Delapan Tahun Indonesia Didik KNPB Temukan Senjata Ampuh untuk Lawan

0
3580
Aparat Kepolisian hadang ratusan massa aksi KNPB di depan PLTD Waena, Jayapura, Papua, Rabu (13/7/2016) Pukul 15:12 WIT. (Foto: Harun Rumbarar/SP)
adv
loading...

Oleh: Benny Mawel)*

“Selama delapan tahun, pemerintah kolonial mendidik kami bagaimana harus lawan. Terimakasih Indonesia, kau telah mendidik kami,”ungkap Victor Yeimo dalam sabutan Hut KNPB yang digelar KNPB pusat di Expo Waena, Port Numbay, West Papua, Sabtu (19/11/2016).

Gerakan perlawanan yang dimotori anak-anak muda, kelahiran akhir 1970-an ke atas ini terus maju dari satu tahap ke tahap lain. Tahap emosional ke tahap edukasi, aksi jalanan ke aksi diplomasi, dalam negeri ke luar negeri, regional, kawasan pasific hingga ke ruang sidang forum PBB.

 

Sejarah KNPB

ads

KNPB berawal dari sini. Pada 2007, Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua se-Indonesia (AMPTPI) melahirkan resolusi aksi menutup Freeport dalam kongres II di Manado. Masing-masing wilayah diharapkan eksekusi agenda itu dengan mengelar aksi nasional, namun dalam perkembangan, ada yang mengatakan exodus dalam rangka mahasiswa merancang aksi di tanah Papua.

“Waktu itu tidak ada agenda exodus namun ada yang mendorong agenda exodus. Saya mendukung mereka yang mau pulang dan mendukung juga yang tinggal, terutama yang ada di Jakarta,”ungkap Markus Haluk, mantan Sekjen AMPTPI.

Walaupun tidak setuju dengan exodus, mendukung karena sebagian anggotanya dengan komando Buchtar Tabuni, waktu itu menjabat wakil Sekjen AMPTPI, yang bertemu dengan Victor Yeimo, aktivis Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) menyatakan exodus. Ribuan mahasiswa meninggalkan aktivitas kuliah di seluruh wilayah Indonesia ke Papua dalam tahun 2008.

Mahasiswa yang exodus mendirikan tenda darurat di lapangan makam Theys H Eluay, Sentani. Mama Yosepha, Sekjen AMPTPI, Markus Haluk aktif suplai makanan. Mahasiswa mengangkat isu “Papua Zona darurat” dan “Boikot Pemilihan PILPRES 9 April 2009” melalui demontrasi, spanduk dan diteruskan kepada publik melalui media pemberitaan.

Bucthar Tabuni aktif memimpin demontrasi. Demo  pengungkapan pembunuhan Opinus Tabuni dalam perayaan hari pribumi masyarakat Internasional pada 9 Agustus 2008. Pemulangan tahanan Politik Papua merdeka yang ada di luar Papua. Bucthra Tabuni juga memimpin demontrasi mendukung peluncuran Internasional Parlementarian for West Papua di Inggris pada 16 Oktober 2008 di Expo, Waena, Kota Jayapura.

Demontrasi mendukung IPWP ini berakhir dengan kericuhan antara polisi dengan demonstran. Nama Buchtar Tabuni mengemuka sebagai orang yang bertanggungjawab tetapi tidak sempat berurusan dengan polisi. Polisi menangkap dia dua bulan kemudian, pada 3 Desember 2008, bersamaan dengan Sebby Sambom, sebagai intelektual di balik aksi demontrasi mahasiswa itu.

Sebelum ditangkap, Mahasiswa Exodus bersama Tabuni mengelar pertemuan di pos 7, membentuk KNPB, pada 19 November 2008. Tabuni menjabat ketua umumnya. Informasi pembentukan KNPB pun menjadi menarik perhatian melalui pemberitan media maupun sosialisasi KNPB. Rakyat Papua semakin simpati dengan gerakan radikalnya.

Simpati publik itu, terutama kalangan muda wujudkan dengan mendirikan KNPB wilayah. Kurang lebih, dalam waktu dua tahun saja, setelah pembentukan KNPB sudah mencapai 29 wilayah dan Konsulat Indonesia Tengah dan Barat. Bahkan sampai ke kosulat luar negeri, kurang lebih di Papua New Guinea.  Gerakan KNPB wilayah lebih gila, aktivisnya membentuk dengan basis-basis, Sektor, sub sektor, keluarga dan perorangan.

“Kami bentuk KNPB tanpa surat pembentukan dari KNPB pusat. Kami bentuk, berjalan dua tahun baru surat pembentukan dari pusat terbit,”ungkap Romario Yatipai, insiator KNPB wilayah Mimika dalam wawancaranya dengan penulis di Jayapura pada pertegahan 2015.

Kata Yatipai, pendirian KNPB wilayah tanpa komando pusat itu tidak memegaruhi menghubungkan agenda. Agenda pusat selalu menjadi agenda KNPB wilayah melalui komunikasi personal maupun melalui pemberitaan media masa.

KNPB bukan organisasi baru, melainkan organisasi politik Papua merdeka yang terbentuk 19 Oktober 1961 dengan nama Komite Nasional Papua. Pembentukan KNP dihadiri 72 orang. Terdiri dari anggota Dewan Papua (New Guinea Raad), Wakil-wakil Partai Politik dan pribadi-pribadi yang berwenang di suku-suku terpenting. KNP waktu itu diketuai Wilem Inuri bertemu pada 21 Oktober 1961 dan membahas kelengkapan Negara. Bendera, Lambang, Lagu Kebangsaan, nama dan semboyang.

KNPB menyepakati Bendera Bintang Fajar, Lagu kebangsaan “Hai Tanahku Papua” Ciptaan Pdt. Kijne yang popular waktu itu, Lambang Negara burung Mambruk, Nama bangsa dan Negara, Papua Barat, dan semboyang Negara, “Keanekaragaman dalam kesatuan”. Hasil ini diserahkan ke Dewan pada 31 Oktober 1961. Kemudian, dewan menetapkan itu dalam rapat akbar pada 18 November 1961. Pengibaran bendera dan lagu dinyayikan pada 1 Desember 1961 atas persetujuan ratu kerajaan Belanda (J. P. Droglever 2005).

KNPB tidak menyebut proses ini sebagai deklarasi kemerdekaan, sebagaimana kebanyakan orang Papua. KNPB menyebut ini sebagai embrio lahirnya sebuah bangsa yang merdeka. Embrio itu tidak tumbuh lantaran pemerintah Indonesia mencaplok Papua bagian dari Indonesia. Pemerintah Indonesia ambil-alih melalui diplomasi dan invasi Militer di mulai dengan maklumat Tri Komando Rakyat (Trikora) pada 1961. Satu dari tiga Isi Trikora dengan jelas menyebtkan “Bubakan Negara boneka buatan Belanda”.

Indonesia melancarkan lobi-lobi internasional. Indonesia melobi Amerika untuk memenangkan perebutan sumber ekonomi. Presiden pertama Indonesia, Soekarno bertemu presiden Amerika John F. Kenedy pada 24 April 1961 . Kenedy menyambut Indonesia demi saham dalam perusahaan minyak di Sorong dan rencananya kemudia di Freeport dan kepentingannya menarik Indonesia ke Block Barat.

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Indonesia berhasil melobi Amerika, terutama dengan menawarkan gunung Nemangkawi yang mengandung tembaga, emas, nikel dan uranium. Amerikan menerima itu dengan menandatagani kontrak karya Freeport pada 1967 jauh sebelum Pelaksaan PEPERA 1969. Kepentingan ekonomi Amerika mendorong Indonesia merekayasa pelaksaan (Penentuan Pendapar Rakyat) refrendum 1969.

Amerika mendukung dengan mendesak PBB membuat perjanjian Amerika 1962. Perjanjian yang membuka peluang Indonesia mendapat legitimasi menagani pelaksaan PEPERA, melakukan pengkondisian dan mempersiapkan orang Papua memilih Idonesia. Dengan kewenangannya, Indonesia memilih 1.025 orang mewakili 800.000 0rang Papua. Orang-orang ini dikurung jauh sebelum pelaksaan pemungutan suara. Mereka dibujuk dengan moncong senjata dan barang-barang tidak bernilai sama sekali.

“Untuk mengambil hati mereka (orang Papua), semua memiliki radio transistor, sebuah lampu senter, pakaian dan sedikit uang,”ungkap J.P. Droglever, sejarahwan Belanda dalam bukunya “Tindakan Piliha Bebas: Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri Belanda J.P. Droglever.

KNPB menilai proses ini jauh dari perjanjian Amerika. Indonesia abaikan “Satu orang satu suara”. Karena itu, KNPB menyebut “PEPERA 1969 cacat hukum dan cacat moral”. Indonesia tidak tunduk kepada hukum internasional dan tidak pernah memberikan kebebasan memilih kepada orang Papua Barat. Indonesia malah menekan, memaksa orang Papua menjadi Indonesia dengan ancaman mocong senjata dan rajuan gombal.

KNPB menilai pemaksaan kehendak ini menjadi awal dari semua pemaksaan kehendak Jakarta di Papua. Termasuk pembantaian orang Papua dalam rangka kehendak Indonesia menguasai dan mengambil alih hak kepemilikan kekayaan alam Papua. Pelanggaran itu juga yang melegalkan pembunuhan orang Papua dalam pendudukan Indonesia.

Kaum muda Papua yang tergabung dalam KNPB, kebanyakan dari wilayah pedalaman Papua yang menyoal pelanggaran itu tidak banyak yang memiliki pengalaman terlibat, pengalaman mengungsi ketika orang Papua menghadapi Operasi Militer. Mereka lebih banyak memiliki pengalaman kolektif. Hanya sedikit yang mengalami peristiwa operasi militer di pegunungan Tegah Papua pada 1977/1978 wilayah Lapago dan 1983/1984 di wilayah Mepago. Bahkan ada yang lahir pada 1990 an, tidak pernah melihat dan tahu sama sekali situasi operasi militer, keculian kebenaran koletif atas hak menentukan nasib sendiri.

“Kami ini  gengerasi ke tiga yang tidak punya pegalaman langsung dengan perjuangan masa lalu,”ungkap Agust Kosaay ketua I KNPB pusat dalam wawancaranya dengan penulis, Rabu (14/09/2016) “namun kami membaca sejarah, melihat realitas Papua sangat memperihatikan. Orang Papua akan habis dalam sistem pemerintah Indonesia”.

Anak-anak yang tidak punya pengalaman langsung ini juga belajar dari literatur-literatur. Misalnya, Laporan Asia Human Rigth Wach tentang oprasi Kikis di pedalaman Papua 1977/78 yang menewaskan 4 ribu orang tewas. Penerbitakan buku sejarah Papua karya sejarawan Belanda JP Droglever, Buku-buku karya Sofya Sokrates Yoman, dari 15 buku yang ditulisnya, selalu menyelibkan sejarah Papua masuk ke Indonesia sangat membuka mata  anak muda Papua. KNPB melihat perkembangan situasi terkini dari kaca mata masa lalu itu.

Literatur-literatur itu menunjukan anak-anak muda Papua melihat ada kesalahan krusial dalam sejarah Papua menjadi bagian dari NKRI. Pemahaman itu betul-betul terealisasi dalam agenda yang diusung lebih pada pelangaran hukum dan moral. Karena itu, KNPB meningalkan agenda perjuangan klasik, pengakuan, perudingan yang mengemkan pada 1970-an hingga 1980-an dan pelurusan sejarah yang diusung Presedium Dewan Papua melalui Kongres Papua II 2000. KNPB menutut hak penentuan nasib sendiri yang demokratis dan proses hukum atas pelaksaan PEPERA 1969.

“Kita harus gugat Indonesia ke mahkama Internasional. Refrendum adalah solusi masalah Papua,”begitu KNPB mengusung agenda. Kemudian menjadi pegetahuan umum yang terbaca di tembok-tembok rumah, kantor dan pagar, dan selebaran yang dijalan-jalan di seluruh wilayah Papua dan juga melalui dunia maya, media sosial sampai ke seluruh dunia Internasional. Karena itu, tidak heran lagi, Agenda itu sampai ke Kawasan Pasific, masuk sampai ke meja Melanesia spear Group dan Pasific Island Forum melalui wadah Politik United Liberation Movement for West Papua.

Bahkan kini menjadi bahan diskusi Negara-negara pacific di forum Perserikatan bangsa-bangsa, ketika Kepulauan Salomon, Nauru, Vanutu, Kepulauan Marsal dan Tongga menyatakan prihatin dengan masalah pelanggaran HAM di Papua Barat.

 

Aksi-Aksi KNPB

KNPB dengan ketua umumnya  Buchtar Tabuni (2008-2013) tergolong mudah. Organisasi muda, managemennya masih labil, gerakan dan emosi masa dalam mengeksekusi agenda masih terlihat emosional. KNPB sebagai oraganisasi restorasi KNP yang sudah lama tidur berusaha kuat mengatur managemen dan mencari dasar pijakanya. Emosi masanya kadang tidak terkendali dan kadang rasis walaupun para pemimpinya menyeruhan perlawanan damai. Masa aksi mudah terpancing dengan profokasi aparat keamanan. Reaksi masa aksi kadang menjadi kesempatan aparat keamanan profokasi, bubarkan dan krminalisasi aktivisnya.

Kita mencatat polisi membatasi aksi KNPB di kota Jayapura pada awal gerakan KNPB. Pembatasan pertama yang menghebokan terjadi pada unjuk rasa  16 Oktober 2008 yang mendukung peluncuran Internastional Parlementarian For West Papua (IPWP) di Parlemen Britania Raya. Ujung dari itu, Polisi menetapkan Buctar Tabuni dan Sebby Sambom sebagai tersangka Makar. Keduanya menjalani sidang dengan tutuntan jaksa 10 tahun penjara atas tiga tuduhan: tindakan pengkhianatan (pasal 106), provokasi (pasal 160), dan tindakan melawan negara (pasal 212). Penjara memvonis keduanya tiga tahun penjara.

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Pembatasan itu tidak memenjarakan perjuangan. Pemimpin teras KNPB Pusat, Mako Tabuni, Victor Yeimo, Hubertus Mabel memimpin masa rakyat kerap kali melakukan demontrasi damai. Pemerintah Indonesia kerap kali melalui aparatnya membatasi dan meneror gerakan radikal kaum muda ini. Teror pertama terjadi dengan penembakan Terjoli Weya, aktivis KNPB. Weya tertembak saat pulang demo damai pada 2 Mei 2012 dengan agenda menolak aneksasi Papua pada 1 Mei 1963 di Padang Bulan. Penembakan itu disusul dengan penembakan seorang peneliti Jerman, Dietmar Pieper (55th), pada 29 Mei 2012 di pantai Base G dok 9 dan sejumlah penembakan terhadap warga sipil di kota Jayapura.

Penembakan itu tidak membuat KNPB mundur. KNPB kembali mobilisasi masa pada 4 Juni 2012 dari berbagai sudut di Jayapura. Polisi hadang masa aksi dari Sentani di depan Restouran Yougwa, pinggiran danau Sentani. Masa aksi dipukul mundur kembali ke Sentani. Sampai di  kampung harapan, polisi melepaskan tembakan ke masa aksi yang sedang kembali. Belasan orang terluka dan dua orang kena peluru tajam. Yesa Mirin, salah satu anggota KNPB yang tewas di tempat.

Pihak keamanan Indonesia tidak berhasil membatasi demontrasi KNPB. Pemerintah mulai kriminalisasi aktivis KNPB dengan memproduksi opini KNPB sebagai organisasi anarkis, merasahkan warga, bahkan sempat disampaikan dengan aksi-aksi terorisme. Mako Tabuni, Hubertus Mabel masuk dalam daftar pencaharian orang (DPO) Polda Papua secara tertutup dengan tuduhan keterlibatan dalam penembakan peneliti Jerman dan warga sipil. DPO tertutup itu disusul dengan DPO terbuka terhadap Simeon Dabi, ketua KNPB Lapago dengan rekan-rekannya atas tuduhan penemuan bahan pembuat bom di Sekretariat KNPB. Dengan tuduhan menyimpan pembuat bahan peledak, Polres Timika menangkap dan memenjarakan Romariao Yatipai dengan rekan-rekannya.

Atas tuduhan terlibat dalam penembakan warga sipil di kota Jayapura, tim khusus Polda Papua menembak mati Mako Tabuni pada 14 Juni 2012. Penembakan itu tidak memukul mundur aktivis KNPB. KNPB pegang teguh pada janjinya kepada rakyat Papua. “Kita harus akhiri,”. Kematian Mako meneguhkan semangat perlawanan sebagaimana yang disampaikan Victor Yeimo. “Penjajah engkau boleh membunuh Mako Tabuni, menahan Buctar Tabuni dan memenjarahkan sebagian dari kami tetapi jiwa pemberontakan kami penjajah kau tidak akan pernah patahkan,”tegas Victor Yeimo dalam upacara pemakanam Mako Tabuni (15/06/2012).

Polda Papua kembali gocang KNPB dengan menembak mati Hubertus Mabel pada 16 Desember 2012 di kampung di Abusa, distrik Kurulu, Jayawijaya. Penembakan itu tidak mempan. KNPB terus melakukan aksi-aksi politiknya dengan gerakan yang agak maju mundur dari gerakan sebelum penembakan pentolan KNPB. Tidak banyak aktivitas yang merancang demontrasi akbar. KNPB memncoba kembali ke jalan pada 26 November 2013 tetapi usaha itu gagal. Polisi polres Jayapura dengan komando Wakapolresta, Kiki Kurnia hadang dan provokasi masa aksi. Terjadi pelemparan batu, gas air mata dan penembakan mengahiri demontrasi. Satu orang tukang ojek dan satu orang aktivis KNPB, Matias Tengket tewas. Buchtar Tabuni dan Roky Wim Medlama menjadi DPO Polda Papua sebagai orang yang bertanggungjawab atas peristiwa itu.

Bentrokan ini menjadi akhir dari demontrasi KNPB. KNPB tidak pernah mengelar demontrasi dan pangung orasi terbuka. KNPB lebih memilih  jalan lain. KNPB kampanyekan referendum melalui jumpa pers dan status facebook, Tweeter, web dan blog. Pemerintah melalui militernya mulai kejar lagi aktivis KNPB yang lawan dengan cara ini. Orang tidak dikenal menculik dan membunuh Martinus Yohame, ketua KNPB wilayah Sorong Raya pada 20 Agustus 2014. Penculikan terjadi satu hari jumpa pers menolak kunjungan presiden Susilo Bambang Yudoyono untuk membuka Sail Raja Ampat pada 23 Agustus 2014.

Upaya pemerintah itu hingga kini tidak membatasi perjuangan, sebagaimana yang diharapkan. KNPB terus bergerak maju tanpa lelah, tanpa takut. Pergerakan mereka malah makin meluas dan menarik simpati rakyat Papua, bahkan dunia internasional dengan isu pelanggaran HAM asasi manusia. Aktivis KNPB memandang semua yang terjadi upaya kolonial membatasi perjuangan. KNPB pun menjadi pembunuhan itu konsekuensi tertinggi dari perjuangan pembebasan bangsa dari kolonialisme.

 

KNPB Makin Deswasa

Gerakan KNPB yang dulu di jalan-jalan melalui demo itu bergerak ke meja diplomasi secara serius. KNPB melalui lembaga politiknya Parlemen Nasional West Papua (PNWP) yang diketuai Buchtar Tabuni dan diplomat luar negerinya Benny Wenda, bersama organ lain, terutama Negara Republik Federal Papua Barat dan West Papua Nasional Coalitian for Liberation membentuk United Liberation Movement for West Papua  (ULMWP) di Vanuatu akhir 2014.

ULMWP kemudian menjadi wadah politik penyatuan organisasi dan gerakan perjuangan. ULMWP mulai memikirkan agenda-agenda politiknya, salah satunya mengajukan aplikasi keanggotaan ke Melanesia Spearhead Group. KNPB mulai bergerak memberikan dukungan kepada ULMWP dengan gaya dan cara baru. Dukungan KNPB berikan secara penuh melalui demontrasi damai di seluruh wilayah tanah Papua. Ribuan aktivistinya ditahan polisi. Penangkapan itu membawakan hasil. Aplikasi ULMWP menjadi bagian dari MSG pun terjawab. ULMWP memnerima status pengamat dalam pertemuan puncak pemimpin MSG di Honiara, Kepulauan Salomon akhir July 2015.

Baca Juga:  DPRP dan MRP Diminta Membentuk Pansus Pengungkapan Kasus Penganiayaan di Puncak

Pemberian status ini betul-betul mempengaruhi gerakan KNPB. KNPB menyatakan diri gerakan masa rakyat yang memberikan dukungan penuh atas semua rencana ULMWP. KNPB mulai memperlihatkan dukungan itu melalui demontrasi damai keanggotaan penuh ULMWP di MSG yang berangsung di Jayapura, Merauke, Sorong, Mimika dan Wamena pada bulan Mei 2015 dan April, Mei dan June 2016. Selama gerekan berlangsung, 500 an masa akasi ditahan di polres-polres di seluruh tanah Papua.

Penenangkapan itu, polisi lakukan demi membatasi dan meneror aksi namun itu membawa point politik. ULMWP menjadikan penangkapan sebagai senjata diplomasinya ke pemimpin-pemimpin MSG, dan Negara-negara Pasific. Tujuh Negara Pasific pun angkat bicara masalah pelanggaran HAM di Papua dalam sidang umum United Nation ke 71 di Amerika Serikat 2016.

MSG pun tidak sabar memberikan status anggota penuh kepada ULMWP. Jaminan keanggotaan pun diberikan perdana menteri Kepulauan Salomon ketika bertemuKetua Asosiasi Free West Papua Vanuatu (VFWPA), Pastor Allan Nafuki, dan para pemimpin ULMWP Jakob Rumbiak, Benny Wenda, dan Andi Ayamiseba pada oktober lalu.

“Sekarang saya bisa pulang ke rumah di Pulau Erromango dan tidur dengan damai bersama cucu-cucu saya,” kata Allan Naruki seperti dilansir Vanuatu Daily Post Sabtu, (9/10/2016).

Naruki mengatakan, West Papua telah menderita akibat brutalitas kolonial dan kematian selama 54 tahun dibawah kekuasaan Indonesia. “Saya percaya, masanya sudah tiba bagi rakyat Melanesia di West Papua untuk menikmati penentuan nasib sendiri,” katanya dengan dengan yakin.

Dia juga menegaskan semua organisasi masyarakat sipil di PNG, Kepulauan Solomon, Vanuatu, New Caledonia, dan Fiji 100% mendukung sikap pimpinan MSG ini. “Saya mau tekankan, rasio dukungan (terhadap keanggotaan penuh ULMWP di MSG) itu 100%, sekali lagi 100%.”

Jamin itu KNPB raih bersamaan dengan satu perkembangaan luar biasa  dalam diri KNPB. Demontran KNPB tidak emosional lagi, atau terpancang dengan profokasi Polisi dalam demontrasi KNPB di Jayapura pada 13 April 2016. Anggota KNPB membiarkan polisi memecahkan kaca mobil yang ditumpanggi aktivis dari Expo menuju perumnas III Waena.

KNPB kembali menunjukan aksi damainya pada 2 Mei 2016. KNPB mengatur strategi terpencar. Polisi kebingungan mengatasi gerakan terpencar dan regu. Regu pertama ditahan, regu kedua muncul dari persembunyian. Begitu dan seterusnya, membuat 1700 orang ditahan sementara dihalaman Markas Komando Brigade Mobil   Polda Papua, kota Raja, Jayapura.

“Kita mau larang salah-salah. Tidak larang juga salah. Kita pusing, tunggu perntah atasan saja,”ungkap Kapolresta Jayapura, Jeremias Romtini kepada penulis pada 2 Mei 2016 di depan gapura Uncen Waena, kota Jayapura.

 

KNPB Menemukan Senjata Perlawanan 

“Senjata kami bukan M16, AK 45 melainkan masa rakyat Papua Barat,”ungkap Victor Yeimo dalam upacara pemakanam Mako Tabuni (15/06/2012). KBPB bersama rakyat menemukan senjata  ampunya. Senjata ampuh yang muncul dalam demontrasi KNPB belakangan ini ada dua.

Pertama, KNPB menunujukan perlawanan damai. KNPB sudah berhasil mengatasi emosi masanya dalam demontrasi. Masa aksi tidak terpancing dengan perbedaan, membiarkan perbedaan apapun  muncul selama demontasi berlangsung. Tidak mengangu pedangang, penguna jalan raya. Kalau ada yang menutup kios atau tokohnya sementara belangsung, itu kemungkinan atas keputusan sendiri dengan cara padagnya sendiri.

Kedua, KNPB tidak mendasarkan perjuangnta dengan kekerasan, kebencian atas perbedaan ras melainkan atas dasar penyelematan nilai-nilai kemanusiaan yang direduksi melalui sistem pemerintah kolonial.

“Kami tidak lawan orang perorangan tetapi kami melawan sistem colonial Indonesia yang menindas, mencuri, merusak dan membunuh orang Asli Papua ”tegas Agust Kossay dalam wawancaranya kepada penulis.

Ketiga, perlawanan diplomasi dengan Indonesia melalui Negara kawasan. KNPB terus memberikan dukungan terhadap ULWMP sebagai wadah politik secara aktiv sehingga Negara-negara kawasan pacific memberikan perhatian penuh. Perhatian itu terbukti dengan pembentukan koalisi Pasific Untuk Papua, bertambahnya keanggotaan koalisi ini hingga membawa masalah Papua ke UN.

Perlawanan damai menjadi komitmen KNPB atau situasional belum bisa dipastikan tetapi kalau komitmen ini berhasil dipertahankan dengan sejumlah perubahan taktik dalam strategi perlawanan, tidak ada yang mustahil bahwa dunia sudah membuktikan diri dalam sejarah. Sejarah Dunia (Mahadma Ghandi bersama rakyat India, Nelson Mandela bersama Rakyat Afrika Selatan, Mahasiswa Indonesia bersama gerakan mahasiswa 1998 dengan perlawanan damai) sudah terbukti mengulingkan resim otoriter yang menjajah.

Karena itu, Ingat! Sangat mustahil rakyat mengusung isu perlawanan damai akan kalah. Resim sekuat apapun tidak pernah menang menghadapi perlawanan damai. Apapun alasanya, perlawanan rakyat yang damai pasti mengulingkan pemerintahan otoriter dan menindas. Rakyat terjajah akan merebut kebebasan menentukan nasibnya sendiri. Apakah bisa, tidak lama lagi, rihwajat penjajah berakhir di Papua demi memulai resim baru?

 

)* Penulis adalah wartawan di Koran Jubi dan tabloidjubi.com

Artikel sebelumnyaPresma USTJ: Indonesia Itu Pelaku Pelanggar HAM dan Orang Papua Su Tidak Percaya
Artikel berikutnyaLP3BH: Komnas HAM Lanjutkan Selidiki Kasus Sanggeng Berdarah!