksa untuk menegaskan keutuhan kebinnekaan bangsa berbasis pada Pancasila, UUD 1945 dan Adagium Bhineka Tunggal Ika dengan memperhatikan hak asasi manusia.

ads

Dalam tataran praktek berbagai instrumen hukum hak asasi manusia yang menjamin adanya perlindungan terhadap tindakan kekerasan atas dasar kebencian suku, agama, ras dan antar golongan sebagaimana tercantum dalam UU Nomor 40 tahun 2008, UU Nomor 39 tahun 1999, UU Nomor 12 tahun 2005.

Ketegasan Presiden untuk menolak permintaan orang-orang yang mengganggu persatuan dan kesatuan bangsa merupakan wujud nyata Pemerintah dalam menegaskan kepada rakyat bahwa Indonesia adalah negara plural dan modern, egaliter, meritokrasi dalam rekrutmen penyelenggara negara baik melalui pengangkatan maupun pemilihan.

Indonesia sejatinya gugusan kepulauan yang dihuni oleh para migran yang beraneka, maka secara sosial bangsa kita adalah multiminoritas, ini bertanda adanya fakta labilitas integrasi sosial, karena itu karakter kebangsaan pemimpin negara sangat menentukan eksistensi kita.

Baca Juga:  Freeport dan Fakta Kejahatan Kemanusiaan Suku Amungme dan Suku Mimikawee (Bagian 3)

Kami menegaskan bahwa salah satu kewajiban utama negara sesuai dengan instrumen hukum HAM adalah memastikan adanya jaminan perlindungan terhadap seluruh warga negara tanpa melihat latar belakang suku, agama, ras dan juga golongan. Oleh karena itu, Indonesia sebagai negara multiminoritas, Pemerintah harus menjamin agar negara tidak dibonsai dalam sektarianime dan eksklusivisme yang naif yang mengganggu keutuhan negara bangsa.

Kita mesti belajar dari negara-negara lain yang ratusan tahun hidup dalam segregasi ras dan agama, telah terpuruk dalam konflik dan mengancam ribuan nyawa manusia, negeri lain terpuruk akibat perang saudara, yang lain terpuruk dalam cara pandang yang salah atas doktrin dan dokma yang dianut. Ancaman nyata telah di depan kita, selain bangsa ini rapuh dalam integrasi sosial, juga ancaman nyata 13 negara tetangga, belum lagi ancaman narkotika dan terorisme, perang proxy, juga ancaman tanpa batas melalui teknologi informasi.

Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

Dari dalam negeri, negara mau dibonsai tanpa batas melalui pengembangan opini di media sosial, FB, Twitter, group-group WA, tercipta pemahaman yang keliru tentang cara pandang negara bangsa dari imajinasi Kartografi nusantara yang beraneka. Oleh karena itu, pencegahan dan deteksi dini terhadap adanya gangguan instabilitas nasional melalui intervensi dan penetrasi bahaya atas dasar kebencian berbasis SARA menjadi urgensi bagi Pemerintah, kepolisian, lembaga intelijen dan tokoh-tokoh masyarakat dan agamawan, juga pihak-pihak yang terkait.

Bagian pertama baca di sini: Natalius Pigai: Indonesia Bangsa Multiminoritas (1)

Baca Juga: Kita Semua Bangsa Pendatang dan Multiminoritas Penghuni Gugusan Kepulauan Nusantara

Bersambung…

Penulis adalah Komisioner Komnas HAM Republik Indonesia

Artikel sebelumnyaAntropologi dan Gerakan Sosial: Perspektif Papua (Bagian 3)
Artikel berikutnyaPembangunan Jalan Trans Jayapura – Wamena, Solusi Stabilitas Ekonomi Masyarakat