Eksistensi Masyarakat Ha-Anim

0
3592

Oleh: Kelompok Belajar Perempuan Papua Yogyakarta )*

Kelompok Belajar Perempuan Papua Yogyakarta telah melakukan diskusi  seri ke VI dengan tema diskusi yang diangkat adalah Eksistensi Masyarakat Ha-Anim. Diskusi ini diadakan pada Selasa (8/11/2016) di Asrama Putri Merauke Yogyakarta. Bentuk diskusinya dengan menyaksikan film berjudul ‘The Mahuzes’, lalu diskusi bebas bersama perempuan-perempuan dari wilayah Selatan Papua yang sementara berdomisili di Yogyakarta.

Film The Mahuzes

Film ini menceritakan tentang keadaan masyarakat adat di wilayah kabupaten Merauke yang semakin hari semakin memprihatinkan.

Peta administratif yang digambarkan di kiri ini, memperlihatkan lokasi masuknya investor besar ke tanah Merauke. Pertama diperlihatkan pada 10 Mei 2015, presiden Jokowi datang ke Distrik Kurik (simbol bintang hitam) untuk panen hasil produski beras. Dalam pidato singkat yang didokumentasi oleh Metro TV, Jokowi mengatakan bahwa rencananya 2,5 juta Ha akan dibuka untuk lahan padi. Namun yang memungkinkan adalah 1,2 juta Ha di daerah tersebut.

ads

Dalam pidato tersebut, Jokowi juga mengatakan bahwa untuk membuat sawah seluas 1,2 juta Ha membutuhkan dana triliun rupiah, sehingga perlu adanya kerja sama antara investor dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk berkolaborasi dalam mewujudkan pengembangan sawah di distrik ini.

Pada tanah 1954, Belanda membuat sawah pertama di distrik ini dengan luas 96 Ha, namun sampai 2014 luas sawah sudah mencapai 43.000 Ha. Sedangkan pernyataan presiden Jokowi memutuskan untuk membuat 1,2 juta Ha dalam 3 tahun. Padahal sisa lahan sekitar 500 ribu Ha. 1,2 juta Ha sebanding dengan ¼ Kabupaten Merauke.

Hal ini dilakukan karena Papua hendak dijadikan basis penghasil pangan untuk memenuhi kebutuhan dunia yang dikemas dalam Proyek MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate). Untuk membangun sawah, maka lahan hutan ditebang habis untuk lahan persawahan.

Topik kedua adalah perusahaan kelapa sawit. Lahan untuk kelapa sawit mencapai 200.000 Ha. Hal ini terjadi di distrik Muting (pada peta administratif diberikan simbol segitiga merah) dilakukan perampasan tanah seluas 200 ribu Ha dari masyarakat adat. Lalu mendapat perlawanan dari masyarakat marga Mahuze yang menolak dibangunnya lahan kelapa sawit. Penolakan ini dilakukan karena penebangan liar menyebabkan kerusakan hutan, ekosistem, sehingga mata pencarian masyarakat terganggu dan yang paling penting adalah tanah untuk keturunan berikutnya terancam dirampas.

Hal lainnya adalah masyarakat sadar bahwa hutan Sagu merupakan tempat yang turun temurun diberikan dari leluhur sedang dirusak, bahkan tanpa sepengetahuan mereka mengenai perizinannya, maka identitas mereka sedang perlahan dihancurkan. Perizinan dalam pematokan tanah adat pun dilakukan oleh oknum-oknum marga Mahuze tanpa sepengetahuan semua anggota keluarga. Lalu, perusahaan pun tidak memperhitungkan hak-hak masyarakat adat, maka penebangan hutan dilakukan untuk penanaman bibit kelapa sawit.

Baca Juga:  Orang Papua Harus Membangun Perdamaian Karena Hikmat Tuhan Meliputi Ottow dan Geissler Tiba di Tanah Papua

Kesadaran akan tanah adat yang dirampas oleh perusahaan akhirnya membuat masyarakat marga Mahuze melakukan aksi pemalangan. Aksi ini dilakukan agar mencegah pengrusakan hutan. Akibat dari penebangan hutan menyebabkan sumber air menjadi berkurang, satwa semakin berkurang, lalu air menjadi kotor dan hutan Sagu berkurang.

muting

Sayangnya, aksi ini tidak diindahkan oleh perusahaan. Delapan hari setelah itu, justru perusahaan menggunakan polisi, Kopassus serta pihak keamanan (preman) dari perusahaan untuk menghancurkan papan yang bertuliskan penolakan tersebut. Bahkan dari pihak Kopassus menyatakan bahwa pada tulisan ini ada unsur intimidasi terhadap perusahaan.

Hal itu tidak meruntuhkan semangat keluarga Mahuze  untuk  melakukan perlawanan. Mereka bergerak bersama pihak Gereja dan tokoh-tokoh masyarakat, untuk mengembalikan identitas mereka sebagai masyarakat adat.

(Sumber Film: https://www.youtube.com/watch?v=MSVTZSa4oSg)

Diskusi

Manusia Papua pada umumnya memiliki hidup dalam hukum adat. Adat ini berkaitan dengan budaya tempat interaksi sosial itu terjadi. Dalam interaksi sosial itu dilakukan di sebuah lahan atau tempat yang disebut tanah adat. Di Merauke juga seperti itu telah diberikan batas-batas tanah adat yang dibagikan sesuai marga (nama keluarga yang diturunkan ke keturunan laki-laki).

Diskusi ini melihat lima aspek besar, yaitu aspek perempuan, ekonomi, sosial, lingkungan hidup, dan aspek kesehatan.

  1. Perempuan

Marga ini diturunkan, maka penerus marga wajib menjaga tanah adat ini untuk keturunan berikutnya. Dalam kehidupan sehari-hari perempuanlah yang berperan aktif dalam menjaga tanah serta mengambil hasil alam dari tanah, seperti: sagu dari batang pohon sagu. Sehingga ketika terjadi kerusakan  alam atau hutan, pihak yang sangat dirugikan adalah perempuan. Lahan tempat mereka mencari makan untuk keluarga dihancurkan.

Hal inilah yang menyebabkan perlawanan masyarakat adat dilakukan. Seperti di menit ke-41 dari film ini, massa aksi yang pergi untuk menghentikan alat berat yang digunakan karyawan perusahaan kelapa sawit didominasi oleh kaum perempuan.

Potret ini menunjukkan kesadaran untuk mempertahankan tanah untuk anak dan suami serta keturunan sangat besar. Mereka memang dibatasi dalam mengambil keputusan di dalam rapat adat, namun pada praktiknya mereka lebih peka dalam melihat masalah besar ini. Perlu dilakukan pergerakan perempuan yang melawan ketidakadilan ini atas kerusakan hutan serta perampasan tanah adat.

Perempuan Papua harus kritis, peka dan tegas dalam mengambil keputusan, percaya diri serta tampil untuk menyatakan ketidakadilan yang diterimanya. Menerobos sistem-sistem yang ada untuk melindungi tanah dan manusia Papua.

  1. Aspek ekonomi
Baca Juga:  Adakah Ruang Ekonomi Rakyat Dalam Keputusan Politik?

Perusahaan kelapa sawit akan sangat berguna bagi pemerintah untuk menaikan PAD (Pendapatan Asli Daerah) yang mana ‘mungkin’ digunakan untuk kepentingan rakyat. Namun prakteknya hal ini akan sangat jauh dari kenyataan karena praktek korupsi masih rentan terjadi di Provinsi Papua. Bahkan beberapa wakil rakyat pun menggunakan topeng-topeng adat untuk merampas hak-hak masyarakat adat dalam mendapatkan jaminan hidup yang sejahtera.

Ekonomi di masyarakat sekitar akan memburuk bila perusahaan ini terus beroperasi di sini. Hal ini karena tenaga ahli dari masyarakat sekitar tidak memadai untuk dapat bekerja di perusahaan ini, kecuali menjadi buruh kasar. Sehingga, akan didatangkan manusia non-pribumi untuk kerja dan meraup keuntungan dari tanah milik pribumi. Bahkan mungkin perjanjian pembagian persenan dari perusahaan ke masyarakat tidak akan mensejahterakan masyarakat adat ini.

Masyarakat harus mandiri dalam mengembangkan ekonominya. Sehingga tidak berharap pada perusahaan atau pemerintah. Kembangkan produk-produk kreativitas untuk menunjang kehidupan masyarakat. Masyarakat juga bisa terus menanam tanaman sayuran atau ubi agar, produktivitas tanah terus terjaga juga sambil menjaga tanah mereka.

  1. Aspek sosial

Masyarakat adat yang bermarga Mahuze merupakan masyarakat adat yang peka terhadap kerusakan hutan. Filosofi tanah adalah mama atau sumber kehidupan, membuat masyarakat ini memperjuangkan tanah mereka, bahkan hingga untuk yang kedua kalinya papan pemberitahuan dicabut, mereka tetap melakukan acara adat dan gencar melawan, dimana mereka melalukan ritual menguburkan kepala babi. Tujuannya agar meminta leluhurnya untuk turut menjaga tanah adat tersebut. Karena secara fisik mereka diintimidasi oleh pihak perusahaan.

Seharusnya  pemerintah sangat diperlukan dalam menjaga hak-hak masyarakat adat (tanah, manusia, dan budaya).

Untuk itu, perlu dilakukan pendampingan oleh masyarakat adat dengan kepala daerah atau instansi yang terkait. Sebagai katalisnya diperlukan lebih banyak Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LSM) atau gerakan-gerakan yang dipelopori oleh manusia Papua yang bertujuan untuk melindungi masyarakat adat.

Sosialisasi juga perlu dilakukan untuk memberikan penjelasan kepada masyarakat adat tentang hak-hak yang dijamin pemerintah, didukung pula dengan regulasi yang jelas serta melakukan monitoring dan evaluasi yang jelas. Hal lainnya perlu dilakukan bukti kerja nyata untuk mencegah hal ini dari kalangan akademi, dan masyarakat umum lainnya.

  1. Aspek Lingkungan Hidup

Aspek lingkungan hidup seharusnya menjadi perhatian penting setiap orang. Lingkungan hidup yang baik akan berguna bagi makhluk hidup di sekitarnya. Ekosistem hutan merupakan tempat bagi tumbuhan, hewan dan manusia untuk bertahan hidup. Namun jika hutan dihancurkan, tentu akan menyebabkan kerusakan yang fatal bagi ekosistem itu sendiri.

Baca Juga:  23 Tahun Otsus, Orang Asli Papua Termarginalkan

Hutan Papua ditemukan banyak jenis tumbuhan obat maupun tumbuhan manfaat lainnya yang dapat berguna untuk makhluk hidup lainnya. Jika terjaid penebangan dan perusakan hutan, maka tumbuhan ini akan hilang, bahkan satwa pun akan bermigrasi atau punah. Aktivitas manusia di pabrik atau perusahaan juga menyebabkan polusi udara, air, dan polusi tanah.

Kelapa sawit merupakan tumbuhan yang dapat merusak struktur kesuburan tahan, lalu aktivitas pabrik pembakaran dapat menyebabkan polusi udara, sehingga terjadi hujan asam dan sebagainya. Polusi suara pun dapat terjadi karena aktivitas alat-alat berat, ditambah lagi dengan limbah saat produksi maupun limbah pekerja tak diolah secara baik dapat menyebakan kerusakan sistem perairan.

Hal ini perlu mendapat perhatian khusus dari pemerintah serta LSM atau gerakan yang peduli terhadap lingkungan. Penebangan tanpa adanya reboisasi (penanaman kembali) akan membuat bencana alam yang kemungkinan merugikan masyarakat sekitar.

Diperlukan perlawanan besar-besaran bukan saja marga Mahuze, namun semua masyarakat Papua maupun non-Papua untuk menjaga lingkungan hidup untuk keturunan selanjutnya.

  1. Aspek Kesehatan

Kesehatan adalah investasi masa depan setiap orang. Namun dengan adanya industri, maka dapat mengganggu kesehatan. Seperti yang dijelaskan pada aspek lingkungan hidup. Jika air menjadi kotor, maka kemungkinan sakit akibat microorganisme berbahaya, minyak, akan menyerang masyarakat, bahkan keracunan zat-zat tertentu. Apalagi masyarakat hanya mengandalkan air dari kali atau sungai untuk melakukan aktivitas domestik seperti tokok sagu, memasak, dan lainnya. Polusi suara juga akan memungkinkan mengganggu pendengaran dari manusia serta satwa yang berada di sekitar lahan industri.

Hal lainnya adalah jika ada perusahaan, maka akan ada tempat hiburan bagi karyawan. Kemungkinan besar prostitusi merajalela dimana-mana, sehingga bahaya penyakit HIV/AIDS mengancam kepunahan manusia Papua hari ini. Pun dengan beredarnya Minuman Keras (Miras) yang dapat menghancurkan pola pikir dan hidup manusia Papua sampai menyebabkan kematian.

Diperlukan ada keseriusan pemerintah, juga perlawanan dari masyarakat adat yang dirugikan agar hal-hal diatas tidak semakin besar dampaknya.

Peserta diskusi sepakat bahwa kenyataan tersebut bukan saja masalah serius yang dihadapi masyarakat adat Merauke, namun seluruh Papua, bahkan Indonesia sedang mendapat ancaman perampasan hak-hak dasar masyarakat adat. Untuk itu, diharapkan generasi muda dan generasi lanjut terus membangun kesadaran dan perlawanan atas hal ini.

)* Artikel ini merupakan hasil diskusi Kelompok Belajar Perempuan Papua Yogyakarta di Yogyakarta.

Artikel sebelumnyaDi Manokwari Komnas HAM Didesak Intervensi Pelanggaran HAM di Papua Sejak 1960-2016
Artikel berikutnyaNatalius Pigai: Komnas HAM Beri Perhatian Khusus Untuk Kasus Manokwari