Berpolitik Harus Siap Menang dan Siap Kalah!

0
3497

Oleh: Maiton Gurik)*

Menjelang pilkada serentak, banyak kandidat berikrar untuk berkompetensi secara adil. Mereka siap menang dan siap kalah. Ini bukti bahwa demokrasi sudah dipahami dan meresap ke dalam denyut jantung dinamika politik masyarakat kita. Semangat semacam ini harus dicontoh dan dipraktikkan oleh siapa saja. Bukan hanya kandidat atau elit politik yang akan bertarung dalam pilkada melainkan juga pendukungnya.

Dimasa yang lalu, kita sering menyaksikkan kekisruhan yang terjadi pasca-pilkada. Hal itu terjadi lantaran para kandidat tidak memilik kesiapan ‘mental’ yang cukup untuk memasuki pangung demokrasi dan mengikuti aturannya, termasuk menyiapkan mental siap menang dan siap kalah, begitu juga dengan pendukungnya. Mari kita runut secara sepintas kasus – kasus tersebut sebagai bahan pembelajaran.

Pada tahun 2012, kasus konflik pilkada Kabupaten Tolikara membuat banyak korban jiwa yang tak terhitung. Kabupaten Puncak Papua di tahun sama, juga terjadi konflik pilkada dengan korban masyarakat yang tidak kalah jumlahnya.

Dan masih banyak kasus  konflik pilkada yang saya tidak sebut satu persatu. Entalah, baik konflik fisik bahkan adminitrasi tak ujung berakhir bahkan sampai bawah kepada MK sebagai tempat terakhir mendamaikan konflik pilkada.

ads

Konflik pilkada, Papua khususnya – membuat pemisah antara satu dengan yang lain. Hidup tadinya kolektif telah pupus. Luka konflik pun sulit untuk disembuh. Yang ada hanya kata ‘balas dendam”(moment pilkada berikutnya). Oh, Papua rupanya belum merdeka. Demokrasi hilang di tangan elit Papua. Kapan berakhirnya. Siapa yang akan mengakhirinya. Saya pun tidak tau. Entalah.

Baca Juga:  Indonesia Berpotensi Kehilangan Kedaulatan Negara Atas Papua

Kasus ini memberi pelajaran kepada kita semua bahwa ikrar ‘ siap menag dan siap kalah’ itu hendaknya tidak dianggap remeh. Sebab, dampaknya sangat serius dalam menimbulkan korban jiwa dan harta benda. Demokrasi memang ruang kebebasan. Benar. Tapi itu saja tidak cukup. Dalam mempraktikan demokrasi harus dengan etika politik. Yang didalamnya ada kewajiban, tanggungjawab dan sejenisnya.

Dalam konteks ini, semangat siap menang dan siap kalah merupakan pelaksanaan dari kebebasan positif. Artinya, pemenang lahir karena ada pihak yang mengakui kalah.Dengan begitu roda pemerintahan terus berputar.

Kesuksesan pilkada serentak tidak hanya tergantung pada pemerintah namun juga segenap warga masyarakat. Ia, tentu saja pemerintah bertanggunjawab persiapan dan pelaksanaanya. Sementara, setiap warga negara mengemban tanggungjawab moral untuk ikut mengawal. Jalannya pilkada secara kondusif sekalian aktif dalam pilkada ini.

Belajar dari kekurangan dan kesalahan masa lalu, generasi ini sudah akrab dengan berbagai artikulasi yang mendorong mereka untuk berpolitik secara lebih cerdas dan cermat. Mereka akan bertarung secara sportif karena ada tujuan yang lebih besar yaitu kesejahtraan rakyat. Yang juga menjadi tanggungjawab bersama (elit dan rakyat). Mengakui pihak lain sebagai pemenang merupakan suatu kehormatan bagi yang bersangkutan. Sebab kekalahan bukan suatu kehinaan.

Baca Juga:  Hilirisasi Industri di Indonesia: Untung atau Buntung bagi Papua?

Kalah dan menang adalah hal yang biasa dalam setiap perlombaan. Karena itu disikapi dan diterima secara santun dan wajar. Tidak mutlak-mutlakan. Hanya saja kemenangan dan kekalahan dalam pilkada memang peristiwa yang bersifak publik, diketahui oleh umum, sehingga disitu ada persoalan kehormatan dan harga diri.

Maka penting sekali di sini, pendidikan sosial tentang kalah-menang ini harus ditinjau ulang. Dalam budaya masyarakat kita modern ini, menang dan kalah itu diletakan dalam kerangka dikotomi. Menang itu kejayaan, prestasi dan kemulihaan. Dan sebaliknya kalah itu kebodohan, kerendahan, dan kehinaan bahkan caci-maki. Akibatnya, elit berlomba-lomba hanya untuk menang dengan menghalalkan cara agar tidak kalah. Bukannya kekalahan menjadi dorongan untuk bekerja lebih keras. Kemenangan menjadi motivasi untuk berkarya lebih baik. Parah!

Tantangan pertama bagi pemenang adalah menyikapi pihak yang kalah. Kemenangan tidak identik dengan pesta pora, euforia dan merendahkan pihak yang kalah. Justru melibatkan pihak yang kalah dalam kelompoknya. Sehingga, kemenangan itu menjadi kemenangan bersama. Bahkan pihak yang kalah pun merasa dimenangkan. Ini namanya baik hati dan tidak sombong!

Baca Juga:  Freeport dan Fakta Kejahatan Kemanusiaan Suku Amungme dan Suku Mimikawee (Bagian 3)

Pilkada ini ajang adu nasib dan peruntungan melainkan tempat untuk meneyaring pemimpin yang berintegritas. Dengan begitu semua orang akan berpikir positif dan santun. Berpartipasi secara proaktif, dan orientasi pada kualitas lebih dari sekedar soal menang dan kalah.

Ahkirnya, pilkada serentak ini harus benar-benar kita kawal bersama. Sehingga, proses maupun hasilnya memiliki kualitas yang baik. Memang tidak mungkin sebuah proses dan hasilnya memuaskan semua pihak. Entalah, tapi itu kepentingan yang lebih besar, setiap orang dituntut memiliki kebesaran jiwa. Mari kita hindari sikap odsolut terhadap kepentingan pribadi maupun kelompok. Pilkada ini bukan segalanya. Pilkada hanya sebuah proses dalam kehidupan demokrasi.

Jika elit yang tidak puas dengan hasil sekarang, maka anda boleh maju lagi dimusim Pemilu mendatang. Pilkada ini seperti hanya dengan permainan, harus dibuat menyenangkan – namanya juga pesta demokrasi bukan persta pora. Semoga!

)* Penulis adalahMahasiswa Asal Kab. Lanny Jaya-Papua dan sedang menempuh Studi S-2 Ilmu Politik di Universitas Nasional, Jakarta.

Artikel sebelumnyaKNPB: “LAWAN!” NKRI (Bagian 1)
Artikel berikutnyaPengurus Desa Dupiapugaida Minta BPMK Paniai Transparan Cairkan Dana Desa