Steven Itlay Dituduh dengan Barang Bukti dan Keterangan Saksi yang Jauh dari Substansi Masalah

0
9452

Oleh: Beni Pakage

Perkara dugaan makar, ketua KNPB Mimika, Steven Itlay kembali digelar di Pengadilan Negeri Timika pada Rabu 2 November 2016. Jalannya sidang dikawal ketat TNI/Polisi dengan persenjataan lengkap.

Sidang yang berlangsung dari pukul 10.00.WIT hingga 10.40.WIT ini dibuka oleh hakim ketua Pengadilan Negeri Timika dengan awalnya memberikan kesempatan kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk membacakan Duplikat perkara atas tuduhan makar yang dikenakan kepada Steven Itlay.

Dalam duplikat perkara ini, Steven dituduh melakukan makar dan penghasutan yang diancam dengan pasal 160 KUHP yaitu perbuatan untuk melawan pemerintahan yang berkuasa dan memisahkan diri dari negara Indonesia.

Selain dalam duplikat ini, Steven bukan saja dikenakan pasal makar, namun juga dikenakan  pasal tentang penghasutan dan pasal 487 KUHP pengulangan “Residivis” dengan berat hukuman 1 tahun 6 bulan penjara dikurangi masa tahanan.

ads

Padahal Steven di kasus pertama ditangkap karena dituduh menyimpan bahan peledak dan tidak terbukti kebenarannya di pengadilan pada tahun 2014. Sehingga terdakwa dikenakan kasus Residivis dalam kasus sekarang adalah upaya JPU untuk mencari kesalahan Steven untuk menghukumnya.

Tuduhan Makar dan penghasutan sesuai pasal 106 dan Pasal 107 KUHP serta pengulangan sesuai pasal 487 KUHP ini dinilai banyak kalangan sebagai sesuatu yang berlebihan oleh jaksa dalam sidang yang berlangsung di PN Timika.

Dari barang bukti, JPU jadikan tulisan di beberapa poster, bendera Solomon Island, Vanuatu, Fiji, Papua Nugini, Kanaky dan Senegal serta lembaran pernyataan sikap saat ibadah tanggal 6 April 2016 sebagai barang bukti.

Baca Juga:  Politik Praktis dan Potensi Fragmentasi Relasi Sosial di Paniai

Untuk menyikapi tuduhan itu, banyak kalangan mengatakan, Steven Itlay dikenakan Pasal 106 dan 107 KUHP mengenai Makar, sama sekali tidak tidak terlibat Makar dan memenuhi unsur-unsur makar.

Karena saat mengeluarkan pernyataan di panggung saat ibadah mendukung IPWP di London tanggal 5 April 2016, Steven Itlay tidak pernah mendeklarasikan negara Papua Barat sebagai unsur  “ada niat” atau “permulaan pelaksanaan”. Ketika itu terduga hanya menyampaikan beberapa kata sebagai bentuk dukungan rakyat Papua terhadap pertemuan IPWP agar wadah ini dipakai sebagai alat untuk menyelesaikan berbagai Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Tanah Papua yang belum juga diselesaikan oleh pemerintah Indonesia dan dipakai untuk mempertanyakan keabsahan Pepera 1969 dan New York 15 Agustus 1963.

Sedangkan untuk barang bukti berupa tulisan dan gambar di poster, Steven Itlay sama sekali tidak tahu menahu dengan poster itu karena dia tidak pernah membuat poster dan tidak ada saksi yang memberatkan Steven mengenai tulisan dan gambar yang ditaruh saat ibadah tersebut.

Dengan demikian, dimasukkannya poster dan selebaran dalam BAP (Berita Acara Pemeriksaan) Steven Itlay untuk melegalkan tuduhan telah menyalahi aturan hukum sendiri karena itu dianggap tuduhan tanpa dasar hukum dan jauh dari substansi masalah sebenarnya.

Dimana Steven Itlay ditangkap polisi dan gabungan Militer Indonesia sesuai BAP atas pernyataannya di atas panggung saat ibadah bukan saat membagi-bagi selebaran kepada Orang Papua. Demikian juga dengan pemasangan bendera Salomon Island, Vanuatu,Fiji, Papua Nugini, Kanaky dan Senegal dalam ibadah tanggal 6 April 2016 untuk mendukung IPWP di London adalah sesuatu yang tidak diketahui atau dibuat oleh Steven.

Baca Juga:  Hilirisasi Industri di Indonesia: Untung atau Buntung bagi Papua?

Steven tidak pernah mencetak bendera itu atau memasang bendera itu di lokasi Ibadah mendukung IPWP. Dan menurut beberapa warga, bendera-bendera yang dipasang adalah bendera negara yang telah diakui oleh Konvensi PBB, sehingga JPU tidak perlu mempersoalkan bendera-bendera itu, apalagi ada perwakilannya di Indonesia.

Dengan mereka beralasan: Mengapa waktu Piala Dunia atau di baju-baju ada bendera Inggris, Brasil dan sebagainya tidak dipersoalkan oleh Indonesia? Bahkan banyak narapida yang memakai baju bendera Negara lain, JPU tidak pernah persoalkan itu sebagai bendera makar?

Dalam kasus ini dengan jelas JPU berusaha menjebak Steven Itlay dengan tuduhan Makar dengan barang bukti yang tidak sesuai dengan substansi masalah yang sebenarnya tanpa keterangan saksi memberatkan mengenai barang bukti  tersebut. Dimana Steven ditangkap di panggung saat orasi, sehingga Jaksa harus menyertakan video pernyataan Steven Itlay di atas panggung di gereja Golgota SP 13 Timika sebagai barang bukti dalam BAP.

Bila jaksa menggunakan barang bukti yaitu selebaran, bendera negara-negara di atas sebagai barang bukti makar, demikian juga poster, maka barang bukti yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum, tak kuat dan kasus ini berjalan tanpa barang bukti serta keterangan saksi yang memberatkan tanpa dasar hukum pembenaran. Apalagi polisi yang menjadi saksi yang memberatkan terdakwa dengan barang bukti juga dengan jelas telah menuduh Steven Itlay dengan menyatakan: Steven mengeluarkan pernyataan Aceh Mau Merdeka, Kalimantan Mau Merdeka, sehingga Papua harus keluar dari NKRI, tanpa bukti pembenaran dan keterangan saksi lain.

Baca Juga:  Adakah Ruang Ekonomi Rakyat Dalam Keputusan Politik?

Kesimpulannya, barang bukti buat kasus Steven Itlay jauh dari kasus sebenarnya dan hanya dalam rangka mengekang tuntutan rakyat Papua mengenai peninjauan kembali keabsahan PEPERA 1969 dan New York Agreement 15 Agustus 1963.

Dalam hal ini hakim diminta agar melihat substansi masalah yang sebenarnya yaitu pernyataan Steven Itlay di panggung saat ibadah di SP 13 Timika, bukan menggunakan saksi yang menipu dan barang bukti yang tidak sah tanpa video pernyatan Steven Itlay. Karena kasus ini sama sekali tidak ada hubungan dengan pasal mengenai makar dan penghasutan.

Kemudian mengenai pengulangan atau Residivis, Steven Itlay tidak pernah dihukum atas kasus melawan negara, namun itu hanya merupakan tuduhan hukum Indonesia atas tuntutan referendum bangsa Papua Barat yang dimediasi oleh KNPB. Referendum hanya sebuah istilah tanpa paksaan dan bukan istilah makar, namun mengandung arti hak bebas dan bagian dari Demokrasi dan HAM.

Penulis adalah pengamat sosial. Tinggal di bumi Amungsa.

Artikel sebelumnyaPeta Pemetaan Tanah Adat di Jayawijaya akan Jadi Model Pemetaan Tanah Adat untuk Papua
Artikel berikutnyaOrang Non Papua Terus Kuasai Kota Wamena