Ketika Umat Terbelenggu oleh Gembalanya

Refleksi 50 Tahun Hierarki Gereja Katolik Keuskupan Jayapura

0
2577

Oleh: Soleman Itlay

Selamat Ulang Tahun 50 Tahun Hierarki Gereja Katolik Keuskupan Jayapura. Dalam usia dewasa gereja ini mampu membawa umat dari kehidupan lama ke kehidupan yang baru. Dalam perjalanan Gereja Katolik Keuskupan Jayapura sejak 15 November 1966 hingga sekarang merupakan satu momentum yang amat berarti bagi umat di Tanah Papua.

Peristiwa kegerejaan saat ini bermula dari satu Keuskupan Agung Merauke dan  Keuskupan Sufragan, Sukarnopura dulu, kini disebut Jayapura, termasuk Keuskupan Manokwari – Sorong. Terimakasih atas penyelenggaraan segala usaha menabur benih dan menumbuhkan Gereja di Tanah ini.

Tahun ini kita diperhadapkan dengan satu peristiwa penting dalam hidup menggereja dengan perjalanan menuju kehidupan abadi, Kerajaan Surga. Dalam peristiwa penting ini pula ingin saya menulis sebuah artikel berupa refleksi ketika mengumat dalam Gereja Katolik Keuskupan Jayapura selama puluhan tahun.

Tulisan ini merupakan murni dari apa yang saya lihat dengan mata kepala, raba dengan tangan, dengar dengan telinga, dan rasakan dengan hati. Itu bukan terjadi tempat lain, adalah Gereja Katolik Keuskupan Jayapura.

ads

Sebelumnya saya terkejut dengan tema perayaan 50 Tahun Hierarki Gereja Katolik Jayapura, yakni ‘Kokoh Diatas Iman Yang Berakar Dalam Budaya, Melangkah Keluar Menginjili Dunia’. Mau apalah, sebagai umat yang sulit memrotes dan yang selalu ikuti kemauan pimpinan atau lebih tepatnya gembala gereja Katolik memilih diam seribu bahasa. Lebih lanjut, bagi saya perayaan hari ini adalah perayaan hierarki untuk kaum umat terbelenggu oleh gembalanya.

Kata “hierarki” berasal dari bahasa Yunani yakni hierarchy yang berarti “asal usul suci atau tata susunan”. Menurut ajaran resmi Gereja Katolik, susunan, susunan hierarki sekaligus merupakan hakekat kehidupannya juga. Selain itu, dalam Kitab Suci juga dapat menjelaskan perutusan ilahi ialah yang dipercayakan Kristus kepada para rasul sampai akhir zaman (bdk. Matius 28:20). Sehingga, Gereja sebagai asas hidup hukumnya wajib mewartakan kabar gembira sampai di akhir zaman kepada siapa dan dimana pun juga.

Hal tersebut dapat dipertegas lagi dalam Konsili yang mengajarkan “atas penetapan ilahi para uskup menggantikan para Rasul sebagai gembala gereja”. Kepada para Rasul berpesan, agar menjaga seluruh kawanan, tempat Roh Kudus mengangkat mereka untuk menggembalakan jemaat Allah (bdk. Kis 20:28). Pengganti mereka yakni para Uskup, dikehendaki-Nya menjadi Gembala-Nya hingga akhir jaman. Struktur Hierarkis Gereja yang sekarang terdiri dari dewan para Uskup dengan Paus sebagai kepalanya, dan para Imam serta Diakon sebagai pembantu Uskup.

Baca Juga:  Indonesia Berpotensi Kehilangan Kedaulatan Negara Atas Papua

Konsekuensi untuk hierarki mesti menyadari bahwa tugas kepemimpinan yang diembannya adalah pelayanan. Para petinggi gereja berada di tengah-tengah umat sebagai pelayan. Konsekuensi dalam hubungan hierarki dan umat harus memandang umat sebagai partner kerja dalam membangun Gereja. Bukan sebagai pelengkap penderita yang seolah-olah tak  berperan apa-apa. Bukan tahunya hanya perintahkan semata-mata apa yang ada dan diharapkan untuk ada oleh umat selalu dihiraukan.

Sungguh, “gembala” apa yang kami baca, dengar, lihat dan rasa, kau bukan benar-benar mewartakan karya dan kabar penyelamatan yang diharapkan umat. Melainkan mewartakan penderitaan, kemiskinan dan penindasan yang berkepanjangan kepada anggota umat secara sepihak. Bahwa di dalam sini dan di luar sini banyak sekali perbuatan manusia termasuk “gembala” tak manusiawi.

Gembala yang baik tak bisa hanya mewartakan kabar gembira dan keselamatan di tempat mewah, tetapi juga ikut merasakan penderitaan, kemiskinan, dan penindasan umat sebagai tempat pelayanan.

Kadangkala mewartakan salah diartikan oleh para gembala hari ini. Gembala yang baik itu bukan hanya mewartakan dari tempat duduk mewah dan mimbar Gereja yang hanya membuat umat tak memprotes pewartaan yang melenceng jauh. Apa yang disebut mewartakan adalah ikut aktif dalam dinamika umat dalam hidup menggereja dan bernegara. Singkatnya, berikan kontribusi perubahan di tengah-tengah realitas sosial.

Jika seorang gembala hanya tinggal di dalam kantor, berkunjung ke tempat-tempat tertentu dengan kepentingan di pundak belakang, ia tak jauh dengan penindas kecil yang terus tanamkan benih kesakitan, kemiskinan dan penindasan bagi umatnya sendiri. Padahal, tugas dan tanggung jawab yang diharapkan umat adalah gembala berani mewartakan pesan Kristusnya dalam realitas menuju perubahn yang revolusioner.

Sikap ketidakpedulian Gembala kepada nasib umat yang sakit, miskin dan tertindas ialah bentuk penjajahan yang amat jahat, ketimbang penjajahan yang dilakukan penjajah kepada bangsa-bangsa lain atas bangsa lain. Pada akhirnya umat hanya mengikuti, mendengar dan melaksanakan pewartaan kepentingan sang Gembala. Sehingga, umat tak hanya menjadi penganut agama, tetapi lebih dari itu yakni penganut bohong dalam wayang pewartaan Kristus.

Baca Juga:  Politik Praktis dan Potensi Fragmentasi Relasi Sosial di Paniai

Jika seorang mengatakan gembala demikian adalah “Manusia Satu Dimensi” yang digerakkan oleh mekanik yang disebut kepentingan. Oleh sebab itu, semua orang terutama gembala dan para pengikutnya harus sadar untuk menjaga misi gerejanya guna perubahan sosial yang baik. Gembala dan umatnya tak perlu saling takut menghadapi realitas sosial yang menghancurkan moral dan martabat manusia sebagai mahkluk yang segambar dan serupa dengan Allah.

Gembala, apakah Anda takut terlibat dalam persoalan umat? Ataukah sengaja membiarkan umat tetap sakit, miskin dan tertindas? Arena agama itu adalah ruang dialektika yang bebas, sumber kekuatan dari segala kekuatan yang ada yang ada di alam semesta ini.

Keterlibatanmu sangat dirindukan oleh pengikutmu yang setia sampai tak setia untuk perubahan sosial. Karena misi Gereja yang diwartakan boleh dikatakan kumpulan dari roh-roh absolut yang mampu merubah tatanan hidup manusia secara utuh.

“Gembala” misi gereja yang mulia itu jangan sampai ikut campur oleh kepentingan ekonomi. Jika seperti itu kasusnya, maka gembala dianggap sebagai penjajah di dalam Gereja sendiri. Karena beragam pemahaman pun akan lahir dan memang seperti itu bahwa tugas panggilannya untuk kepentingan ekonomis secara pribadi maupun kelompok tertentu. Padahal, misi Gerejanya bukan untuk merasionalisasikan kapitalisme lanjut, melainkan bicara nasip umat yang terlantar dan termarjinalkan.

Sekalipun usia gereja sudah 50 tahun, namun perkembangan di tatatan umat tak maju selayaknya usia hierarki gereja Katolik Keuskupan Jayapura. Kenyataan hari ini ialah gembala terkesan sangat inklusif, merasa tak penting masalah yang dialami oleh umat, dan tak mau berbakti pada kehidupan umat dalam kehidupan sosial. Gembala dinilai sangat buta dan tuli dalam untuk menyuarakan kaum tak bersuara, kelompok manusia juga sebagai anggota umat yang bagian dari ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.

Agama adalah tempat yang layak untuk dijadikan ladang perhimpunan perubahan dan perdamaian dunia. Kenapa ini potensial, karena agama sangat netral dan tak memiliki kecurigaan yang besar dalam upaya menyelesaikan beragam persoalan dasar yang menghimpit kebebasan umat atau dengan kata lain pengikutnya.

Baca Juga:  Adakah Ruang Ekonomi Rakyat Dalam Keputusan Politik?

Jika saya boleh menyebutnya dengan sebutan agama adalah solusi diatas solusi untuk perdamain dunia. Sehingga, diharapkan kepada pemimpin agama, gembala harus berani menyuarakan bagi kaum tak bersuara untuk perdamaian dunia.

Tak ada yang idealis untuk merubah dunia, selain agama. Agama seharusnya tak lagi mewartakan mimpi-mimpi palsu, melainkan mengajarkan orang yang tepat guna mempertahankan hidupnya yang layak sebagai manusia yang bermartabat. Sehingga, setiap orang terutama umat pengikutnya dapat meresakan sentuhan pelayanannya secara utuh. Mungkin ini yang diharapkan semua umat sebagai anggota gereja selama ini.

Gereja adalah gedung, Gereja adalah Rumah Allah, tempat beribadat, misa, tempat merayakan ekaristi oleh umat. Gereja sebagai sebuah lembaga yang mampu mengakomodir kebutuhan rohani, tetapi juga badan sosial yang mampu menyelenggarakan tugas dan tanggung jawab untuk membantu kepada mereka yang sakit, miskin, dan tertindas oleh kekuasaan dan kepentingan termasuk sistem gereja yang sedang berlaku.

Gereja adalah Kasih Allah yang diaktualisasikan dalam mencintai diri-Nya dan orang lain, semua orang tanpa membeda-bedakan. Gereja adalah keluarga dan umat (masyarakat) yang kita cintai dan mencintai kita. Seluruh anggota umat memiliki martabat yang sama sebagai satu anggota umat Allah, meskipun terdapat fungsi yang berbeda.

Tetapi satu hal yang saya lihat dengan mata kepala, raba dengan tangan, dengar dengan telinga dan rasakan dengan hati dari tugas penggembalaan Gereja saat ini benar-benar membelenggukan umatnya sendiri di atas penderitaan, kemiskinan dan penindasan pula.

Sehingga dengan bertumbuhnya usia yang semakin dewasa ini dapat melihat kedepan, bagaimana Gereja aktif dalam hidup basis pelayanan, yakni umatnya sendiri. Bagaimanapun keadaan dan kondisi, diharapkan gereja tampil sebagai agen perubahan untuk membantu semua orang yang membutuhkan pelayanan yang bersumber dari Allah.

Iman Gereja mesti diperkokoh dengan cara menantang praktik hidup para penguasa yang memiskinan dan menindas umat. Kalau tidak, dapat saya sebutkan: “Gembala Membelenggu Umatnya Sendiri”.

)* Penulis adalah anggota aktif Perhimpunan Republik Indonesia (PMKRI) St. Efrem Jayapura, Papua

Artikel sebelumnyaUskup Jayapura Dituding Ubah Nama Dekenat Jayawijaya jadi Dekenat Pegunungan Tengah Secara Sepihak
Artikel berikutnyaFenia Meroh di Zaman Gadget