ArtikelManusia Antropologi-Politik Papua (Bagian 2)

Manusia Antropologi-Politik Papua (Bagian 2)

Oleh: Kris Ajoi)*

Oligarki Kekuasaan dalam Struktur Kebudayaan Papua

Pengantar

Praktik politik dan kebudayaan di Papua terlihat jelas saat melihat budaya Papua dijadikan wahana keterlibatan orang Papua untuk memenuhi kehidupan sosial, politik, ekonomi di tengah masyarakat yang heterogen atau yang “bhineka”. Keadaan empiris itu dibuktikan dengan adanya kehadiran orang Papua di berbagai aspek kehidupan yang rentan tidak bisa pisahkan dari budayanya. Sayangnya kesejahteraan dari berbagai aspek masih bergantung kepada orang kuat lokal (big man).

Di bagian kedua ini, akan didiskusikan persoalan itu dengan pemilahan antara realitas kebudayaan dan fakta-fakta politik yang saat ini menjadi patokan kemajuan masyarakat di Indonesia terutama yang ada di Papua. Tambahan akan kemajuan ini adalah demokrasi dan prinsip-prinsip kerakyatan yang bebas (libertarianisme). Padahal demokrasi secara implisit sebenarnya mendikte kehidupan masyarakat dan memiliki dua pandangan yang saling bertolak belakang. Pertama, kekebasan masyarakat layak diakui untuk dapat membenahi kegagalan pembangunan yang berporos pada kebudayaan dan di situ manusia adalah pangkalnya. Kedua, kebebasan yang begitu “membebaskan” cenderung membongkar kerangka kehidupan sosial masyarakat heterogen kea rah yang destruktif. Karena setiap orang ingin agar dirinya diakui sebagai bagian dari kelompok dan dengan menggunakan atribut masing-masing, maka kelompok itu kemudian saling memenjarakan. Menariknya, yang paling empunya kuasa atas kesempatan itu adalah mereka-mereka yang diakui di dalam stratifikasi sosialnya.

Keadaan itu menjadi bukti realitas politik dalam bingkai demokrasi yang gagal total secara praktik  di Papua. Rasionalitas kebudayaan Papua dapat menghasilkan konsepsi politik di benak masyarakat tetapi juga sebaliknya realitas politik dapat memaksa orang Papua melepaskan “paras” kebudayaanya yang menjadi kekuatan pertama sejak mereka hidup. Rahim kebudayaan Papua merupakan rahim orang Papua yang melahirkan mereka secara sosial maupun politik sebagaimana hal itu menjadi bagian dari setiap prosesi kehidupan termasuk memperebutkan kekuasaan ekonomi dan politik. Sejak lahir hingga meninggalkan dunia, orang Papua dihidupi dengan tradisi yang menjadi keyakinan mereka tentang asal usul mereka, dari mana mereka datang, ingin mengerjakan apa untuk bisa menjadi apa dan nantinya entah akan ke suatu tempat yang dipercaya menjadi surga keabadian mereka.

Oleh pendapat itu, bisa disaksikan bahwa Papua dipenuhi dengan dentuman irama kebudayaan yang menyelimuti segala aspek kehidupan. Di mana dalam konteks demokrasi orang Papua mengisi kekosongan (ruang politik) itu dengan kebudayaan (Lihat juga: Mansoben, 1995: hal 5). Itu menjelaskan bahwa “masyarakat paska rezim otoriter adalah masyarakat kompleks…..sehingga masyarakat (rakyat/demos) mengisi ruang (politik) hampa itu” dengan segala embel-embel sosialnya (Hardiman, 2013: Hal 9). Tapi tentu tidak hanya soal kekuasaan politik melainkan ekonomi yang menjadi problem utama munculnya kekuasaan segelintir orang yang kaya (oligarki).

Dinamika masalah oligarki kekuasaan ekonomi dan politik di Papua bisa dirumuskan dalam beberapa hal. Pertama, orang Papua adalah aktor politik dan kebudayaan yang pertama dan para penduduk dari luar Papua yang datang ke Papua terutama karena alasan ekonomi. Dalam membicarakan hal ini, penyebutan pendatang tidak didasarkan pada persoalan representasi (perwakilan) tetapi pada mayoritas kuasa kapital yang dipegang para pendatang.

Artinya jika mengatakan pendatang secara individu adalah wakil mayoritas para pendatang akan sangat berdampak pada bias analisis karena ada pula penduduk luar Papua yang datang ke Papua untuk tujuan kemanusiaan dan mereka membantu advokasi sosial, politik, ekonomi, bahkan hukum bagi pemulihan kondisi orang Papua. Mereka juga tidak bisa dikatakan sebagai wakil dari mayoritas karena mayoritas juga tidak mewakili mereka.

Dalam hal itu jelas bahwa pemilahan ini akan dipersepsikan oleh banyak orang. Kedua, isu kebudayaan maupun politik yang selalu dijalankan oleh penduduk Papua dalam mengakses kesejahteraan. Ketiga, pola-pola integrasi institusi kebudayaan maupun rekruitmen politik yang cenderung berputar di lingkaran struktur sosial-kebudayaan. Dalam hal ini pola rekruitmen partai politik tidak jauh berbeda dengan pola integrasi kebudayaan. Keduanya berlangsung dalam medium sosial yang sama terutama organisasi. Keempat, dalam hal ini kekuasaan para oligark ini perlu dilihat untuk memastikan bahwa mereka tidak hanya diperkuat oleh infrastruktur ekonomi tetapi juga infrastruktur politik, terutama dukungan dari warga masyarakat adat Papua. Dalam banyak kasus dominasi ekonomi cenderung membagi oligark ke dalam kelompok-kelompok oposisi yang sangat ego dengan kepentingan. Hal itu berdampak terhadap integritas politik mereka yang kian menurun dan betul-betul hanya bisa ditopang oleh mitra oligarki mereka yaitu pemerintah atau swasta.

 

Politik Kebudayaan Papua menuju Oligarki Kekuasaan

Aditjondro, mencontohkan kekuasaan yang dimiliki oleh segelintir orang-orang Mexico yang kaya karena menguasai tanah-tanah (latifundia) dan kemudian merambat ke industri, pemerintahan, dan untuk kepentingan ideologi, gereja juga dikuasai hingga hierarki kekuasaan gereja katolik Roma dan mereka saling memperkuat ekonomi melalui pernikahan. Termasuk di Asia, di Timor Leste dan Filiphina di mana Carrasscalo, anak dari pemilik tanah masih berpengaruh kekuasaanya bersama sudaranya termasuk hubungan asimilasi bisnis melalui perkawinan di antara keluarga Carrascalao, Jose Ramos-Horta, dan Jose Alexandre Xanana Gusmao.

Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

Sedangkan di Indonesia, sesuai dengan pengalaman Amerika Latin, Amerika Serikat, Korea dan Filipina di mana ada hubungan perkawinan di antara segelintir orang kaya bahkan orang kaya ini ikut juga dipengaruhi oleh penguasa politik di negara tersebut, seperti Indonesia dan Timor Leste. Di Indonesia disebut “rezim 4 H” yaitu SuHarto, Harmoko, Habibie dan Bob Hasan yang kemudian di era reformasi ada juga “4 T” atau Taufiq Kieamas, Tjahjo Kumala, Theo Syafei, dan Tomy Winata (Aditjondro, 2002: hal 12-15).

Di sebuah catatan kaki pada prolog buku yang ditulis oleh Budi Hardiman dengan mengutip Aristoteles, mengatakan bahwa “oligarki sebagai bentuk dekadensi aristokrasi dan memahaminya sebagai pemerintahan demi keuntungan orang-orang kaya” (Lih: Hardiman, 2013: hal 9; Magnis-Suseno, 2009). Aristoteles menyebut beberapa orang yang super kaya dan kekayaanya ditimbun dari rakyatnya adalah “oligark” dengan system yang dikendalikan oleh kelompok tersebut dan membentuk persepsi publik bahwa mereka adalah pelopor oligarki. Model penyelenggaraan negara seperti itu menjadi sebuah dilema bagi demokrasi karena mentah-mentah bertolak belakang dari demokrasi yang seharusnya kuasa untuk “kratein” (memerintah) itu berada di tangan “demos” (rakyat). Hal yang sama diungkapkan Plato bahwa “oligarki menjadi system pemerintahan di Yunani yang disukai oleh segelintir keluarga kaya” (Aditjondro, 2004: Hal 11).

Tetapi dalam konteks demokrasi di Indonesia secara substansial (substantial democracy) setiap orang di dalam masyarakat dapat memiliki peluang mencari kekuasaan politik maupun ekonomi. Berbeda dengan di Papua, karena kekuasaan secara politik maupun ekonomi masih didikte oleh kebudayaan sehingga kebudayaan menjadi sentral kekuasaan yang dapat dijadikan sarana mobilisasi (tidak sedikit pula yang dijadikan alat kekerasan) maupun jaringan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi paling dasar misalnya makan minum dan saling meminta bantu untuk membiayai anak-anak yang sekolah. Selain kebudayaan sebagai sentralnya oligarki kekuasaan tidak hanya dibangun oleh kekuasaan ekonomi dan politik semata tetapi juga dibentuk oleh konstruksi sosial secara historis maupun konteks hari ini.

Hiariej dalam pernyataanya dalam “materialisme sejarah kejatuhan Soeharto” mengungkapkan hal yang sama dengan menolak pendapat beberapa kaum Indonesianis seperti Robinson, Brian May, Lidlle, Chrouch, Karl Jackson, termasuk Mohtar Mas’oed yang sebelumnya menyatakan bahwa kekuasaan adalah akibat dari penetrasi politik dan ekonomi dalam birokrasi maupun penguasaan birokrasi oleh kelompok kelas elit dan borjuis termasuk tuan tanah sehingga system yang dibangun adalah oligarki di dalam kekuasaan politik dan ekonomi (Lih Hiariej: Hal 17-22). Bagi Hiariej, dari pembentukan kelas sosial elit birokrasi, borjuis hingga kelompok tuan tanah (di Papua kepala suku dan tua marga) tidak terjadi karena usaha-usaha saling dominasi di dalam struktur birokrasi-politik maupun ekonomi tetapi terjadi karena bentukan sosial. A

da pengaruh pandangan-pandangan sosial terhadap alasan mengapa suatu kelompok dikatakan tidak maju, atau tanggapan mengenai dominasi ekonomi dan politik yang disebabkan karena di masing-masing komunitas dapat ditemukan perbedaan cara pandangan, pola-pola pemilahan sosial, kebiasaan individu dan nilai-nilai yang menjadi basis kepercayaan. Segalanya termuat di dalam kelompok sosial masing-masing, wilayah di mana mereka tinggal, kebiasaan yang dibangun dan orang-orang yang sama yang ada di dalamnya sehingga mempengaruhi mereka dalam mengakses kepentingan ekonomi maupun politik.

Kelas-kelas sosial di Papua masih terbentuk secara kultural, dan merupakan hal yang sama seperti konteks Indonesia saat ini. Proses sosial seperti ini bukan terjadi secara alamiah atau diinisiasi oleh orang Papua melainkan konstruksi politik secara structural yang membentuk relasi sosial-kebudayaan orang Papua. Kekuasaan politik dari Jakarta masih sangat sentral mengatur setiap perubahan aspek-aspek kehidupan di Papua.

Namun yang memegang kendali atas kelompok sosial ini adalah segelintir orang yang disebut sebagai penguasa (tetua) adat. Oligarki tidak sedikit menyebabkan oligopoly (oligark yang memonopoli) dan perilaku mereka dalam konteks Papua sulit dibedakan dengan nepotisme dan kolusi. Karena system pemerintahan dan politik Papua dijalankan berdasarkan sistem kebudayaan dan adat, termasuk perasaan “kasih-(an)” antar sesama. Terutama perasaan bahwa “kitong sama-sama orang dari suku A atau marga B dan memiliki kebudayaan C” yang telah tumbuh berperadaban sejauh mana manusianya pun bergenerasi.

Perebutan sumber daya ekonomi dan politik terjadi antara masyarakat Papua di basis-basis pertahanan administratif. Dalam hal itu ketergantungan masyarakat terhadap kebijakan politik (misalnya pemekaran) menjadi ketergantungan laten. Kekuasaan ekonomi dan politik sangat ditentukan oleh kelas-kelas penguasa dan pengusaha maka terkadang kekuasaan pengusaha (ekonomi) ditentukan oleh para penguasa (politik) tetapi juga sebaliknya. Di dalam keadaan itu, permainan ini hanya dimainkan oleh segelintir orang yang menikmati kekuasaan.

Baca Juga:  Menghidupkan Kembali Peran Majelis Rakyat Papua

Tetapi karena dominasi prinsip-prinsip genealogi dan kekuasaan menurut adat maka kebudayaan menjadi alat sentral yang bisa digerakan untuk meredam konflik kepentingan. meski efek dari pelibatan kebudayaan menjadi boomerang yang mendatangkan perang di antara sesame orang Papua akibat saling mendominasi terhadap kekuasaan ekonomi-politik. Politik bisnis yang dikuasai oleh segelintir orang di Papua menjadi bagian dari masalah sosial yang menimbulkan efek negative terhadap pembagian kekuasaan. Terutama kesejahteraan ekonomi-politik yang sudah lama dirindukan oleh orang Papua dan sampai sekarang menjadi fenomena yang dinantikan, tetapi memiliki dua kemungkinan, yakni kesejateraan ekonomi-politik atau konflik dan kekerasan di antara masyarakat Papua.

Dari uraian di atas, saya menyebut oligark di Papua ini sebagai para orang kaya dan orang kuat lokal sekaligus memilah mereka ke dalam dua bagian:Pertama: orang kuat dan orang kaya di Papua, yakni orang Papua sendiri terutama mereka yang disebut sebagai big man (untuk mengetahui pengertian big man baca: Mansoben, 1995). Mereka menguasai politik di ranah masyarakat termasuk kekayaan alam. Kedua: orang kaya luar (para pendatang yang memegang peranan ekonomi). Dalam kekuasaan politik sebenarnya mereka juga leluasa memimpin hanya saja UU No.21/2001 tentang Otsus masih memihak orang Papua. Maka dalam pembahasan selanjutnya orang kaya dan orang kuat ini dapat disebut sebagai orang kuat/kaya lokal atau sebagai oligark di Papua.

Tabel Skema Klasifikasi Orang Kuat dan Orang Kaya Lokal di Papua

Oligark Kekayaan Kekuasaan
Orang Papua Sumber daya alam

 

Sistem Kekerabatan
Para Pendatang Ekonomi Pasar (UANG) Struktur Ekonomi

 

Oligarki Kekuasaan di Papua: Orang Kaya Menjadi Orang Kuat

Pada tahun 2008, di beberapa wilayah pemekaran baru di wilayah kepala burung Papua, terjadi konflik dan kekerasan paska adanya pemekaran dan perebutan jabatan dan kewenangan. Pengelompokan-pengelompokan sosial terjadi begitu cepat mengikuti batas-batas administrasi negara (provinsi, kabupaten, kecamatan, dan desa). Bentukan sosial masyarakat itu sangat dipengaruhi oleh orang-orang yang berkuasa di wilayah adat masing-masing, selain juga dipelopori oleh mahasiswa-mahasiswi dari wilayah itu yang menjadi promotor pemekaran. Kekayaan yang menjadi penawaran penting bagi sebuah aspirasi pemekaran adalah potensi wilayah: tanah, kayu, dan barang tambang lainya.

Tetapi hasil pemekaran memberikan keuntungan ekonomi pada para pendatang yang minoritas tetapi menguasai banyak sumber daya ekonomi sehingga kekuasaan politik tidak begtu sulit dikontrol. Orang Papua secara konstitusional hanya didukung oleh UU 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua, tetapi jaminan hak sosial-ekonomi sangat terporak-porandakan. Hal itupun semakin dimanfaatkan oleh orang kuat lokal di Papua untuk mengakses kekuasaan politik dengan menawarkan potensi sumber daya alam Papua yang dikuasai mereka secara sepihak.

Sejak otsus diturunkan sebagai jawaban atas persoalan Papua di tahun 2001, orang Papua memiliki kedudukan yang sangat dipengaruhi oleh paradigma baru. Sebelumnya, “menjadi tuan di negeri sendiri” dan kedudukan sebagai “putra putri asli daerah” terdapat dalam UU No 21/2001, hanya saja hal itu kemudian menjadi kontradiksi di antara orang Papua sendiri, di mana banyak orang Papua menyangka bahwa masing-masing di tempat kelahiranya (asal-usul) harus menjadi tuan karena merekalah putra-putri asli di wilayah itu.

Dua fakta yang termuat di dalam UU 21/2001 ini menjadi bumerang bagi stabilitas sosial dan kekerabatan di Papua setelah pemekaran ikut memekarkan relasi kekerabatan mereka. Banyak sekali penafsiran yang datang untuk menanggapi maksud itu tetapi sayangnya tanggapan itu malah mendorong orang Papua untuk berkompetisi merebut kekuasaan (ekonomi dan politik).

Tahun 2008, di sebuah acara rapat pembentukan kabupaten baru di Manokwari, seorang ketua LMA (lembaga masyarakat adat) suku ini mengatakan bahwa, sudah saatnya orang dari wilayah itu menjadi “tuan di negeri sendiri”, hal itu ditanggapi oleh pemuda-pemudi yang waktu itu hadir dan menganggap itu sebagai sebuah “sukacita surga” yang datang bagi mereka.

Adapula ungkapan bahwa ruang politik yang semakin terbuka ini memberikan akses kesejahteraan bagi banyak orang sehingga seorang kepala suku mengatakan bahwa “pengangguran pasti berkurang” termasuk setiap wilayah akan dibangun untuk memberikan kemudahan akses bagi orang Papua. setelah wilayah itu dimekarkan mereka merekrut orang untuk duduk di pemerintahan berdasarkan kriterian “asli” padahal di wilayah itu ada banyak suku dan asal-usul warga yang berbeda sehingga menimbulkan pertanyaan, siapa yang asli.

Kasus berikutnya, perekrutan orang di dalam partai maupun di dalam kelembagaan manapun begitu kuatnya jaringan kekerabatan jadi yang digunakan pula adalah jaringan itu. Tidak sedikit juga yang menggunakan relasi sosial kekerabatan untuk mempengaruhi reputasi mereka di mata saudara-saudaranya, itu semakin kelihatan ketika datangnya waktu pemilihan umum legislatif atau kepala daerah.

Mimpi kesejahteraan lewat pemekaran itu semakin “utopis” (khayalan yang tidak terwujud) saat pos-pos kepolisian (Brimob) dan tentara dibuka di setiap wilayah baru dengan alasan konflik (sengketa) wilayah pemekaran. Adapula peristiwa naas yang menimpa beberapa masyarakat yang tidak puas dan memprotes tetapi dibalas dengan pantat senjata. Agen perlindungan bagi pemerintah di Papua adalah aparat yang bersembunyi dengan seragam militer dibalik seragam pegawai negeri sipil. Segala kebijakan politik di daerah pemekaran memperlihatkan dominasi institusi keamanan ini kepada masyarakat bahwa Indonesia masih terus dijajah oleh aparat keamanan negara.

Di Papua siapa memegang uang, dia memegang kekuasaan. Kekuasaan sangat ditentukan dengan uang dan uang adalah simbolisasi dari pada kekuasaan. Rupa uang di antara orang Papua adalah territorial (wilayah adat dan sumber daya alam lainya) sehingga ikatan kekerabatan cenderung menjadi korban dari pada kepentingan di kalangan big man orang Papua sendiri. Akibat dari ketidakmampuan menciptakan pasar bagi masyarakat sehingga sumber ekonomi ditransfer ke penguasa pasar dan oleh penguasa pasar yang dikuasai para pendatang dari luar Papua (migran spontan) dibagikan dalam bentuk utang-piutang dengan hantaran kontrak politik yang harus dilunasi dalam bentuk kebijakan politik pembangunan.

Sehingga kedudukan di kantor dan di jabatan politik manapun sangat dipegang oleh pemilik uang dan penguasa pasar. Manakala uang menjadi alat penentu kedudukan orang di kantor sebaliknya kekuasaan politik dikantor dapat mempermudah perluasan pasar dan keuntungan ekonomi yang sangat besar.

Maka sistem oligopoly ekonomi dan politik di Papua berpatokan pada uang dan kekuasaan adat. Sehingga yang kaya dan yang akan menjadi pemimpin di negeri sendiri adalah mereka yang disebut sebagai big man. Kondisi ini meningkatkan kenikmatan para pelaku promotor pemekaran untuk terus memainkan peran kuasa politiknya dalam mengontrol segala kesejahteraan di sana. Kepemilikan tanah dan sumber daya alam lain diserahkan kepada pemilik pasar yang notabene didominasi para pendatang dan mendapat bekingan aparat sehingga segala aspek ekonomi dikuasai para pendatang dan dengan mudah mereka mengontrol jalanya pemerintahan dengan uang hasil eksplorasi kayu, pasir, batu dan hasil alam lainya di Papua.

Maka untuk menghindari oligopoly big man dan segelintir orang kaya ini, masyarakat adat di beberapa wilayah menentukan batas-batas kewilayahan yang ketat disesuaikan dengan jaringan kekerabatan berdasarkan pertalian darah (genealogi). Di Tambrauw misalnya, hal itu menjadi positif karena didukung langsung oleh pemerintah dengan melaksanakan siding adat di Sausapor, Fef, Aibogiar, Kebar, dan Senopi dalam tahun 2014 dan kemudian diikuti dengan beberapa wilayah lagi.  

Dari pengalaman itu para penguasa ekonomi dari tempat lain ikut memainkan peran dalam usaha mengendalikan kekuasaan politik. Jaringan-jaringan kebudayaan yang melahirkan pemimpin-pemimpin adat disumbat dengan uang dan asupan kekayaan yang terlihat sepintas melalui bantuan-bantuan. Kebudayaan digerakan secara masif oleh segelintir orang kaya untuk mempengaruhi orang kuat lokal agar memberikan keleluasaan kepada mereka menguasai tanah sedangkan kekuasaan ekonomi mereka membantu orang kuat lokal menjadi pemimpin politik. Sistem politik yang dipraktekan melalui mekanisme kebudayaan memberikan peluang kepada orang kaya lokal untuk berinvestasi di tataran publik (politik). Segelintir orang kaya ini kemudian dengan begitu cepat berevolusi menjadi orang kuat dan memegang kendali politik sedangkan ekonomi mau tidak mau tetap dihendel oleh orang pasar.

 

Penutup

Pecahnya kebekuan kekuasaan politik dagang yang sentral, merupakan peluang bagi ajang kontestasi kekuasaan ekonomi-politik banyak pihak. Politik dagang yang sebelumnya dimainkan oleh elit nasional kemudian digeser kepada masyarakat melalui kebijakan otonomi dan kemandirian ekonomi lokal (desentralisasi fiskal). Elit-elit lokal menjadi pemain utama dalam memainkan kekuasaan tersebut. Saluran aspirasi masyarakat disumbat oleh pelimpahan kewenangan yang begitu besar dan menjadi aset ekonomi dan politik para elit lokal. Maka sebagai elit, para penguasa ekonomi dan bisnis di Papua itu menjadi semacam kelompok penguasa yang memanfaatkan ruang politik sebagai peluang membangun patronase bisnis mereka.

Satu hal yang tidak terjadi dalam system oligopoli para oligark di Papua adalah strategi kekuasaan secara genealogis. Membangun hubungan kekerabatan yang paling kuat adalah melalui perkawinan, apalagi di Papua, panggilan ipar menjadi sangat kental dengan hubungan patron dalam kekerabatan sosial. Tetapi kekuatan terbesar dalam politik oligarki di Papua sangat bergantung pada penguasa suku, klan atau marga dan kepemilikan wilayah (tanah).

Sedangkan sistem perkawinan antar kelompok-kelompok klan penguasa di Papua belum begitu kelihatan, sehingga garis keturunanlah yang masih mengontrol kekuasaan. Tetapi proses perjalanan kekuasaan ekonomi dan politik di Papua sangat pesat dibeking oleh negara. Kehadiran negara di Papua bisa disimbolkan dengan kekerasan dan keterpinggiran orang Papua sejak 1965 paska protes hingga saat ini.

Bagian pertama dari artikel ini bisa anda baca di sini: Manusia Antropologi-Politik Papua (Bagian 1)

 

)* Penulis adalah staf pengajar di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, Jawa Tengah.

Terkini

Populer Minggu Ini:

Presiden Jokowi Segera Perintahkan Panglima TNI Proses Prajurit Penyiksa Warga Sipil...

0
Direktur LBH Papua, dalam siaran persnya, Senin (25/3/2024), menyatakan, ditemukan fakta pelanggaran ketentuan bahwa tidak seorang pun boleh ditahan, dipaksa, dikucilkan, atau diasingkan secara sewenang-wenang. Hal itu diatur dalam pasal 34 Undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.