Polisi dan Ketidakadilan di Jalanan Kota Jayapura

0
3613
Ilustrasi polisi lalulintas. (SIT - SP)
adv
loading...

Oleh: Benny Mawel)*

“Polantas pasti persoalkan mace tidak pakai helm,”pikirku sambil mengendarai motor dari Abepura, menuju Jayapura kota, hendak ke Dok II, Senin (7/12/2015)

“Di mana helmmu?” pintaku

“Anak Alo bawa ke Lere”jawab mace sambil menyaksikan ramainya Kendari di sekitar Skyline

“Oh ya…” heran ku.

ads

Motor aku terus stir hingga turun-turun Polimak, mendekati jembatan Overstone. Sejumlah Polantas berdiri mengatur lalulintas, menegur yang tidak mengunakan helm.

“Kami pasti akan ditegur atau dipersoalkan” pikirku.

Dugaanku benar. Sebelum menyeberang jembatan Overstone, sudah ada suara seorang yang saya duga polisi. “Woi mace pakai helm,” teriak polisi.

Lima atau sepuluh meter setelah Overstone, Polantas berdiri. Saya diarahkan untuk berhenti. Saya kendalikan rem untuk mengurangi kecepatan motor.

Mace pakai helm ya….” ungkap wanita langsing tegar, kira-kira tingginya 68 meter itu.

Ia hanya mengatakan itu. Saya menduga itu teguran saja, tidak mendengar ungkapan lainnya. Saya menancap gas motor melanjutkan perjalanan.

Oh… 100 meter kemudian disuru parkir. Saya parkir motor di pertigaan depan hotel Jasmin. Om polisi mulai menasihati.

“Ibu yang di belakang tidak pakai helm, turun naik taxi,” ungkap pa polisi itu.

“Sayang turun, naik taxi,” ungkap ku.

Baca Juga:  Generasi Penerus Masa Depan Papua Wajib Membekali Diri

“Naik taxi di mana,” tanya Mace

“Ibu menyeberang,” ungkap polisi

“Taxi ada di sebelah itu,” saya arahkan.

Saya star motor, menyeberang jalan tunggu mace, sekedar memastikan mace dapat taxi penumpang jurusan Rumah sakit dok II.

Sementara tunggu, sejumlah orang memboncengi anak-anak tanpa helm lewat. Satu.. dua…, Saya hitung, sudah lebih dari Lima.

“Bah ini tidak adil. Mari kita jalan,” ungkapku mengajak mace

Mace mendekati saya untuk naik motor.

“Om polisi itu tidak adil. Masa yang lain dibiarkan lewat, kami yang dipersoalkan. Ini tidak benar, mari kita jalan,” ungkapku lagi.

Polisi tidak menerima aksi protes kami. Polisi merasa sudah benar menegakkan aturan. Dua polisi mendekati dan perdebatan semakin lancar, tekanan suara pun makin tinggi.

“Kamu sudah melanggar aturan. Kenapa mau ajak ibu naik motor lagi,” tanya polisi.

“Aturan bukan hanya berlaku untuk kami. Aturan berlaku untuk semua. Kenapa Pak polisi biarkan yang lain jalan tidak pakai helm?”

“Kami ini bukan Tuhan” ungkap Pak Polisi.

“Anda tidak lihat boleh. Ada membiarkan mereka lewat di depan Anda. Ini tidak adil,” bantahku.

“Anda sudah melanggar aturan. Apakah tidak pakai helm itu tidak melanggar aturan?” tanya polisi.

Baca Juga:  Media Sangat Penting, Beginilah Tembakan Pertama Asosiasi Wartawan Papua

“Ia saya tahu melanggar aturan, tetapi kami minta keadilan. Kalau mau tahan, tahan semua. Tidak bisa begitu pa,” balasku.

Om polisi mulai alasan kedua membenarkan tindakannya. Ia mulai beralih pembicaraan ke surat-surat kendaraan.

“Saya cabut kunci ya…. motor kami tahan,” tegas pa polisi sambil mencabut kunci motor.

“Bapa silakan cabut tetapi tetap tidak ada dalam menegakkan aturan lalulintas,” ungkapku

“Kamu bicara banyak ada SIM atau tidak,” pintanya.

“Ada” jawabku. Saya ambil SIM , STNK dan menyerahkan kepada Pak Polisi. Polisi yang terhormat di jalanan itu memeriksanya.

“Oh SIM sudah mati 4 bulan. Kami tahan motor,” ungkapnya.

“Silakan tahan motor. Saya mencari atasan. Kita akan menyoal keadilan,” pintaku sambil melangkah ke komandan yang memimpin lalulintas.

Pak polisi bicara dengan komandan lewat HT. Dia menyodorkan HT sementara saya berjalan menuju komandan.

“Saya tidak bicara lewat telepon. Saya mau bicara tatap muka,” menolak tawaran menuju komandannya yang ada 100 meter dari Overstone.

“Ibu bos mat pagi,” sapaku.

“Bagaimana?,” jawabnya.

“Ibu… ini bagaimana anak buah ibu bertindak tidak adil. Masa kami yang dihalangi sementara yang lain terus jalan,” aku protes.

“Bapa tadi kan ngotot jalan,” ungkapnya.

“Saya tidak ngotot jalan. Saya jalan melihat kenyataan. Masa kami yang ditahan lalu yang lain jalan tanpa aturan, tidak ditahan?” jawabku.

Baca Juga:  Pembangunan RS UPT Vertikal Papua Korbankan Hak Warga Konya Selamat dari Bahaya Banjir, Sampah dan Penggusuran Paksa

“Bukan begitu ade…. Kita ini kerja spirin. Mereka yang lewat itu sudah ditahan di Polda,” ungkap komandan Polantas.

“Kalau begitu, Saya harap Kita sama-sama ke Polda supaya Kita hadapi hukum sama-sama,” balasku.

Sang komandan tediam. Saya menguasai pangung. Saya mulai khotbah sang polisi menegakan hukum kepada semua tanpa ada pembedaan.

“Kalau mau tegakan aturan, tegakan yang benar. Jangan stegah-stegah,” tegasku dengan nada tegas dan sedikit gemetar karena terlalu emosi.

Sang komandan memangil anak buah yang ambil kuncil motor. Ia meminta kuncil motor darinya.

“Mana kunci,” tanya koman.

“Siap ada,” jawab pak polisi tadi sambil menyodorkan kunci.

Kepala Polantas ambil kunci dan menyerahkan kuncinya ke Saya. Saya ambil tanpa kata dan melanjutkan perjalanan.

Kejadian ini soal benar atau salah melainkan soal kejujuran menegakkan aturan dan menaati aturan. Ketaan kalau terlahir kalau penegakan berjalan dengan jujur dan adil.

“Adil bukan pilih Kasih dan memaksakan yang lain taat buta. Adil itu sama rata atau sama rasa,” pikirku mengingat kejadian setahun lalu.

)* Sepenggal kisah di Kota Jayapura. Penulis adalah wartawan Jubi. 

Artikel sebelumnyaPeringati HAM se-Dunia, AMP minta PBB Buka Resolusi 2504
Artikel berikutnyaKumandangkan Trikora, Harusnya Dulu Soekarno Kena Pasal Makar dan Penghasutan