Refleksi Empat Kali Kunjungan Presiden Joko Widodo Ke Papua (Bagian 1)

0
3340

Oleh: Soleman Itlay

Patut kita berikan apresiasi kepada presiden Joko Widodo, yang dikenal sebagai presiden yang paling sering berkunjung ke provinsi paling timur Indonesia, Papua dan Papua Barat. Pada masa 2 tahun kepemimpinan, sedikitnya 4 kali berkunjung ke Papua. Hal ini merupakan suatu sejarah baru bagi Papua dalam kunjungan orang nomor satu di Indonesia sejak Papua dianeksasikan ke rumah Pancasila semenjak 1969 silam.

Padahal pemimpin-pemimpin negara sebelumnya, hanya dapat melakukan kunjungan kerjanya paling banyak dan sedikit dua kali. Sehingga, patutlah pertama kali Jokowi datang disambut dengan gembira, tetapi juga dalam tiga kali kunjungan disambut penuh dengan kekecewaan.

Siapa bilang tidak bangga, kalau seorang presiden berkunjung ke suatu daerah, tentulah, semua orang akan senang. Kehadiran pemimpin negara akan membawa warna tersendiri bagi suatu daerah yang dapat berkunjung itu.

Memang tidak banyak orang yang tahu terkait kunjungan kepresidenan dalam sejarah bangsa Indonesia yang paling sering berkunjung ke satu daerah ataupun provinsi. Tetapi ada dua orang sosok pemimpin negara yang tercatat di Indonesia adalah Susilo Bambang Yudhoyono, presiden ke enam, dan satunya lagi adalah Joko Widodo, presiden ke tujuh sekarang. Keduanya, berkunjung pada daerah dan pulau yang berbeda dengan ketertarikan tertentu yang belum diketahui oleh publik.

ads

Bagi Sumatera Barat, hal itu sangat terasa dalam kepemimpinan presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang memimpin Indonesia kurang lebih 10 tahun yang lalu. Tercatat enam kali berkunjung dalam dua periode kala itu. Kunjungan presiden tersebut membuahkan kado istimewa. Beliau dianugerahkan gelar Doctor Honoris Causa oleh pihak Universitas Andalas tepat pada kunjungan kerja yang kelima, 18 Desember 2006.

Ada sesuatu yang unik membuat presiden kelima dan keenam ini terus berkunjung di pulau yang paling barat itu. Apa saja membuat mantan jenderal bintang empat itu tertarik dengan kota Minangkabau? Tentu ada.

Sebenarnya ada beberapa hal yang membuat ketua umum Partai Demokrat itu tertarik berkunjung ke daerah itu. Rindu dan takjub akan keindahan alam dan panorama Minangkabau, betah karena kenyamanan dan keamanan terjamin, senang dengan keramahtamahan masyarakat, sumber daya manusia yang cepat beradaptasi dengan perkembangan dan perubahan tanpa meninggalkan akar budaya disana.

Di bawah kuasa semua itu, masalah yang sering timbul di tengah keindahan, menggerakkan hati presiden bolak balik ke Minang, Sumatera Barat. Bahkan dalam kunjungan kelima, beliau rela melewati jalan darat berjam-jam dari bandara ke tempat tujuan, hanya untuk menikmati keindahan alam disamping kunjungan kepresidenan.

Hal serupa juga dilakukan oleh sang presiden Jokowi di Papua. Tidak mau kalah dengan pemimpin sebelumnya, Susilo Bambang Yudhoyono. Orang nomor satu Indonesia yang ke tujuh ini tanda diketahui ingin menyamakan rekor dengan Susilo Bambang Yudhoyono, asalkan beliau harus dua kali berkunjung lagi ke Papua. Bahkan bisa mengalahkan rekor Susilo Bambang Yudhoyono yang enam kali berkunjung ke Minang, pulau paling barat Indonesia.

Tentunya, kesempatan Jokowi ada pada sisa masa jabatan, tiga tahun kedepan guna menyamai rekor mantan presiden. Sehingga, besar kemungkinan, suami Iriana ini dapat memecahkan rekor dalam sejarah bangsa Indonesia, presiden yang paling sering berkunjung ke Papua. Entahlah, apa motivasinya aktif berkunjung ke Papua, apakah benar-benar hendak sukseskan rangkuman program “Nawa Cita” ataukah ada nilai estetika lain yang menarik perhatiannya untuk bolak balik?

Sampai detik ini orang Papua sendiri belum tahu persis, apa yang menggerakan hati Jokowi sampai tidak mau absen untuk hadir ke Papua. Tidak mungkin tidak, palingan ada tetapi hanya Jokowi dan kaki tanganyalah yang tahu. Apakah presiden mau selesaikan persoalan atau hanya jalan-jalan saja ke Papua?

Jelas, tanpa “ada sesuatu” tidak mungkin Jokowi rajin datang atau dengan kata lain “ada” di Papua. Bayangkan, orang bolak-balik dengan jarak 1 Km saja pasti pikir capek berapakali lipat. Sob, jarak Jakarta – Papua (Jayapura) itu bukan dekat, tetapi bisa dikatakan lebih dari kata jauh dengan jarak 5.3 45 Km.

Ada dua kemungkinan besar, pertama kunjungan presiden ke Papua untuk menyelesaikan beragam persoalan seperti mengatasi rantai kemiskinan, pengangguran, kesakitan, kematian dan lain sebagainya. Kedua, kedatangan presiden sama sekali tidak membuahkan hasil yang memuaskan bagi orang Papua, terkesan memberikan janji-janji manis belaka.

Semua pihak tahu persis tentang perjalanan Jakarta – Papua itu bagaimana, menguras biaya yang begitu besar, tentunya. Jauh atau dekat, jelas membutuhkan biaya yang tidak sedikit dari setiap maskapai yang hendak pergi ke Jakarta ataupun sebaliknya. Satu kali perjalanan saja bisa memakan biaya sampai belasan juta rupiah. Makanya, kalau orang mau datang atau pergi dua pulau dengan jarak yang cukup berjauhan ini, pikir berlipat ganda. Bahkan berpikir adalah menjadi awal dan akhir, yang tidak akan bisa wujudkan impiannya.

Baca Juga:  Politik Praktis dan Potensi Fragmentasi Relasi Sosial di Paniai

Kunjungan presiden seperti ini memang biasa, bahkan berlaku di setiap negara. Hanya saja kunjungan presiden ke Papua berkali-kali ini tentu berbeda dengan yang dilakukan oleh pemimpin lain. Sungguh, hal ini memang membuat publik bertanya-tanya. Kenapa presiden Jokowi suka datang ke Papua ketimbang daerah lain di Indonesia? Apakah Jokowi datang ke Papua untuk menyelesaikan beragam persoalan ataukah hanya mencari pencitraan atas penderitaan orang Papua di atas kekayaan alam?

Tetapi, seorang Jokowi tidak mau mengambil pusing tentang jauh dan dekat maupun untung dan ruginya keuangan daerah ataupun kas negara yang sampai saat ini masih berhutang sebesar 2.600 triliun.

Tampaknya, presiden berusaha supaya menyelesaikan berbagai persoalan di tanah air secara bersamaan dalam kepemimpinannya. Hal ini dapat dilihat dari kunjungan presiden ke 33 provinsi di Indonesia, sejak terpilihnya sampai saat ini. Keseriusan besar terhadap bangsa dan negara ini dapat dilihat dari kepedulian presiden atas berbagai masalah yang langsung terjun ke tempat kejadian di beberapa daerah yang mengalami bencana alam.

Beberapa wilayah di luar provinsi, yakni Papua dan Papua Barat, sejumlah masyarakat menyambut presiden Jokowi dengan gembira dan bahagia. Karena di tengah bencana dan masalah yang dialami masyarakat, presiden tidak hanya memberikan janji tetapi juga bukti dengan mengatasi dan menyelesaikan begitu serius.

Hal ini dapat tercatat dari beberapa kunjungan presiden Jokowi ke daerah-daerah seperti Kalimantan, NTT, dan lain-lain. Memang di sini presiden memberikan kesan tersendiri bagi masyarakat Indonesia, bahwa sangat serius kerja nyata pada dua tahun belakangan ini.

Berbeda dengan kehadiran presiden di Papua empat kali. Ini menimbulkan tanggapan bermacam-macam dari berbagai pihak yang selama ini mengharapkan ataupun tidak menantikan akan kunjungan presiden ke Papua. Tanggapan yang bersifat pro dan kontra itu terjadi sebelum datang dan pasca orang nomor satu itu meninggalkan pulau Papua.

Cerminan tanggapan ini dapat terjadi pada setiap kalangan masyarakat, bahkan sampai saat ini pun masih menjadi topik diskusi hangat dari keluarga, kelompok LSM sampai di instansi atau lembaga pemerintahan di Tanah Papua.

Isu kontroversial terkait kehadiran presiden ini dapat dipahami dari dua kelompok yang berbeda dengan sudut pandang yang berbeda pula.

Pertama, ada kelompok masyarakat di Papua yang lebih percaya dengan kebijakan presiden Jokowi yang dianggap memberikan perubahan besar bagi Indonesia. Ada keterkaitan anggapan ini dengan rekam jejak presiden Jokowi dan juga sebagai mantan gubernur DKI Jakarta yang aktif dengan persoalan lapangan dan dekat dengan masyarakat pada tiga tahun yang lalu. Alasan tersebut dibesar-besarkan oleh kelompok orang tertentu, kemudian mengatakan presiden Jokowi tentu akan lebih serius dalam upaya menyelesaikan berbagai masalah yang terjadi di Tanah Papua, seperti kasus-kasus pelanggaran HAM, eksploitasi SDM, konflik horizontal, peredaran narkoba, minuman keras dan lain sebagainya. Kepercayaan ini dapat didukung dengan beberapa menteri yang aktif datang ke Papua.

Kehadiran para menteri seperti Luhut B. Panjaitan, mantan Menko Polhukam, sekarang menteri kemaritiman dan menteri lainnya yang sering berkunjung ke Papua terus melahirkan suhu percaya pada presiden Jokowi yang memimpin Indonesia selama 2 tahun ini.

Selain itu, peran media massa baik cetak maupun elektronik juga sangat membantu untuk terus percaya pada presiden Jokowi. Peran media massa turut membantu dalam membangun kepercayaan masyarakat terhadap kinerja presiden yang terus memberikan penasaran bagi seluruh rakyat di Indonesia lain, bukan Papua dan Papua Barat.

Di lain sisi, komitmen Jokowi yang melakukan terobosan di Indonesia wilayah lain pun ikut mempengaruhi sekelompok orang yang mengatasnamakan orang banyak di Papua sebagai bentuk menanamkan rasa percaya pada presiden Jokowi yang lebih besar.

Contoh kasus, peristiwa Bali Nine yang menembak mati para pengedar narkoba asing di pulau Nusakambangan pada Rabu, 29 April 2015 lalu, ikut membangun optimisme orang Papua yang hampir sebagian besar adalah tidak menghendaki presiden Jokowi datang ke Papua. Kelompok ini terus mempropagandakan isu kedatangan presiden dengan pernyataan demikian, presiden Jokowi amat konsisten dengan setiap keputusan demi pemulihan nama baik negara yang semakin merosot di mata dunia.

Sehingga, dapat diharapkan juga agar presiden Jokowi bisa menyelesaikan persoalan dan membangun Papua yang lebih baik dalam sebutan “Bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Presiden Jokowi dinilai akan mampu menangani berbagai konflik yang terjadi di Papua yang selalu saja menghilangkan nyawa orang secara cuma-cuma, mengeksploitasi SDA sewenang-wenang, mengambil alih fingsi lahan sesuka hati dan lain sebagainya.

Baca Juga:  Freeport dan Kejahatan Ekosida di Wilayah Suku Amungme dan Suku Mimikawee (Bagian 4)

Biar pun banyak yang dianggap negara sebagai aktor dibalik semua hal ini, namun dari sisi lain negara Indonesia yang menjunjung tinggi hukum dan demokrasi mampu menyelesaikan secara bertahap, tersusun, sistematis dan berkelanjutan pula.

Upaya ini termasuk berhasil dalam mempengaruhi pola pikir masyarakat Papua yang tinggal dalam aliran darah akibat timah panas agar tidak perlu menolak kedatangan Jokowi ke Papua. Karena isteri Iriani yang cukup lama tinggal di Papua ini dinilai mampu menyelesaikan persolan Papua secara baik dan serius.

Kunjungan presiden tentunya memberikan manfaat dan hasil yang memuaskan bagi masa depan orang Papua yang lebih baik. Meski tidak bisa berubah sekedar itu, tetapi paling tidak ada perubahan selama dua tahun dalam kepemimpinan presiden Jokowi di Papua.

Memang sebelumnya banyak yang menolak, tetapi juga tidak kalah jumlahnya dengan berbagai pihak yang mendukung presiden berkunjung ke Papua. Pada akhirnya, presiden berhasil berkunjung ke Papua sekitar empat kali.

Baru-baru ini juru bicara presiden, Johan Budi SP mengatakan, kunjungan Jokowi ke Papua memiliki kemajuan yang signifikan bagi masyarakat daerah tersebut. “Seperti misalnya pembangunan infrastruktur, transportasi yang kemudian mampu menekan harga kebutuhan pokok di Papua sangat signifikan,” kata Johan saat dihubungi sindonews, Selasa (18/10/2016). Lebih lanjut Johan mengatakan, “Kehadiran Presiden ini juga sebagai bentuk kepedulian presiden Jokowi kepada rakyat Papua,”

Kemudian banyaknya kepercayaan ini, presiden Jokowi dapat berkunjung ke Papua kurang lebih empat kali. Kunjungan kerja ini dapat membuahkan beberapa kebijakan, seperti menekan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) di Papua yang dikenal dengan kata sangat mahal. Ini terus membangun kepercayaan sekalipun pernyataan presiden Jokowi tersebut tidak didukung dengan suatu keputusan yang mengikat. Bahkan dengan modal kepercayaan yang semakin bertumbuh banyak di mata masyarakat di Papua ini juga dapat menarik perhatian presiden untuk kembali datang ke Papua.

Hal-hal seperti di atas menjadi bahan pertimbangan bagi kelompok yang pro dengan kehadiran Jokowi ke Papua yang lebih banyak berasal dari aparat kemananan, militer, birokrat, politisi dan masyarakat Papua yang segelintir. Dengan modal tersebut mereka juga memiliki optimisme bahwa presiden akan memutus mata rantai persoalan yang panjang dan dalam yang sulit diselesaikan dengan berpikir dan berkata semata.

Kemudian beragam janji presiden termasuk rencana pembangunan pasar Mama-mama Papua, penyelesaian kasus pelanggaran HAM yang menelan korban pada 8 Desember 2014 lalu, serta 19 orang luka-luka, dan lain-lain, akan selesaikan secara cepat.

Kedua, adalah kelompok masyarakat yang lebih banyak berasal dari keluarga korban penembakan, eksploitasi SDA, hak ulayat, dan lain sebagainya. Dari empat kali kunjungan kerja presiden ke Papua, kelompok ini menilai kunjungan presiden tidak membuahkan hasil yang baik, malah setiap kali berkunjung hanya menggantungkan janji diatas janji presiden sendiri. Mereka menilai presiden terlalu bertele-tele dalam menyelesaikan berbagai persoalan di Papua.

Berikut beberapa janji presiden Jokowi yang dianggap kurang konsisten dan benar-benar menghina terhadap orang asli Papua dibalik janji manis dalam empat kali berkunjung ke Papua.

Janji pertama, 27 – 29 Desember 2014

Kunjungan perdana Jokowi tepat pada 27 Desember 2014 lalu, pada kunjuangan ini presiden merayakan natal nasional bersama rakyat Papua, di stadion Mandala, Jayapura. Mantan gubernur DKI Jakarta yang dikenal dengan gubernur yang suka tidur bangun bersama rakyat itu bermalam di Jayapura dalam penjagaan ketat oleh militer. Jokowi yang identik dengan teman rakyat kecil itu tak mendengarkan suara mereka lagi, cukup bertatapan dari atas panggung pada hari pertama di stadion Mandala, Jayapura.

Harapan para akar kecil Papua yang meninggikan beliau dengan 2.026.735 (72,49%) suara pada pemilihan presiden, 9 Juni silam itu, tak sempat bertemu seperti sewaktu dia, presiden masih menjadi gubernur DKI Jakarta. Harapan orang Papua untuk berjabat tangan selama dua hari presiden di Jayapura, dikecewakan oleh aparat kemanan dan militer yang membatasi ruang bagi rakyat kecil.

Kehadiran presiden bagaikan angin segar pada Desember itu, kedatangan beliau memang bertepatan dengan orang Papua sedang berduka atas peristiwa Paniai Berdarah, 8 Desember 2014. Saat itu seluruh orang Papua optimis serta berharap kasus yang menewaskan 4 pelajar yang menjadi kado natal orang Papua itu dapat diungkap dengan kehadiran sang presiden saat itu.

Dan di hadapan ribuan rakyat Papua, presiden berjanji negara akan segera menyelesaikan kasus Paniai Berdarah. Kesempatan itu juga presiden sampaikan kasus tersebut perlu diselesaikan agar dapat memberikan rasa adil dan kemanusiaan kepada keluarga korban seraya berharap kasus serupa tak boleh lagi terulang lagi di Papua.

Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

Janji presiden terkesan terapung di atas air mata orang Papua yang sampai detik ini belum tuntas terhadap kasus tersebut. Kado natal orang Papua yang diberikan aparat kemanan itu tidak ada upaya penyelesaian berkelanjutan, sekalipun sudah membentuk tim Adhoc dari Komnas HAM RI. Janji Jokowi tersebut dinilai sebagai bentuk penghinaan besar bagi orang Papua, di mana dirinya secara terbuka mengangkat bicara di hadapan ribuan orang Papua untuk menyelesaikan kasus ini sebagai bentuk keseriusan negara terhadap pelanggaran HAM berat di Tanah Papua.

Kejadian yang mengenaskan itu kini takandas di rumah “Beda Pandangan” diantara Komnas HAM dan Jaksa Agung Republik Indonesia. Sehingga, kasus Paniai Berdarah yang menjadi kado natal buruk Desember bagi orang Papua itu, berbalik dengan istilah “kado janji natal prsiden” yang tak kunjung selesai.

Kunjungan perdana presiden, berakhir pada 29 di Raja Empat, Papua Barat. Beliau menghabiskan waktu selam tiga hari di Papua dan Papua Barat. Jokowi mengakhiri tahun 2014 di pulau yang kian gencar dipromosikan di dunia di balik penderitaan rakyat itu.

Ia berkunjung di Raja Empat dengan melakukan agenda kenegaraan di samping menikmati indah alam. Bahkan janji untuk menyelesaikan kasus Paniai Berdarah pun dapat berakhir pula di alam panorama Raja Empat. Mungkinkah keindahan alam itu akan menyelesaikan kasus dan memberikan harapan baru bagi orang Papua, tentu tidak.

Apakah presiden akan konsisten dengan janji yang ia sampaikan pada orang Papua terkait kasus Paniai Berdarah dan beragam kasus pelanggaran HAM lainnya? Kita tunggu, sisa masa jabatan tiga tahun kedepan.

Janji kedua, 8 – 11 Mei 2015

Kunjungan kali ini presiden memusatkan perhatian di bidang ekonomi, seperti meninjau proyek jaringangan serat optik, pembangunan saranan olahraga unntuk Pekan Olahraga Nasional (PON) 2020 dan pembangunan jembatan Haltekamp di Jayapura Papua. Hal ini dilakukan agar semua aktivitas sarana PON 2020 dapat diselesaikan, minimal 2019 sudah rampung. Sehingga, presiden langsung mengagendakan untuk peletakan batu di beberapa tempat terkait dengan pembangunan infrastruktur sarana PON 2020, yang mana Papua sendiri akan menjadi tuan rumah pada tahun 2020.

Pada kunjungan ke dua ini juga presiden Jokowi memberikan grasi, dimana memberikan pengurangan tahanan remisi kepada lima tahanan politik Papua. Mereka adalah Linus Hiel Hiluka dan Kimanus Wenda (keduanya divonis 19 tahun 10 bulan), Jefrai Murib dan Numbungga Telenggen (keduanya divonis seumur hidup) dan yang terakhir Apotnalogolik Lokobal (vonis 20 tahun).

Dalam kesempatan kala itu, presiden sempat menyinggung 90 tahanan politik Papua yang tersebar di beberapa Lapas di Papua. Saat itu Jokowi bilang, “Ini adalah langkah. Sesudah ini akan diupayakan pembebasan para tahanan politik di daerah lain juga. Ada 90 yang masih harus diproses,” ujarnya, dikutip laporan wartawan BBC, Ging Ginanjar, edisi 8 Mei 2015.

Pada, 10 Mei 2015, presiden Jokowi resmi mengumumkan untuk jurnalis asing bebas liput berita di Papua. “Mulai hari ini, wartawan asing diperbolehkan dan bebas datang ke Papua, sama seperti wartawan asing datang dan liput di wilayah lain di Indonesia,” kata Jokowi.

Ini merupakan buah janji ke sekian kalinya setelah Jokowi berjanji untuk menyelesaikan kasus-kasus lain di Papua seperti Pania Berdarah. Hal tersebut berujung pada Surat Edaran Menteri Dalam Negeri yang mengatur prosedur kunjungan wartawan asing ke Indonesia pada 11 Agustus 2015. Sayangnya, pernyataan Jokowi ini kemudian digagalkan lagi oleh lembaga Clearing House yang melibatkan 12 kementerian atau lembaga negara, mulai dari Kemendagri, Kepolisian, BIN, sampai Menko Polhukam.

Dalam kunjungan kedua ini, paling tidak dapat menambah dua buah janji yakni janji tentang rencana pembebsan 90 tahan politik Papua yang tersebar di seluruh Bumi Cenderawasih dan membuka akses bagi jurnalis asing di Papua. Kedua janji dalam kunjungan kedua tersebut merupakan perhatian negara kepada orang Papua. Itulah hadiah indah kunjungan sang presiden ketujuh ke Papua pada Mei 2015 lalu. Kemungkinan besar akan ada hadiah istimewa lagi, entahlah dalam bentuk apa saja.

Bisa saja dalam bentuk menghilangkan nyawa secara paksa, berjanji akan “Itu” dan “Ini” yang sebenarnya orang Papua tidak mengerti dengan kinerja sekaligus kunjungan presiden Jokowi ke Papua yang tidak pernah memberikan nilai positif bagi orang Papua. Nantinya, orang Papua sebagai korban atas tindakan brutal dan janji manis negara akan menunggu keadilan sampai Jokowi datang, kalau tidak sampai Tuhan Yesus datang kembali ke bumi Indonesia.

Bersambung….

*) Penulis adalah anggota aktif Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) St. Efrem, Jayapura, Papua.

Artikel sebelumnyaManusia Antropologi-Politik Papua (Bagian 1)
Artikel berikutnyaLP3BH Menduga Ada Tindakan Rasial dan Diskriminasi dalam Kasus Manokwari