Indonesia Pasti Ijinkan Referendum Atau Dialog dalam 5 – 10 Tahun     

1
3203

Oleh: Pares L Wenda

Dalam sebuah perjuangan pasti ada akhirnya, tidak perduli kapan dimulai sebuah perjuangan itu. Sejarah bangsa Papua mencatat bahwa perjuangan rakyat Papua telah mencapai usia yang ke 50 tahun lebih. Bangsa Israel diperbudak di Mesir lebih dari 3 abad dan mereka menemukan agin kebebasan ketika Musa memimpin mereka keluar dari tanah Mesir. Indonesia dijajah juga kurang lebih tiga setengah abad juga mendapat kebebasan penuh pada 17 Agustus 1945 sebagai momentum kebebasan bangsa Indonesia. Dari dua pengalaman di atas kita patut akui dan mencatat bahwa sebuah perjuangan pasti ada akhirnya. Saya prediksi momen yang dinantikan (oleh rakyat Papua) itu akan tiba 5 sampai 10 tahun yang akan datang.

 

Analisis Agenda Indonesia untuk Papua Vs Agenda ULMWP untuk Papua

Indonesia tentu beranggapan bahwa semua orang yang berjuang Papua Merdeka adalah musuh Negara dalam tanda kutip. Sebaliknya ULMWP dan organisasi jaringan pro demokrasi yang berjuang gigi untuk Papua Merdeka memandang semua orang yang berjuang Papua tetap ada di dalam NKRI adalah musuh mereka, dalam tanda kutip. Dalam tanda kutip artinya paradox ini tidak selamanya benar. Karena di zaman penjajahan Belanda terhadap Indonesia pun, banyak orang Belanda yang setuju Belanda keluar dari Indonesia dan membantu proses perjuangan Indonesia merdeka. Demikian juga dengan Jepang.

ads

Pemerintah Indonesia berada dalam dua perspektif yang tajam dan keduanya sulit disatukan. Diamana ada  yang memang setuju Papua lepas dari Indonesia tetapi tidak mau jujur seperti Ulil Abrar, tetapi adapula yang tidak setuju. Tentu yang setuju Papua dalam Indonesia berfikir banyak hal untuk Papua tidak merdeka, namun Pemerintah juga sedang berfikir bagaimana caranya meyusup dalam agenda kerja musuh untuk menuju referendum atau dialog.

Baca Juga:  Freeport dan Kejahatan Ekosida di Wilayah Suku Amungme dan Suku Mimikawee (Bagian 4)

Salah satu agenda kerja yang saya kira mereka sudah, sedang dan terus akan dilakukan adalah mengurangi populasi penduduk asli pribumi. Berbagai pendekatan sudah dilakukan sejak Papua diintegrasikan ke dalam Indonesia. Modus akhir-akhir ini yang kita ikuti adalah pembunuhan tabrak lari, melahirkan dengan cara operasi (kebanyak ibu-ibu Papua), minuman oplosan, mingrasi non Papua pake Kapal Putih dan Pesawat Boeing yang masuk ke Papua dan berbagai pendekatan lain. Kalau hal itu sudah mencapai target yang ditentukan, tentu langka berikutnya adalah  melakukan sensus penduduk untuk memastikan bahwa telah mencapai target maksimal pengurangan etnis Papua asli.

Menimal menggenapi pridiksi Universitas Sydney dan Yale University tentang genosida di Papua. Dan jika belum tentu referendum atau dialog juga tidak disetujui, sebaliknya jika sudah dipastikan terjadi pengurangan papulasi penduduk Papua dan terjadi peningkatan populasi non Papua di Papua maka peluang Indonesia setuju salah satu opsi dengan berani menyetujui Referendum atau dialog dengan ULMWP sebagai representasi perjuangan rakyat Papua menuju pembebasan semakin terbuka.

Meskipun banyak pihak mungkin akan mengatakan bahwa tidak perlu minta inji dari Indonesia, tetapi fakta Pembebasan Timor Leste atas persetujuan Presiden Habibi dan Perundingan Aceh/GAM dan Indonesia atas kesediaan Presiden SBY dan untuk Papua pasti juga aka nada persetujuan dari Pemerintah Indonesia apakah itu referendum atau dialog, kecuali atas desakan PBB mendorong beberapa Negara Eropa timur bekas Negara Uni Soviet diakui sebagai berpemetintah sendiri (self-governing). Dalam urusan apapun tentang Papua Indonesia pasti dilibat dan diminta pertanggungjawaban moralnya atas semua pelanggaran HAM yang terus terjadi  slowly burt surly pelanggaran HAM menjadi kebiasaaan sehari-hari di Papua dengan berbagai modus.

Baca Juga:  Politik Praktis dan Potensi Fragmentasi Relasi Sosial di Paniai

 Sementara di pihak ULMWP dan organiasi gerakan perjuangan Papua merdeka tentu berfikir terbalik, dan mereka tidak mungkin masuk dalam agenda kerja Indonesia untuk Papua apakah itu untuk pembangunan atau untuk melakukan pembalasan terhadap proses pemusnahan yang sudah dan sedang terjadi. Saya menduga mereka akan serahkan pembalasan dipadang sebagai hak Tuhan untuk membalas kejahatan setimpal baik pelaku terhadap keluarganya, dan juga sebagai Negara yang bernama Indonesia.

Karena itu saya memandang ULMWP dan jaringan pendukungnya akan mendorong ULMWP menjadi anggota penuh MSG, PIF, PIDF, mendaftarkan Papua ke dewan dekolonisasi PBB, mempengaruhi dan menggalang sejumlah Negara-negara pendukung Papua merdeka untuk berbicara di forum PBB seperti 7 negara lainnya di Pacifik yang sudah menyatakan keprihatinan mereka terhadap isu HAM di Papua Barat. Tentu jika tidak menginginkan penurunan populasi etnis Papua yang terus berlangsung langka ULMWP dan jaringannya hendaknya didukung penuh baik di Indonesia yang pro demokrasi dan pembebasan dan dukungan secara global.

Hal ini penting karena sama seperti dukungan Indonesia terhadap isu pembebasan Palestina, tentu Negara lain juga konsen terhadap pembebasan Papua, sekiranya proses seperti itu wajib dihormati. Tidak atas nama kedaulatan (sovereignty) menolak intervensi negara lain terhadap isu Papua. Tetapi di saat yang sama mendukung Palestina dengan mengabaikan kedaulatan Israel. Namun kita patut akui perjuangan rakyat Palestina untuk pembebasan atas penjajahan yang mereka alami dan perjuangan rakyat Papua untuk pembebasan pula. Perjuangan Palestina atas pendudukan Israel di atas tanah leluhur mereka, dan pendudukan Indonesia terhadap tanah leluhur bangsa Papua (Melanesia). Perjuangan yang sama, beda proses sejarah perjalanan perjuangan rakyat. Satu hal yang penting adalah Tuhan selalu berpihak kepada mereka yang berjuang dalam kelemahan.

Baca Juga:  Kegagalan DPRD Pegunungan Bintang Dalam Menghasilkan Peraturan Daerah

 

Tindakan PBB dan Masyarakat Internasional untuk Papua

Dunia dan PBB tidak ingin menyatakan penjesalan di masa mendatang atas proses slow motion genocide di Papua, maka cara yang bermartabat, elegan, manusiawi,  jujur, adil maka masyarakat Internasional wajib mendorong pemerintah mereka untuk mengangkat isu Papua di level kenegaraan, level kawasan seperti negara-negara kawasan Asia Tenggara juga harus bicara, ini masalah universal tentang kemanusiaan, dan di PBB. Opsi mendaftar masalah Papua di dewan kemanan PBB merupakan satu opsi yang tepat dan penting. Dan partisipasi negara-negara lain untuk bicara di sidang umum PBB tahun depan dari tujuh negara menjadi lebih dari itu juga sangat bagus. Sehingga di tahun-tahun berikutnya Negara-negara yang mempunyai hak veto di PBB pasti dan akan berbicara.

Indonesia menyangkal tentang tuduhan pelanggaran HAM, itu hak mereka, tetapi bahwa kami yang hidup di atas tanah dan negeri kami ini menyaksikan mingrasi yang terus terjadi dan terus bertamba populasi orang non Papua di Papua, pembunuhan sistematis melalui berbagai modus, salah satunya yang trend sekarang adalah modus tabrak lari terjadi di hampir seluruh Papua dan anda bisa menyaksikan hal itu di Media Sosial. Pembunuhan aktifis mama-mama Papua seperti Rojit alias Robert Jitmau adalah satu contohnya. Kiranya penderitaan ini berakhir segera, dan opsi seperti ini, tidak terjadi.

Penulis adalah Sekretaris Baptis Voice atau Komisi Ham Gereja Baptis Papua dan Anggota Ketua Pemuda Gereja Baptis Se Dunia.

Artikel sebelumnyaPresiden Jokowi Jangan Lupa Kasus Pelanggaran HAM Papua
Artikel berikutnyaTabuni: Pemekaran 111 Kampung di Intan Jaya Tidak Terkait Pilkada