Masyarakat Adat Mbaham Matta Tuntut Perbaikan Harga Pala

0
5629

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Pala atau henggi dalam bahasa Mbaham di Kabupaten Fakfak, Provinsi Papua Barat, merupakan salah satu komoditi hasil hutan bukan kayu andalan yang dihasilkan oleh masyarakat adat Mbaham Matta di Fakfak.

Kebanyakan masyarakat adat Mbaham Matta memproduksi buah pala perdagangan berupa biji pala kulit, biji pala ketok dan fuli kering. Selain itu, buah pala diolah menjadi manisan pala basah dan kering, sirup pala dan sari buah pala.

Data yang dirilis Yayasan Pusaka, luas kawasan hutan tanaman pala di Fakfak mencapai 16.733 hektar dan tersebar di semua distrik.

Menurut Dirjen Kekayaan Intelektual, Kementerian Hukum dan HAM, bahwa Pala Tomandin  (myristica argentea) asal Fakfak mengandung astrid safrol yang lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan yang ada pada pala asal Banda.

Bulan November merupakan puncak musim panen pala di kampung-kampung. Para pedagang pembeli buah pala bertebaran dan menawarkan harga pembelian tak terkontrol, cenderung dibawah harga yang layak.

ads
Baca Juga:  Hindari Jatuhnya Korban, JDP Minta Jokowi Keluarkan Perpres Penyelesaian Konflik di Tanah Papua

Amos Wagab, aktivis ELSHAM Fakfak, menjelaskan, pada masa panen pala, para pedagang yang biasanya membeli pala di kota, kini mulai membeli pala di setiap kampung dengan harga dibawah dan tak wajar.

“Sebelumnya harga 1000 biji pala mentah Rp500 ribu, kini menurun menjadi Rp300 ribu, harga bunga pala dari Rp130 ribu per kilo menjadi Rp80 ribu per kilo. Ini merugikan petani,” kata Amos.

Beberapa waktu lalu, terdengar pemerintah sedang mengupayakan peraturan daerah tentang tata niaga pala di Fakfak, yang diharapkan dapat melindungi petani pala dan dapat mengamankan sumber produksi, hasil dan pasar pala. Tetapi tak ada yang tahu perkembangan nasib regulasi ini.

Baca Juga:  Pemprov PB Diminta Tinjau Izin Operasi PT SKR di Kabupaten Teluk Bintuni

Pada Juni 2016, Dirjen Kekayaan Intelektual, Direktorat Merek dan Indikasi Geografis, Kementerian Hukum dan HAM, telah mengumumkan Indikasi Geografis Nomor 08/IG/VI/A/2016 terhadap Pala Tomandin asal Fakfak, sebagai pertanda pengakuan resmi atas hak kekayaan intelektual (HAKI) atas pala yang dihasilkan petani setempat.

Idealnya, HAKI tersebut dapat lebih mensejahterakan masyarakat adat setempat, termasuk mengakui kwalitas buah pala setempat dan mendapatkan harga pala yang layak.

Esau Rumere, aktivis LSM PESOPEMA, mengungkapkan, praktiknya beda dan pemerintah tak serius dalam mengatur tata niaga pala di Fakfak.

“Pedagang mengendalikan pasar dan memainkan harga biji pala dengan dalil kwalitas pala untuk menjatuhkan harga pala petani,” ujar Esau.

Masyarakat adat Mbaham Matta resah atas ulah pedagang pala dan belum adanya tanda-tanda pemerintah bergerak untuk melindungi petani. Masyarakat adat Mbaham Matta yang tergabung dalam Forum Petani Pala (FPP) Fakfak sudah mendatangi tim pemerintah penyusun Perda, tetapi belum ada tanggapan yang memuaskan.

Baca Juga:  Hindari Jatuhnya Korban, JDP Minta Jokowi Keluarkan Perpres Penyelesaian Konflik di Tanah Papua

“Kami tidak puas, karenanya FPP Fakfak merencanakan melakukan aksi protes mendatangi kembali pemerintah dan DPRD Kabupaten Fakfak hari ini (22/11/2016). Kami menuntut Bupati Fakfak segera menerbitkan Perda Tata Niaga Pala dan mengeluarkan surat edaran harga Pala yang layak, sesuai dengan permintaan bersama masyarakat, yakni harga 1000 biji Pala Mentah sebesar Rp500.000, Bunga Pala Kering Rp100.000 per kilo, Biji Pala Kering Rp80.000 per kilo,” ungkap Amos Wagab, yang juga petani dan aktivis sosial setempat.

Aksi ini direncanakan akan diikuti ratusan petani dari berbagai kampung dan diisi aksi teaterikal untuk mengungkapkan nilai pala dalam kehidupan masyarakat setempat.

Sumber: Yayasan Pusaka

Artikel sebelumnyaTurnamen Futsal PERSIDEI Cup I Akan Digelar
Artikel berikutnyaUskup Leo Laba Ladjar: Umat Katolik Banyak, Terserah Kamu Mau Jadi Apa